Sebenarnya saya ragu menulis tentang ini, tidak ada yang terlalu istimewa hanya sekedar share. Bermula dari chatbox suatu hari dari seorang teman lama yang ada dalam friendlist Facebook saya. Seperti biasa saat notebook online pasti beberapa link lainnya juga dalam kondisi online meski bisa saja saya sedang tidak beraktifitas didepan layar. Gara-gara suatu hari ada "sapaan" yang anggap saja nyasar ke dalam chatbox, dengan tulisan yang kira-kira seandainya kita baca akan menimbulkan tanya di kepala "nih orang siang-siang mabok atau mengigau ya?"
Saya spontan mengambil handphone dan menelpon temen, dan meminta pendapatnya. Ini "sapa'an" mau dijabanin atau tidaknya? Jawabannya sih..."biarin saja lah, jika memang itu sapaan benar buat anda, tidak usah di respon dan kalau ternyata salah, juga biarkan saja. Jadi tidak akan membuat dia malu" Bijak sekali kau siang ini bro! Terus akhirnya dilanjut lah panjang lebar diskusi tentang fecebook, yang Sebenarnya hanya ingin mengatakan satu kesimpulan saja 'pandai-pandailah menggunakan fecebook".
Fecebook pernah membuat banyak pengguna euforia, menemukan teman-teman lama, nostalgia jaman baheula, mentertawakan kekonyolan pengalaman usia "muda" dan berujung pada reuni sana-sini. Benar-benar seru. Facebook juga membuat pengguana mudah memiliki banyak teman-teman baru. Teman-teman yang sebelumya sama sekali tidak di kenal. Biasanya ada yang hobinya meng- add (menambah) temen yang memiliki kesamaan hal yang menarik misalnya; sama-sama suka photo, mem-photo, di-photo, atau sama-sama suka jalan-jalan, sama-sama suka membaca, sama-sama suka kick andy, sama-sama suka Opera Van Java, sama-sama suka lagu yang sama, sama-sama suka kata-kata bersayap, atau sekedar sama-sama narsis. Apalagi teman itu masuk kelompok pengguna dari planet yang bernama "masa lalu", hukumnya wajib di-add.
Maklum lah tidak jarang para pengguna termasuk kualifikasi makhluk yang kadar sanguin nya tinggi, suka sok kenal sok dekat sok akrab, suka sekali dengan kalimat kadang merayu, bisa saja kalimat semacam itu menimbulkan persepsi yang tidak nyaman untuk orang lain. Facebook dapat membantu penggunanya selalu merasa dekat dan tau aktifitas atau kejadian teman, sahabat dan keluarga ditengah keterbatasan jarak dan waktu. Bagi mereka fecebook adalah media yang efektif untuk menyampaikan "pesan". Beberapa kali mungkin kita terbantu oleh Facebook, terutama kabar duka, musibah atau sesuatu yang urgent.
Banyak yang sangat serius dan concern dengan facebook, sehingga sehari saja tidak online seperti kehilangan dari separuh dunianya. Apalagi jika membiarkan status update teman tanpa memberi jempol atau memberi comment; duh ada rasa yang sepertinya, kok saya gak punya empati banget pada temen yang sedang susah, jika statusnya mengeluh atau seakan-akan menggambarkan orang yang paling tertindas dimuka bumi.Minimal kirim doa lah, kasih semangat atau lanjut ke inbox, chatbox atau telepon, mungkin kita bisa jadi pendengar yang baik saat itu.
Terutama untuk temen yang akrab, biasanya jika mereka memiliki masalah, mereka sudah tau kok bagimana menyelesaikannya, tapi yang mereka lebih butuhkan adalah ada orang yang mau mendengarkan. Inilah habit para pengguna facebook kebanyakan.Oh ya, berbicara tentang "pesan", kita akan menemukan jutaan status yang mengirim sinyal pada kita apa, mengapa, siapa, sedang apa, kemana, dimana teman-teman Facebook kita saat itu. Ada yang mengirim 'sinyal' duka, sakit, senang, bahagia, makmur, sibuk, penting, hebat, sukses, sombong, dan ribuan pesan lain lewat status mereka. Termasuk sinyal yang kita kirim untuk mereka, bisa apapun isinya dan kepada siapa pun itu kita tujukan. Ini yang sering menjadi masalah,kadang kita sebal dengan status-status itu. Kesannya pengumuman banget, kesannya vulgar banget, kesannya ada orang yang merasa paling malang didunia.
Eits, tapi jangan lupa jangan-jangan ada juga yang sebal dengan status-status kita atau kita pun bisa jadi jika ada pada posisi mereka akan melakukan hal yang sama. Pandai-pandailah menyikapi status facebook, yang terpenting, hati-hati dengan status kita bila itu sudah menyangkut nama baik seseorang, nama baik keluarga, nama baik institusi yang anda masih mendapatkan nafkah darinya, jangan pernah merugikan orang lain. Fesbuk adalah jaringan sosial yang gratis, siapapun berhak menggunakan.Semua orang pasti berharap fecebook dapat digunakan dengan etika berkomunikasi yang baik. Namun kita tak harus menjadi polisi fecebook, yang bisa mengeluarkan "statement tilang" bagi mereka yang belum menggunakannya dengan baik.
Bila itu terjadi ya biar saja lah...beberapa orang mungkin memerlukan media untuk berekspresi...dengan cara-cara yang khas sesuai dengan personality yang mereka miliki. seperti seseorang yang extrovert, merasa nyaman curhat di facebook lewat note-note atau status. kalaupun sudah terasa mengganngu, toh anda dankita semua punya mekanisme untuk menyaring melalui setting di account kita sendiri. Ada blocking, remove, hiden dan lain-lain, apabila memang benar-benar anda sudah tidak nyaman dengan status-status yang mengganggu atau atas kebohongan-kebohongan dunia virtual yang sering terjadi. Andalah yang mengatur hidup anda.
Selasa, Juni 08, 2010
Haus Sebelum Kemarau
Apa yang akan anda lakukan jika dikabarkan akan terjadi kemarau panjang? Tentu saja akan melakukan serangkaian persiapan. Ada diantaranya yang melakukan penghematan air agar pada saatnya bisa bertahan, atau santai saja memasrahkan diri pada keadaan. Demikian pula dikisahkan, ada seorang lelaki kaya yang begitu menghawatirkan keadaannya jika kemarau itu benar-benar datang. Ia mengumpulkan air di ember, bahkan membuat kolam besar untuk menampung air sebanyak-banyaknya. Setiap hari ia lakukan itu sambil menunggu kemarau benar-benar tiba. Ia menggunakan jasa penduduk dengan imbalan dari kekayaan yang ia miliki.
Namun malang sekali laki-laki ini, ia tak menggunakan air barang setetespun. Bahkan untuk kebutuhan minum sehari-hari. Hingga badannya lemas dan pada suatu hari tetangga menemukannya tewas didalam rumahnya karena kekurangan cairan. Mati sebelum kemarau itu datang, kehausan ditengah gelimang air demi ketakutannya pada kemarau yang bisa jadi tak pernah ada. Kini berkacalah pada cerita diatas, pernahkah kita mengkhawatirkan pada sesuatu penderitaan yang dibayangkan kelak? Lalu kita ketakutan dan menderita meskipun penderitaan itu belum tiba? Dan bisa jadi cara merespon masalah kita begitu lebih menyakitkan dibanding kenyataan yang jika benar-benar menimpa suatu hari nati.
Lihat saja sebagian para politisi kita yang begitu takut akan berakhirnya masa kepemimpinan mereka. Menyiapkan langkah untuk dipilih kembali atau menyiapkan putra mahkota demi keberlangsungan kuasanya. Baru dilantik sudah memikirkan berakhirnya jabatan. Baru setahun sudah berfikir periode selanjutnya. Sehingga pengabdian sebagai filosofi kepemimpinan yang melayani rakyat terseret arus kecemasan yang membuat hari-harinya gelisah dan kehilangan ketenangan.
Kehausan sebelum kemarau benar-benar melanda. Hari-harinya sibuk dengan upaya menutupi ketakutannya. Apa yang dia minum belum tentu punya cita rasa lezat sebab gairah pada makanan dilenyapkan perasaan was-was. Kebaikan yang dilakukan belum tentu menenangkan batin. Sebab tindakannya selalu saja di lumuri perasaan ingin dipuji dan tak lagi dilatari perasan tulus dan ke ikhlasan. Program pembangunannya tak ditimbang lagi sebagai upaya mensejahterakan rakyat. Namun harus selalu dikaitkan dengan indikator ; apakah berpotensi meningkatkan popularitas dan elektabilitas pada perhelatan politik berikutnya atau tidak. Bukan kenyataan esensial saja yang telah dibunuh oleh ambisi masa depan, namun juga subtansialisasi visi pembangunan juga tercerabut paksa. Mengerikan sekali jika negeri ini terus di jangkiti budaya politik semacam ini.
Hidup Itu Hari Ini
Wahai para pecinta kekuasaan, hidup itu hari ini. Sehingga pertanyaan yang harus terus kita ajukan di pagi hari adalah; Apa yang terbaik yang bisa saya persembahkan hari ini? Sebagai bentuk pertanggung jawaban pada amanah hidup yang tersemat dipundak kita. Bukan bagaimana besok jika kekuasaan ini berakhir? Juga bukan apa yang telah kumiliki untuk kutinggalkan pada tujuh turunanku jika aku mati kelak. Matilah kita pada kenyataannya padahal belum mati yang sebenarnya. Meminjam Aid Alqarni; menyesali masa lalu ibarat menggergaji debu, lebih ekstrim lagi membangunkan mayat. Sia-sia tiadak ada gunanya. Mengkhawatirkan masa depan ibarat memetik durian mentah yang belum saatnya dimakan. Hidup itu hari ini, jika semua peran kita maksimalkan hari ini maa otomatis akan menorehkan kebakan dimasa lalu dan menciptakan kesuksesan di masa depan. Jinakkanlah nafsu kekuasaan kita untuk selanjutnya memelihara keikhlasan dan rasa pengabdian.
Keikhlasan Dari Para Teladan
Ambisi berkuasa, itulah yang menggulung kehidupan manusia modern. Menekuk dan melipat rasa, tak berkutik dibawah bekukan keserakahan. Akankah mereka yang saat ini diberikan amanah memimpin laiknya para teladan kita yang begitu cemerlang memimpin rakyat dan bangsanya...kita rindu dengan Umar bin Abdul Aziz r.a...yang walau hanya di beri kesempatan 3 tahun menjadi pemimpin ..namun dimasanya tidak ditemukan / dan teramat susah mencari mustahik atau orang yang akan diberikan zakat. Kita juga pasti merindukan pemimpin seperti Umar ibn Khatab. r.a..yang mempaunyai prinsip "ketika ada kelaparan dialah yang pertama meresakan lapar. Sementara ketika ada kesenangan dialah yang terakhir merasakan kenyang. Lalu lihatlah sejauh mana rasa kepedulian mereka para pemimpin kita untuk mendahulukan kepentingan rakyatnya.
Ingatkah kita dengan Said bin Umair salah seorang gebernur yang ditunjuk khalifah Umar bin Khatab di daerah Homs Syria yang waktu itu memerlukan penangan serius karena kemiskinan masyrakatnya. Khalifah mempunyai program pengentasan kemiskinan untuk daerah itu, maka dimintalah data valid dari daerah ini untukkelancaran program ini. setelah utusan dari Homs memberikan data kepada khalifah dan diteliti satu persatu. Sang khalifah terkejut dan bertanya.."Berapa orangkah di daerahmu orang yang bernama Said Bin Umair..? utusan ini menjawab .." Hanya satu Ya Amirul Mukminin..dia adalah gubernur kami" benarkah Gubernurmu ini fakir ..? lanjut khalifah..."benar ..sudah tiga hari ini dapurnya tidak berasap.." Umar yang semula hanya berkaca-kaca, akhirnya menangis denga kondisi ini..kemudian Khalifah memberikan uang seribu dinar dan berkata " berikan ini kepada gubernurmu untuk bekal hidupnya. Hari yang paling dirindui mereka tentu saja syurga, hari yang paling ditakutkan mereka adalah neraka saat keputusan pertanggungjawaban kepemimpinan di sidangkan. Jadi, saat memimpin yang dilakukan adalah optimalisasi dari kinerja, bukan menumpuk kekayaan serta merekayasa masa depan kekuasaannya. Sungguh sulit kita menirunya.
Namun malang sekali laki-laki ini, ia tak menggunakan air barang setetespun. Bahkan untuk kebutuhan minum sehari-hari. Hingga badannya lemas dan pada suatu hari tetangga menemukannya tewas didalam rumahnya karena kekurangan cairan. Mati sebelum kemarau itu datang, kehausan ditengah gelimang air demi ketakutannya pada kemarau yang bisa jadi tak pernah ada. Kini berkacalah pada cerita diatas, pernahkah kita mengkhawatirkan pada sesuatu penderitaan yang dibayangkan kelak? Lalu kita ketakutan dan menderita meskipun penderitaan itu belum tiba? Dan bisa jadi cara merespon masalah kita begitu lebih menyakitkan dibanding kenyataan yang jika benar-benar menimpa suatu hari nati.
Lihat saja sebagian para politisi kita yang begitu takut akan berakhirnya masa kepemimpinan mereka. Menyiapkan langkah untuk dipilih kembali atau menyiapkan putra mahkota demi keberlangsungan kuasanya. Baru dilantik sudah memikirkan berakhirnya jabatan. Baru setahun sudah berfikir periode selanjutnya. Sehingga pengabdian sebagai filosofi kepemimpinan yang melayani rakyat terseret arus kecemasan yang membuat hari-harinya gelisah dan kehilangan ketenangan.
Kehausan sebelum kemarau benar-benar melanda. Hari-harinya sibuk dengan upaya menutupi ketakutannya. Apa yang dia minum belum tentu punya cita rasa lezat sebab gairah pada makanan dilenyapkan perasaan was-was. Kebaikan yang dilakukan belum tentu menenangkan batin. Sebab tindakannya selalu saja di lumuri perasaan ingin dipuji dan tak lagi dilatari perasan tulus dan ke ikhlasan. Program pembangunannya tak ditimbang lagi sebagai upaya mensejahterakan rakyat. Namun harus selalu dikaitkan dengan indikator ; apakah berpotensi meningkatkan popularitas dan elektabilitas pada perhelatan politik berikutnya atau tidak. Bukan kenyataan esensial saja yang telah dibunuh oleh ambisi masa depan, namun juga subtansialisasi visi pembangunan juga tercerabut paksa. Mengerikan sekali jika negeri ini terus di jangkiti budaya politik semacam ini.
Hidup Itu Hari Ini
Wahai para pecinta kekuasaan, hidup itu hari ini. Sehingga pertanyaan yang harus terus kita ajukan di pagi hari adalah; Apa yang terbaik yang bisa saya persembahkan hari ini? Sebagai bentuk pertanggung jawaban pada amanah hidup yang tersemat dipundak kita. Bukan bagaimana besok jika kekuasaan ini berakhir? Juga bukan apa yang telah kumiliki untuk kutinggalkan pada tujuh turunanku jika aku mati kelak. Matilah kita pada kenyataannya padahal belum mati yang sebenarnya. Meminjam Aid Alqarni; menyesali masa lalu ibarat menggergaji debu, lebih ekstrim lagi membangunkan mayat. Sia-sia tiadak ada gunanya. Mengkhawatirkan masa depan ibarat memetik durian mentah yang belum saatnya dimakan. Hidup itu hari ini, jika semua peran kita maksimalkan hari ini maa otomatis akan menorehkan kebakan dimasa lalu dan menciptakan kesuksesan di masa depan. Jinakkanlah nafsu kekuasaan kita untuk selanjutnya memelihara keikhlasan dan rasa pengabdian.
Keikhlasan Dari Para Teladan
Ambisi berkuasa, itulah yang menggulung kehidupan manusia modern. Menekuk dan melipat rasa, tak berkutik dibawah bekukan keserakahan. Akankah mereka yang saat ini diberikan amanah memimpin laiknya para teladan kita yang begitu cemerlang memimpin rakyat dan bangsanya...kita rindu dengan Umar bin Abdul Aziz r.a...yang walau hanya di beri kesempatan 3 tahun menjadi pemimpin ..namun dimasanya tidak ditemukan / dan teramat susah mencari mustahik atau orang yang akan diberikan zakat. Kita juga pasti merindukan pemimpin seperti Umar ibn Khatab. r.a..yang mempaunyai prinsip "ketika ada kelaparan dialah yang pertama meresakan lapar. Sementara ketika ada kesenangan dialah yang terakhir merasakan kenyang. Lalu lihatlah sejauh mana rasa kepedulian mereka para pemimpin kita untuk mendahulukan kepentingan rakyatnya.
Ingatkah kita dengan Said bin Umair salah seorang gebernur yang ditunjuk khalifah Umar bin Khatab di daerah Homs Syria yang waktu itu memerlukan penangan serius karena kemiskinan masyrakatnya. Khalifah mempunyai program pengentasan kemiskinan untuk daerah itu, maka dimintalah data valid dari daerah ini untukkelancaran program ini. setelah utusan dari Homs memberikan data kepada khalifah dan diteliti satu persatu. Sang khalifah terkejut dan bertanya.."Berapa orangkah di daerahmu orang yang bernama Said Bin Umair..? utusan ini menjawab .." Hanya satu Ya Amirul Mukminin..dia adalah gubernur kami" benarkah Gubernurmu ini fakir ..? lanjut khalifah..."benar ..sudah tiga hari ini dapurnya tidak berasap.." Umar yang semula hanya berkaca-kaca, akhirnya menangis denga kondisi ini..kemudian Khalifah memberikan uang seribu dinar dan berkata " berikan ini kepada gubernurmu untuk bekal hidupnya. Hari yang paling dirindui mereka tentu saja syurga, hari yang paling ditakutkan mereka adalah neraka saat keputusan pertanggungjawaban kepemimpinan di sidangkan. Jadi, saat memimpin yang dilakukan adalah optimalisasi dari kinerja, bukan menumpuk kekayaan serta merekayasa masa depan kekuasaannya. Sungguh sulit kita menirunya.
Mengapa Singa Menjadi Raja?
Suatu sore penulis merasa terusik dengan satu pertanyaan yang tiba-tiba terlintas dalam fikiran yang padat dengan kegelisahan. Mengapa singa dijuluki Si Raja Hutan? Padahal sebagaimana maklumnya Singa banyak hidup di Afrika tepatnya di padang rumput, mengapa justru malah menjadi raja hutan? Langkah pertama penulis mengirimkan pesan singkat dari ponsel. Karena dianggap sebagai pertanyaan gurauan sahabat penulis menjawab dengan jawaban sekenanya. Mending menjadi raja hutan dari pada menjadi raja singa (nama sejenis penyakit).
Namun kegelisahan ini sungguh mengganggu penulis. Kontan saja ada ide untuk mengaktifkan jaringan internet dan berselancar menanyakan pertanyaan ini ke yahoo answer situs tempat kita saling bertanya dan memberikan jawaban. Jawaban yang penulis peroleh salah satunya seperti ini.”Sebenarnya julukan itu memang kurang tepat, tapi ada beberapa pihak yang beralasan sebagai berikut: Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja. Mayoritas orang telah beranggapan bahwa Afrika identik dengan hutan walaupun banyak terdapat rumput dan letak pohon-pohon yang tidak berdekatan (tersebar), tidak seperti layaknya ciri-ciri suatu hutan apalagi hutan tropis. Julukan tersebut diambil dari seorang raja yang bernama Leonidas (Leo/Leon/Lion = singa)”.
Aha, penulis menemukan jawaban yang setidaknya mampu mengisi rasa keingintahuan. Dari beberapa jawaban, satu jawaban bahwa Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja menjadi jawaban yang menyentak. Sehingga thesis saya seperti ini, siapapun kita ketika Berjaya dan sedikit bengis lalu sedikit sekali yang berani melawan akan menguasai properti, otoritas dan akomodasi atau menguasai rantai makanan, otomatis akan menjadi raja. Belum selesai menuntaskan persoalan raja, lalu penulis berselancar menuju situs pencarian elektronik ternama google dengan mengetik “raja adalah” dengan harapan mengetahui makna dari kata raja sesungguhnya. Tidak banyak yang dengan cepat bisa menjawab pertanyaan ini. Tapi penulis tertarik dengan satu jawaban. Jawabannya begini; pemimpin laki-laki kalau perempuan ratu dalam sebuah kerajaan (monarchi) atau orang yang berkepentingan/memegang jabatan paling tinggi dalam sebuah kelompok. Jawaban ini tidak mencerminkan jawaban akademik namun cukup memuaskan.
Pertanyaan mengapa singa bisa menjadi raja hutan akan sepadan dengan beberapa pertanyaan tentang mengapa kadang kita merasa heran hadir ditengah-tengah kita seorang pemimpin yang tidak sejalan dengan kehendak kita lalu menjelma bak seorang raja. Seseorang yang seharusnya pantas justeru dikalahkan oleh mereka yang tidak seharusnya. Jawaban sederhananya adalah karena tidak ada yang kuat melawannya dan ia terlanjur menjadi kuat dan “menguasai rantai makanan”. Pernyataan ini juga tidak selamanya benar, namun penulis tengah mencoba untuk mencari-cari filosofi yang pas agar kita bisa mengambil pelajaran dari fakta kehidupan tersebut.
Namun pemimpin tentu saja bukan raja, hal ini merujuk pada kesepakatan kita hidup berbangsa dengan menjunjung nilai-nilai demokrasi dan bukan monarchi. Sebab pemimpin dalam demokrasi memang memegang kekuasaan namun kekuasaan itu dibatasi. Batasannya adalah hukum konstitusional dan wewenang yang di bagi sebagaimana teori Trias politika dan ide Aristoteles bahwa kekuasaan tidaklah lazim dipegang oleh satu tangan. Kekuasaan tanpa batas tersebut dikhawatirkan akan terjadi abuse of power.
Semestinya meskipun negara sebagai suatu organisasi kekuasaan, namun ia berada di antara dua titik orientasi, yaitu upaya memaksimalkan pencapaian tujuan bernegara dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Namun persoalannya kemudian adalah mengapa kecendrungan kepemimpinan yang begitu otoritatif bak raja selalu saja terjadi? Seseorang dengan powerfull mampu mengkondisikan segala kebijakan pada kekuasaan dirinya semata. Lebih parah lagi jika kekuasaan kuat dalam genggaman satu tangan itu mampu menginternalisasikan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan hajat publik.
Makna paling dasar dari “demokrasi” adalah kekuasaan ada ditangan rakyat. Demokrasi berbeda dengan monarki (kekuasaan satu orang), aristokrasi (kekuasaan orang yang terbaik) dan oligarki (kekuasaan ada pada sebagian orang). Demokrasi dipilih oleh kalangan cerdik pandai sebagai alternatif terbaik dan yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Demokrasi kini makin diartikan sebagai hak pilih yang dimiliki semua rakyat secara umum. Oleh karenanya, pemilu dianggap sebagai aspek popular atau utama dari demokrasi.
Maka logika bahwa Singa mampu menjelma menjadi Raja disebabkan tak seorangpun mampu melawannya adalah logika check and balances. Kawal kendali ini adalah konsep agar tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang. Singa tidak akan menjelma menjadi Raja jika ia dikalahkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan lebih tinggi atau setidaknya sama. Prinsip checks and balances dapat dilacak awal mulanya dari teori pemisahan kekuasaan. Prinsip ini lahir agar dalam pemisahan kekuasaan tidak terjadi kebuntuan hubungan antarcabang kekuasaan serta untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di dalam satu cabang kekuasaan. Aristoteles dalam buku ”Politics” menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian,yaitu pertama,kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan berupa prinsipprinsip yang harus ditaati warga negara, yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang disebut kekuasaan eksekutif.
Sedangkan logika singa menguasai rantai makanan dan semua binatang tunduk dibawah kekuasaan dirinya adalah logika konstitusional. Logika yang membangun kepastian bahwa sekuat apapun kemampuan logistik seseorang, tetap tidak boleh menguasai kekuasaan di ranah demokrasi dengan membeli semua kekuatan atau dengan kata lain menaklukannya. Sejatinya hukum tidak boleh ditaklukan oleh uang. Jika hal ini bisa diwujudkan maka tidak ada keanehan “mengapa Singa bisa menjadi raja dialam demokrasi manusia?”
Di negara ini hukumlah yang semestinya menjadi panglima meskipun Hukum adalah produk politik, dan sistem politik ditentukan oleh hukum tata negara (konstitusi). Tetapi hukum statis, sementara politik dinamis karena bahan dasarnya adalah suara rakyat, parpol dan kelompok-kelompok kepentingan. Artinya, politik lebih memegang kendali daripada hukum, baik memegang kendali atas hukum atau atas hal-hal selainnya. Fenomena ini seharusnya tidak perlu dirisaukan karena itulah keadaan dasar hukum dan politik. Sejauh politik dapat dikendalikan ke arah positif, maka hukum juga akan positif.
Semangat yang mematikan sistem sebaik apapun adalah keserakahan. Keserakahan memang menjadi ciri dari manusia. Namun kesalahan bukan pada keserakahan. Manusia pada dasarnya sudah serakah. Tapi bagaimana regulasi dapat mengendalikan dan menyalurkan hasrat kepentingan diri itu sehingga dapat tercipta sebuah tatanan. Ilmu ekonomi lahir berupaya menjawab itu. Ilmu politik, dan bahkan ilmu agama juga sangat memahami esensi dasar manusia itu. Selama hasrat itu dilakukan secara eksesif, tanpa memikirkan orang lain, tanpa memikirkan lingkungan, maka bisa dipastikan hasrat mengejar kepentingan diri akan berdampak buruk. Namun, bila gerak pengejaran kepentingan diri ini dilakukan dengan dasar simpati, diatur dengan baik, tatanan akan terwujud. Tapi kita tahu, kenyataan tak semudah itu.
Namun kegelisahan ini sungguh mengganggu penulis. Kontan saja ada ide untuk mengaktifkan jaringan internet dan berselancar menanyakan pertanyaan ini ke yahoo answer situs tempat kita saling bertanya dan memberikan jawaban. Jawaban yang penulis peroleh salah satunya seperti ini.”Sebenarnya julukan itu memang kurang tepat, tapi ada beberapa pihak yang beralasan sebagai berikut: Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja. Mayoritas orang telah beranggapan bahwa Afrika identik dengan hutan walaupun banyak terdapat rumput dan letak pohon-pohon yang tidak berdekatan (tersebar), tidak seperti layaknya ciri-ciri suatu hutan apalagi hutan tropis. Julukan tersebut diambil dari seorang raja yang bernama Leonidas (Leo/Leon/Lion = singa)”.
Aha, penulis menemukan jawaban yang setidaknya mampu mengisi rasa keingintahuan. Dari beberapa jawaban, satu jawaban bahwa Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja menjadi jawaban yang menyentak. Sehingga thesis saya seperti ini, siapapun kita ketika Berjaya dan sedikit bengis lalu sedikit sekali yang berani melawan akan menguasai properti, otoritas dan akomodasi atau menguasai rantai makanan, otomatis akan menjadi raja. Belum selesai menuntaskan persoalan raja, lalu penulis berselancar menuju situs pencarian elektronik ternama google dengan mengetik “raja adalah” dengan harapan mengetahui makna dari kata raja sesungguhnya. Tidak banyak yang dengan cepat bisa menjawab pertanyaan ini. Tapi penulis tertarik dengan satu jawaban. Jawabannya begini; pemimpin laki-laki kalau perempuan ratu dalam sebuah kerajaan (monarchi) atau orang yang berkepentingan/memegang jabatan paling tinggi dalam sebuah kelompok. Jawaban ini tidak mencerminkan jawaban akademik namun cukup memuaskan.
Pertanyaan mengapa singa bisa menjadi raja hutan akan sepadan dengan beberapa pertanyaan tentang mengapa kadang kita merasa heran hadir ditengah-tengah kita seorang pemimpin yang tidak sejalan dengan kehendak kita lalu menjelma bak seorang raja. Seseorang yang seharusnya pantas justeru dikalahkan oleh mereka yang tidak seharusnya. Jawaban sederhananya adalah karena tidak ada yang kuat melawannya dan ia terlanjur menjadi kuat dan “menguasai rantai makanan”. Pernyataan ini juga tidak selamanya benar, namun penulis tengah mencoba untuk mencari-cari filosofi yang pas agar kita bisa mengambil pelajaran dari fakta kehidupan tersebut.
Namun pemimpin tentu saja bukan raja, hal ini merujuk pada kesepakatan kita hidup berbangsa dengan menjunjung nilai-nilai demokrasi dan bukan monarchi. Sebab pemimpin dalam demokrasi memang memegang kekuasaan namun kekuasaan itu dibatasi. Batasannya adalah hukum konstitusional dan wewenang yang di bagi sebagaimana teori Trias politika dan ide Aristoteles bahwa kekuasaan tidaklah lazim dipegang oleh satu tangan. Kekuasaan tanpa batas tersebut dikhawatirkan akan terjadi abuse of power.
Semestinya meskipun negara sebagai suatu organisasi kekuasaan, namun ia berada di antara dua titik orientasi, yaitu upaya memaksimalkan pencapaian tujuan bernegara dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Namun persoalannya kemudian adalah mengapa kecendrungan kepemimpinan yang begitu otoritatif bak raja selalu saja terjadi? Seseorang dengan powerfull mampu mengkondisikan segala kebijakan pada kekuasaan dirinya semata. Lebih parah lagi jika kekuasaan kuat dalam genggaman satu tangan itu mampu menginternalisasikan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan hajat publik.
Makna paling dasar dari “demokrasi” adalah kekuasaan ada ditangan rakyat. Demokrasi berbeda dengan monarki (kekuasaan satu orang), aristokrasi (kekuasaan orang yang terbaik) dan oligarki (kekuasaan ada pada sebagian orang). Demokrasi dipilih oleh kalangan cerdik pandai sebagai alternatif terbaik dan yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Demokrasi kini makin diartikan sebagai hak pilih yang dimiliki semua rakyat secara umum. Oleh karenanya, pemilu dianggap sebagai aspek popular atau utama dari demokrasi.
Maka logika bahwa Singa mampu menjelma menjadi Raja disebabkan tak seorangpun mampu melawannya adalah logika check and balances. Kawal kendali ini adalah konsep agar tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang. Singa tidak akan menjelma menjadi Raja jika ia dikalahkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan lebih tinggi atau setidaknya sama. Prinsip checks and balances dapat dilacak awal mulanya dari teori pemisahan kekuasaan. Prinsip ini lahir agar dalam pemisahan kekuasaan tidak terjadi kebuntuan hubungan antarcabang kekuasaan serta untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di dalam satu cabang kekuasaan. Aristoteles dalam buku ”Politics” menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian,yaitu pertama,kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan berupa prinsipprinsip yang harus ditaati warga negara, yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang disebut kekuasaan eksekutif.
Sedangkan logika singa menguasai rantai makanan dan semua binatang tunduk dibawah kekuasaan dirinya adalah logika konstitusional. Logika yang membangun kepastian bahwa sekuat apapun kemampuan logistik seseorang, tetap tidak boleh menguasai kekuasaan di ranah demokrasi dengan membeli semua kekuatan atau dengan kata lain menaklukannya. Sejatinya hukum tidak boleh ditaklukan oleh uang. Jika hal ini bisa diwujudkan maka tidak ada keanehan “mengapa Singa bisa menjadi raja dialam demokrasi manusia?”
Di negara ini hukumlah yang semestinya menjadi panglima meskipun Hukum adalah produk politik, dan sistem politik ditentukan oleh hukum tata negara (konstitusi). Tetapi hukum statis, sementara politik dinamis karena bahan dasarnya adalah suara rakyat, parpol dan kelompok-kelompok kepentingan. Artinya, politik lebih memegang kendali daripada hukum, baik memegang kendali atas hukum atau atas hal-hal selainnya. Fenomena ini seharusnya tidak perlu dirisaukan karena itulah keadaan dasar hukum dan politik. Sejauh politik dapat dikendalikan ke arah positif, maka hukum juga akan positif.
Semangat yang mematikan sistem sebaik apapun adalah keserakahan. Keserakahan memang menjadi ciri dari manusia. Namun kesalahan bukan pada keserakahan. Manusia pada dasarnya sudah serakah. Tapi bagaimana regulasi dapat mengendalikan dan menyalurkan hasrat kepentingan diri itu sehingga dapat tercipta sebuah tatanan. Ilmu ekonomi lahir berupaya menjawab itu. Ilmu politik, dan bahkan ilmu agama juga sangat memahami esensi dasar manusia itu. Selama hasrat itu dilakukan secara eksesif, tanpa memikirkan orang lain, tanpa memikirkan lingkungan, maka bisa dipastikan hasrat mengejar kepentingan diri akan berdampak buruk. Namun, bila gerak pengejaran kepentingan diri ini dilakukan dengan dasar simpati, diatur dengan baik, tatanan akan terwujud. Tapi kita tahu, kenyataan tak semudah itu.
Minggu, Juni 06, 2010
Semangat MM dan NMR
Fitron Nur Ikhsan
Masyarakat Pena Saija
Sabtu 5 Juni 2010 petang saya menemukan pribadi yang mengajarkan arti sebuah pengabdian. Pribadi yang belum lama saya kenal secara dekat, pribadi yang dulu sering saya dengar namanya namun belakangan baru saya kenal wajahnya. Mukhtar Mandala, malam itu ia menerbitkan satu buku yang menggugah banyak jiwa. Buku istimewa, sebab buku tersebut merupakan kado yang ia persembahkan untuk kampung dimana ia dibesarkan. Kampung kecil yang ia beri nama Nyi Mas Ropoh (NMR). Mukhtar Mandala (MM) malam itu menggugah anak muda untuk memulai atau melanjutkan satu kata yang begitu inspiratif, “Pengabdian”. Saya gelisah sepanjang malam, diusia 65 tahun begitu banyak kearifan dapat saya timba dari MM, Tidak terasa esok harinya Minggu, 6 Juni 2010 saya menginjak 30 tahun, usia yang seharusnya menginjak kemapanan, usia yang seharusnya menancapkan kekokohan. Usia yang seharusnya telah mulai menghitung sedikit sisa umur untuk berbuat hal besar. Dan 30 tahunku adalah 30 tahun penuh ketakutan, 30 tahun penuh harapan, 30 tahun dimana orang-orang tercinta risau, menunggu, khawatir dan prihatin. Saya tidak terlahir sebagai orang Banten, tapi hidup dan dibesarkan di Banten. Dimana kegelisahan dan kemarahan sering terlampiaskan disini. Malam hari itu membuat saya semakin semangat bahwa setidaknya saya bisa seperti MM mengabdi tiada henti
Nyi Mas Ropoh kampungku. Begitulah ia memberi judul buku itu. Bagi banyak orang kampung halaman adalah tempat yang setidaknya memendam legenda. Karena memang disanalah kita di lahirkan, bermain, bercengkerama dengan teman sebaya. Namun tak semua bisa terus bertahan karena harus menimba, mencari dan bahkan menggapai perubahan dengan memilih meninggalkannya. Kadang kita sangat beruntung, dengan meninggalkan tanah kelahiran kemudian memulai perubahan, menemukan yang kita cari dan menggapai apa yang kita inginkan. Namun banyak sekali diantara kita yang tak memilih kembali. Karena kehidupan ditempat yang baru memanjakan mimpi-mimpi. Atau bisa jadi dihati kita, kampung halaman menjadi asing, karena segalanya serba terbatas dan masghul kita memikirkannya karena terlalu asyik didunia kita yang serba baru.
Tapi tidak bagi Mukhtar Mandala. Malam itu empat puluh tahun lalu ia memulai melakukan perubahan, ia ingin kampung tempatnya lahir dan dibesarkan berubah. Ia memulainya dengan satu kunci “pemberdayaan”. Fikiran saya melesat jauh, semangat saya sejenak berapi-api, khayalan saya mendesak-desak ingin segera dapat melakukan hal yang sama. Lalu dalam lamunan saya berfikir; misalkan saja setiap sarjana kembali kekampung, atau setidaknya tak melupakan kampungnya, kemudian melakukan sedikit atau banyak dengan kemampuan yang dia miliki, mendorong perubahan kecil yang ia mulai dari kampungnya, upaya tersebut akan menjadi tindakan nyata merubah Indonesia. Tapi sayang tidak banyak yang bisa melakukan itu, termasuk penulis.
MM memulai dengan semangat kebersamaan, menyadari perubahan tak bisa ia selesaikan sendiri. Merubah kognisi masyarakat, mendorong mereka menciptakan energi perubahan ternyata mungkin dan dapat dilakukan. Masyarakat sesungguhnya memiliki potensi besar untuk memacu perubahan tanpa harus dipaksa, disuapi atau dimanjakan pemerintah. Seperti yang MM lakukan di mulai di tanah kelahirannya. Kita selalu dilanda kesalahpandangan bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab pada kemajuan, pemimpinlah yang harus menyeret-nyeret kita pada perubahan, dan kita lupa sesungguhnya kita adalah pemimpin dan kehadiran kita dituntut untuk melakukan hal yang paling berharga. Begitulah panggilan jiwa manusia pembelajar (humanity calling), manusia yang lebih dulu terpanggil; jika tidak saya, siapa yang akan memulai.
Jiwa pengabdian memang tak boleh menuntut penghargaan, sebab air tak pernah terlihat saat bangunan telah berdiri kokoh. Padahal tanpa air siapa yang mampu mengikat dan mengeratkan pasir, semen dan batu bata? Tanpa air mana mungkin bangunan itu ada? Tapi air menghilang tak lama setelah setumpuk, dua tumpuk batu-bata tertata. Air tak terlihat sama sekali saat bangunan telah kokoh dan dengan gagahnya ia berdiri. Bahkan kita tidak ingat, jika begitu penting peran air pada peristiwa besar itu. Kita justru asyik memuji genting, keramik dan kaca-kaca. Sungguh air mengajarkan keikhlasan.
Malam itu saat peluncuran buku memperingati 25 tahun NMR, juga bertepatan dengan ulang tahun ke 65 MM. Suasana haru memaksa air mata saya menitik, teringat almarhum Uwes Qarni (UQ) dan Ekky Syahrudin (ES), sosok pejuang itu hadir dalam semangat kecintaan saya pada Banten. Terlalu singkat saya menegenal beliau. Saat perjuangan pendirian Provinsi Banten UQ dan ES mengajarkan kita seperti menanam pohon. Menanam dan tidak harus kita yang menuai hasilnya. Jika tidak ada yang menanam kelapa, tak mungkin kita bisa merasakan buah segarnya. Begitu banyak sosok pejuang di Banten ini yang mengajarkan satu kata “pengabdian”.
Saya merindukan ada satu kesempatan bisa menyambung rasa, menularkan semangat juang yang mulai pudar di dunia anak muda saat ini. Entah apa pemicunya? mungkin kita kini sibuk memikirkan diri kita sendiri, mungkin kita asik membuat sekat dan mempertebal perbedaan, atau mungkin kini kita lelah jika harus terus menanam. Kita tergoda untuk memilih menjadi pemanen saja. Jika itu benar menjadi pilihan, tanpa kita sadari kita akan mewariskan kelemahan pada generasi mendatang. Kelemahan yang saya bayangkan adalah kelemahan daya juang. Padahal daya juang sampai kapanpun kita butuhkan.
Sambung rasa, dialog antar generasi, menimba kearifan yang jarang terjadi. Tapi saya beruntung menemukannya di NMR. Meskipun bukan sebagai inisiator, saya bersyukur memiliki kesempatan untuk ikut berdiskusi di sebuah Forum Cendikia Banten, FCB dibidani MM kelahirannya. MM mempertemukan kami dengan Surjadi Sudirja, petuah dan pengalamannya membuat semangat perjuangan kami berbinar. MM juga mempertemukan kami dengan Roni Niti Baskara, Farich Nahril, Mardini, Yoyo Mulyana, Dainul Hay dan kami menunggu untuk berjibaku menimba pengalaman dengan Triana Syam’un, Taufik Ruki, Irsyad Juaeli, H.M.A Tihami, Embay Mulya Syarif, dan tokoh Banten lainnya. Di NMR akhirnya kami juga mengenal pemuda Banten yang sudah gemilang, Ibnu Hammad, Ahmad Mukhlis Yusuf, Lily Romly, Gola Gong, Abdul Hamid, Abdul Malik, Firman Venayaksa, Hery Erlangga, Zaenal Muttaqin, Amir Hamzah dengan latar belakang beragam serta ideologi politik yang telah terkotak. Jika tokoh Banten menyatu menanggalkan kepentingan dan ego ideologi mengapa kita yang muda tidak bisa? Dan tidak harus mencaci kelemahan atau memperuncing perbedaan.
Saya tidak tahu apakah fakta sejarah ini tertulis atau tidak, namun NMR pernah merekonsiliasi dan menjembatani perbedaan pendapat saat detik-detik Banten dideklarasikan menjadi Provinsi. NMR juga menjadi tempat bersejarah karena peristiwa besar juga di gaungkan dari kampung kecil itu. Saya tidak mensakralkan tempat, saya hanya merindukan ada reuni semangat yang juga di wariskan kepada anak muda Banten, untuk kembali mengatakan kepada sejarah; Banten di bangun untuk sebuah tujuan luhur, mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan membangun peradaban yang lebih maju. Banten saat itu bukanlah Banten yang diperjuangkan untuk kemudian diserahkan secara cuma-cuma kepada keserakahan, di gelontorkan ibarat cek kosong tanpa tujuan. Ingat! Banten di bangun dengan keringat dan air mata.
NMR malam itu memang begitu sederhana. Namun MM membawa hadirin untuk kembali memaknai bahwa pengabdian dimulai dari diri sendiri, tak harus memulai dari hal yang besar tapi mengawalinya dari yang kecil, tidak harus terburu-buru namun tetap menjaga kepastian, keyakinan bahwa idealisme tak boleh tercerabut sedikitpun dari jiwa kita. Tidak banyak yang ingin saya zooming dari lesson learned peluncuran buku Nyi Mas Ropoh (NMR), satu kalimat yang saya telah tulis malam itu di buku harian; “pengabdian harus dimulai tanpa harus berfikir kapan mengakhirinya”. Selamat Ulang Tahun Mukhtar Mandala!
Masyarakat Pena Saija
Sabtu 5 Juni 2010 petang saya menemukan pribadi yang mengajarkan arti sebuah pengabdian. Pribadi yang belum lama saya kenal secara dekat, pribadi yang dulu sering saya dengar namanya namun belakangan baru saya kenal wajahnya. Mukhtar Mandala, malam itu ia menerbitkan satu buku yang menggugah banyak jiwa. Buku istimewa, sebab buku tersebut merupakan kado yang ia persembahkan untuk kampung dimana ia dibesarkan. Kampung kecil yang ia beri nama Nyi Mas Ropoh (NMR). Mukhtar Mandala (MM) malam itu menggugah anak muda untuk memulai atau melanjutkan satu kata yang begitu inspiratif, “Pengabdian”. Saya gelisah sepanjang malam, diusia 65 tahun begitu banyak kearifan dapat saya timba dari MM, Tidak terasa esok harinya Minggu, 6 Juni 2010 saya menginjak 30 tahun, usia yang seharusnya menginjak kemapanan, usia yang seharusnya menancapkan kekokohan. Usia yang seharusnya telah mulai menghitung sedikit sisa umur untuk berbuat hal besar. Dan 30 tahunku adalah 30 tahun penuh ketakutan, 30 tahun penuh harapan, 30 tahun dimana orang-orang tercinta risau, menunggu, khawatir dan prihatin. Saya tidak terlahir sebagai orang Banten, tapi hidup dan dibesarkan di Banten. Dimana kegelisahan dan kemarahan sering terlampiaskan disini. Malam hari itu membuat saya semakin semangat bahwa setidaknya saya bisa seperti MM mengabdi tiada henti
Nyi Mas Ropoh kampungku. Begitulah ia memberi judul buku itu. Bagi banyak orang kampung halaman adalah tempat yang setidaknya memendam legenda. Karena memang disanalah kita di lahirkan, bermain, bercengkerama dengan teman sebaya. Namun tak semua bisa terus bertahan karena harus menimba, mencari dan bahkan menggapai perubahan dengan memilih meninggalkannya. Kadang kita sangat beruntung, dengan meninggalkan tanah kelahiran kemudian memulai perubahan, menemukan yang kita cari dan menggapai apa yang kita inginkan. Namun banyak sekali diantara kita yang tak memilih kembali. Karena kehidupan ditempat yang baru memanjakan mimpi-mimpi. Atau bisa jadi dihati kita, kampung halaman menjadi asing, karena segalanya serba terbatas dan masghul kita memikirkannya karena terlalu asyik didunia kita yang serba baru.
Tapi tidak bagi Mukhtar Mandala. Malam itu empat puluh tahun lalu ia memulai melakukan perubahan, ia ingin kampung tempatnya lahir dan dibesarkan berubah. Ia memulainya dengan satu kunci “pemberdayaan”. Fikiran saya melesat jauh, semangat saya sejenak berapi-api, khayalan saya mendesak-desak ingin segera dapat melakukan hal yang sama. Lalu dalam lamunan saya berfikir; misalkan saja setiap sarjana kembali kekampung, atau setidaknya tak melupakan kampungnya, kemudian melakukan sedikit atau banyak dengan kemampuan yang dia miliki, mendorong perubahan kecil yang ia mulai dari kampungnya, upaya tersebut akan menjadi tindakan nyata merubah Indonesia. Tapi sayang tidak banyak yang bisa melakukan itu, termasuk penulis.
MM memulai dengan semangat kebersamaan, menyadari perubahan tak bisa ia selesaikan sendiri. Merubah kognisi masyarakat, mendorong mereka menciptakan energi perubahan ternyata mungkin dan dapat dilakukan. Masyarakat sesungguhnya memiliki potensi besar untuk memacu perubahan tanpa harus dipaksa, disuapi atau dimanjakan pemerintah. Seperti yang MM lakukan di mulai di tanah kelahirannya. Kita selalu dilanda kesalahpandangan bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab pada kemajuan, pemimpinlah yang harus menyeret-nyeret kita pada perubahan, dan kita lupa sesungguhnya kita adalah pemimpin dan kehadiran kita dituntut untuk melakukan hal yang paling berharga. Begitulah panggilan jiwa manusia pembelajar (humanity calling), manusia yang lebih dulu terpanggil; jika tidak saya, siapa yang akan memulai.
Jiwa pengabdian memang tak boleh menuntut penghargaan, sebab air tak pernah terlihat saat bangunan telah berdiri kokoh. Padahal tanpa air siapa yang mampu mengikat dan mengeratkan pasir, semen dan batu bata? Tanpa air mana mungkin bangunan itu ada? Tapi air menghilang tak lama setelah setumpuk, dua tumpuk batu-bata tertata. Air tak terlihat sama sekali saat bangunan telah kokoh dan dengan gagahnya ia berdiri. Bahkan kita tidak ingat, jika begitu penting peran air pada peristiwa besar itu. Kita justru asyik memuji genting, keramik dan kaca-kaca. Sungguh air mengajarkan keikhlasan.
Malam itu saat peluncuran buku memperingati 25 tahun NMR, juga bertepatan dengan ulang tahun ke 65 MM. Suasana haru memaksa air mata saya menitik, teringat almarhum Uwes Qarni (UQ) dan Ekky Syahrudin (ES), sosok pejuang itu hadir dalam semangat kecintaan saya pada Banten. Terlalu singkat saya menegenal beliau. Saat perjuangan pendirian Provinsi Banten UQ dan ES mengajarkan kita seperti menanam pohon. Menanam dan tidak harus kita yang menuai hasilnya. Jika tidak ada yang menanam kelapa, tak mungkin kita bisa merasakan buah segarnya. Begitu banyak sosok pejuang di Banten ini yang mengajarkan satu kata “pengabdian”.
Saya merindukan ada satu kesempatan bisa menyambung rasa, menularkan semangat juang yang mulai pudar di dunia anak muda saat ini. Entah apa pemicunya? mungkin kita kini sibuk memikirkan diri kita sendiri, mungkin kita asik membuat sekat dan mempertebal perbedaan, atau mungkin kini kita lelah jika harus terus menanam. Kita tergoda untuk memilih menjadi pemanen saja. Jika itu benar menjadi pilihan, tanpa kita sadari kita akan mewariskan kelemahan pada generasi mendatang. Kelemahan yang saya bayangkan adalah kelemahan daya juang. Padahal daya juang sampai kapanpun kita butuhkan.
Sambung rasa, dialog antar generasi, menimba kearifan yang jarang terjadi. Tapi saya beruntung menemukannya di NMR. Meskipun bukan sebagai inisiator, saya bersyukur memiliki kesempatan untuk ikut berdiskusi di sebuah Forum Cendikia Banten, FCB dibidani MM kelahirannya. MM mempertemukan kami dengan Surjadi Sudirja, petuah dan pengalamannya membuat semangat perjuangan kami berbinar. MM juga mempertemukan kami dengan Roni Niti Baskara, Farich Nahril, Mardini, Yoyo Mulyana, Dainul Hay dan kami menunggu untuk berjibaku menimba pengalaman dengan Triana Syam’un, Taufik Ruki, Irsyad Juaeli, H.M.A Tihami, Embay Mulya Syarif, dan tokoh Banten lainnya. Di NMR akhirnya kami juga mengenal pemuda Banten yang sudah gemilang, Ibnu Hammad, Ahmad Mukhlis Yusuf, Lily Romly, Gola Gong, Abdul Hamid, Abdul Malik, Firman Venayaksa, Hery Erlangga, Zaenal Muttaqin, Amir Hamzah dengan latar belakang beragam serta ideologi politik yang telah terkotak. Jika tokoh Banten menyatu menanggalkan kepentingan dan ego ideologi mengapa kita yang muda tidak bisa? Dan tidak harus mencaci kelemahan atau memperuncing perbedaan.
Saya tidak tahu apakah fakta sejarah ini tertulis atau tidak, namun NMR pernah merekonsiliasi dan menjembatani perbedaan pendapat saat detik-detik Banten dideklarasikan menjadi Provinsi. NMR juga menjadi tempat bersejarah karena peristiwa besar juga di gaungkan dari kampung kecil itu. Saya tidak mensakralkan tempat, saya hanya merindukan ada reuni semangat yang juga di wariskan kepada anak muda Banten, untuk kembali mengatakan kepada sejarah; Banten di bangun untuk sebuah tujuan luhur, mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan membangun peradaban yang lebih maju. Banten saat itu bukanlah Banten yang diperjuangkan untuk kemudian diserahkan secara cuma-cuma kepada keserakahan, di gelontorkan ibarat cek kosong tanpa tujuan. Ingat! Banten di bangun dengan keringat dan air mata.
NMR malam itu memang begitu sederhana. Namun MM membawa hadirin untuk kembali memaknai bahwa pengabdian dimulai dari diri sendiri, tak harus memulai dari hal yang besar tapi mengawalinya dari yang kecil, tidak harus terburu-buru namun tetap menjaga kepastian, keyakinan bahwa idealisme tak boleh tercerabut sedikitpun dari jiwa kita. Tidak banyak yang ingin saya zooming dari lesson learned peluncuran buku Nyi Mas Ropoh (NMR), satu kalimat yang saya telah tulis malam itu di buku harian; “pengabdian harus dimulai tanpa harus berfikir kapan mengakhirinya”. Selamat Ulang Tahun Mukhtar Mandala!
Selasa, Juni 01, 2010
"Walaupun" bukan "Karena"
Lelah berjalan dari satu horizon ke horizon yang lain. Ia ingin mencari cara, menemukan mantera agar dapat menghidupkan kembali kekasihnya yang telah mati. Ia merasa separuh kehidupannya hilang. Apa pun yang terjadi dan sejauh apapun ia melangkah, ia akan lakukan. Sebab, ia begitu yakin akan bertemu seorang mahaguru yang mau mengajarkan kesaktian itu. Ia terus mencari.
Tibalah ia disebuah rumah yang lebih tepat menyerupai kuil. Hidup sebuah keluarga pendeta baik hati. Ia begitu menghormati tamunya, apa yang ia miliki ia suguhkan. Karena baginya membuat orang lain senang adalah puncak pengabdian menebar kasih sayang. Pendeta juga menyediakan untuk Lelaki itu sebuah kamar terbaik dan dipersilahkan untuk menginap hingga ia merasa siap melanjutkan perjalanannya kembali.
Pada suatu hari, lelaki ini dipersilahkan menyantap makan pagi, pendeta itu menunggui lelaki itu tanpa menyentuh satu jenis makananpun. Seolah seperti pelayan yang menyuguhkan makanan kepada majikannya. Ketika datang anak pendeta itu dan menyerobot sepotong daging ayam bakar lalu memakannya. Kontan saja pendeta itu marah karena tak senang dengan perbuatan anaknya. Diikatlah kedua tangan dan kakinya dan dilemparkan kedalam pembakaran api, terbakarlah sekujur tubuh anaknya hingga hancur menjadi abu.
Lelaki itu terkejut dan mendadak memuntahkan makanan yg dihidangkan padanya. "Kau kejam sekali, aku tidak sudi menyantap makanan yg dihidang orang kejam sepertimu". Lelaki itu kecewa dengan kekejaman pendeta itu. Lalu pendeta itu meyakinkan lelaki itu untuk tidak marah. Ia berjanji nanti malam akan menghidupkan anaknya yang telah menjadi abu. Benar saja, tepatnya ketika malam telah larut lelaki itu mengambil kitab yang ia simpan dibawah tempat tidurnya, seperti mengcap mantera ia baca seluruh isi buku itu dihadapan abu tempat membakar anaknya. Saat pagi tiba, dihadapan pendeta itu menjelmalah seorang anak laki-laki yang ternyata anak pendeta yang kemarin ia bakar. Tubuhnya pulih seperti sedia kala dan dalam keadaan tidur terlentang dihadapannya.
Muncul niat dihati lelaki itu untuk mencuri kitab yang dibaca pendeta tadi malam, ia akan baca dihadapan tulang belulang kekasihnya. Harapan kekasih hati hidup kembali sudah ada didepan mata. (To be continue) 087772888080
Tibalah ia disebuah rumah yang lebih tepat menyerupai kuil. Hidup sebuah keluarga pendeta baik hati. Ia begitu menghormati tamunya, apa yang ia miliki ia suguhkan. Karena baginya membuat orang lain senang adalah puncak pengabdian menebar kasih sayang. Pendeta juga menyediakan untuk Lelaki itu sebuah kamar terbaik dan dipersilahkan untuk menginap hingga ia merasa siap melanjutkan perjalanannya kembali.
Pada suatu hari, lelaki ini dipersilahkan menyantap makan pagi, pendeta itu menunggui lelaki itu tanpa menyentuh satu jenis makananpun. Seolah seperti pelayan yang menyuguhkan makanan kepada majikannya. Ketika datang anak pendeta itu dan menyerobot sepotong daging ayam bakar lalu memakannya. Kontan saja pendeta itu marah karena tak senang dengan perbuatan anaknya. Diikatlah kedua tangan dan kakinya dan dilemparkan kedalam pembakaran api, terbakarlah sekujur tubuh anaknya hingga hancur menjadi abu.
Lelaki itu terkejut dan mendadak memuntahkan makanan yg dihidangkan padanya. "Kau kejam sekali, aku tidak sudi menyantap makanan yg dihidang orang kejam sepertimu". Lelaki itu kecewa dengan kekejaman pendeta itu. Lalu pendeta itu meyakinkan lelaki itu untuk tidak marah. Ia berjanji nanti malam akan menghidupkan anaknya yang telah menjadi abu. Benar saja, tepatnya ketika malam telah larut lelaki itu mengambil kitab yang ia simpan dibawah tempat tidurnya, seperti mengcap mantera ia baca seluruh isi buku itu dihadapan abu tempat membakar anaknya. Saat pagi tiba, dihadapan pendeta itu menjelmalah seorang anak laki-laki yang ternyata anak pendeta yang kemarin ia bakar. Tubuhnya pulih seperti sedia kala dan dalam keadaan tidur terlentang dihadapannya.
Muncul niat dihati lelaki itu untuk mencuri kitab yang dibaca pendeta tadi malam, ia akan baca dihadapan tulang belulang kekasihnya. Harapan kekasih hati hidup kembali sudah ada didepan mata. (To be continue) 087772888080
Senin, Mei 31, 2010
Kemana Ayah?
Astaga.. kesiangan rupanya, mata ini terasa begitu berat, padahal tadi malam aku tidur lebih awal. "oh iya, ayah dimana?", ayah punya janji denganku. Hari ini hendak mengajakku kerumah Ibude, kulemparkan saja sarung yang melilit di badanku, bergegas aku menuju keluar kamar, "ayah...ayah, ayah dimana?" tidak ada seorangpun yang menyahut, pasti ayah sudah berangkat, hati ini mulai kecewa, aku lari kedapur mencarinya dan benar saja, aku mendapati sepeda ayah sudah tak ada. pasti ayah sudah berangkat, tapi mengapa berangkat sepagi ini, dan mengapa membiarkan aku tertidur? mengapa ayah tidak membangunkan aku? padahal ayah sudah berjanji.
kubasuh mukaku dengan air wudlu dan bergegas ke mushola yang jaraknya selemparan batu. aku sudah kesiangan. sholat subuhku rasanya tak pake jeda lagi, yang penting genap dua rakaat. kusambar celana pendek merah seragam SD-ku dan kaos merah bergambar tugu monas favoritku dan aku bergegas keluar tanpa menghiraukan teriakan ibu yang baru datang dari rumah Ibulek, entah apa yang ibu minta dar bulek, sepertinya ibu menenteng kantung plastik berwarna hitam.
Aku berlari menyusuri jalan bebatuan yang baru saja dikeraskan mesin stum, rupanya sebentar lagi akan di siram aspal. Pak Sugimin sopir stum kemarin sudah datang kerumah Mbak Siru, berarti sebentar lagi akan dimulai proyek rehab jalan. Dulu juga begitu, masyarakat kampung kelihatan lega ketika drum-drum aspal sudah datang, lalu Pak Wagimin sudah memarkirkan stum berwarna kuning bertuliskan "Pekerjaan Umum". Tandanya lubang-lubang jalan sebentar lagi akan rata. tapi perhatianku tidak sepenuhnya tertuju kesana, bahkan aku tak menghiraukan beberapa kali kakiku tersandung bebatuan yang tercecer dari tumpukannya. aku berlari dengan kencang agar bisa menyusul ayah. aku heran mengapa ayah meninggalkan aku, padahal ayah sudah berjanji. ini hari minggu, kemarin waktu ayah mendampingiku mengambil raport, ayah bilang; "kalau kamu rengking kesatu lagi,hari minggu ayah ajak kerumah bude". bagiku diajak kerumah bude itu artinya aku bakal mendapat uang jajan, yang jarang aku peroleh dari ayah dan ibu. Atau aku bakal mewarisi baju bekas Mas Rudi yang sudah kekecilan atau sedikit robek, tidak mengapa yang penting aku punya baju baru, maksudku baju yang lain dari baju-baju yang ada. meskipun sobek toh ibu bisa menambal sendiri dirumah.
Ibude itu kakaknya ayah,bude memang lebih beruntung, punya suami seorang pengepul pisang yang sukses, pisang-pisang yang dibeli dibawa ke Pulau Jawa, biasanya ke Serang atau Tangerang. ayah pernah bercerita, Ia dulu pernah ikut mobil truck milik Pade ke Jawa, Jawa itu berbeda dengan Lampung, disana sudah ramai, ayah bercerita dengan bangga, kalau kesana naik kapal Fery besar sekali, kata ayah. Namun aku tidak bisa membayangkan bagaimana kapal Fery berenang mengarungi lautan, aku sendiri belum pernah melihat laut. aku baru melihat gambarnya di kertas kalender. Tentang ombak saja aku banyak mendengar dari Duki anak Ustad Marjuki yang sering diajak mengambil gaji di Departemen Agama Lampung selatan, dan katanya dia sering melihat ombak menyambar hampir kebadan jalan saat dia di bonceng sepeda motor ayahnya. Aku ingin menyeberang kepulau Jawa, pergi ke Jakarta dan berfoto didepan tugu monas, seperti gambar di kausku ini. Kaus ini dari Pak De, ia dapatkan di Pasar Senen. Katanya baju bekas anak pejabat.
Nafasku tersengal, tapi aku tidak menghiraukannya. beberapa kali aku salah orang, ketika aku lihat didepan temaram ada lelaki berkendara sepeda, kupikir ayah, ternyata setelah aku memacu lariku dan mendekat ternyata orang lain dan aku kecewa. kini langkahku agak terseok karena aku melewati jalan menanjak dan kadang turun begitu curam, di daerah gunung Naga, disini terkenal ada ular naga, aku sendiri belum pernah melihatnya, kata orang lidahnya menjulurkan api. imaginasiku membayangkan sosok naga seperti di komik yang di tulis Tatang S. biasanya di ceritakan tentang neraka. tapi aku tidak merasa takut sedikitpun, keinginanku bisa mengejar ayah itu saja.
Malang,saat aku tidak lagi bisa menyeimbangkan kedua kakiku, tiba-tiba kakiku membentur batu dan aku terjatuh. jempol kakiku pecah dan lututku memar membiru. aku menyeka darah dijempol kaki dan membersihkannya dengan air ludahku. setelah itu aku teruskan kembali memacu langkah. Saat melewati perkampungan sepertinya orang heran denganku, ada apa pagi-pagi buta berlari kehutan? tapi aku tidak menghiraukan.
Akhirnya sampai juga dibatas desa, Tambak Kerto, kira-kira dua tikungan lagi tepat disebelah SD, disitu rumah Bude. hati ku bahagia, serasa sudah sampai saja. tapi mengapa ayah tidak terkejar? berarti ayah memacu sepedanya begitu kencang, atau ayah memang pagi-pagi sekali berangkatnya? Aneh kenapa ayah tidak membangunkanku ya? Lebih terheran lagi saat tiba di rumah Bude dan Bude bilang ayah belum tiba. berarti ayah belum berangkat, kalau begitu kemana ayah dan sepedanya tadi pagi? jangan-jangan ayah ketempat lain? huuh mengapa aku begitu tergesa-gesa mengira ayah sudah berangkat? tapi kemana perginya ayah?
kubasuh mukaku dengan air wudlu dan bergegas ke mushola yang jaraknya selemparan batu. aku sudah kesiangan. sholat subuhku rasanya tak pake jeda lagi, yang penting genap dua rakaat. kusambar celana pendek merah seragam SD-ku dan kaos merah bergambar tugu monas favoritku dan aku bergegas keluar tanpa menghiraukan teriakan ibu yang baru datang dari rumah Ibulek, entah apa yang ibu minta dar bulek, sepertinya ibu menenteng kantung plastik berwarna hitam.
Aku berlari menyusuri jalan bebatuan yang baru saja dikeraskan mesin stum, rupanya sebentar lagi akan di siram aspal. Pak Sugimin sopir stum kemarin sudah datang kerumah Mbak Siru, berarti sebentar lagi akan dimulai proyek rehab jalan. Dulu juga begitu, masyarakat kampung kelihatan lega ketika drum-drum aspal sudah datang, lalu Pak Wagimin sudah memarkirkan stum berwarna kuning bertuliskan "Pekerjaan Umum". Tandanya lubang-lubang jalan sebentar lagi akan rata. tapi perhatianku tidak sepenuhnya tertuju kesana, bahkan aku tak menghiraukan beberapa kali kakiku tersandung bebatuan yang tercecer dari tumpukannya. aku berlari dengan kencang agar bisa menyusul ayah. aku heran mengapa ayah meninggalkan aku, padahal ayah sudah berjanji. ini hari minggu, kemarin waktu ayah mendampingiku mengambil raport, ayah bilang; "kalau kamu rengking kesatu lagi,hari minggu ayah ajak kerumah bude". bagiku diajak kerumah bude itu artinya aku bakal mendapat uang jajan, yang jarang aku peroleh dari ayah dan ibu. Atau aku bakal mewarisi baju bekas Mas Rudi yang sudah kekecilan atau sedikit robek, tidak mengapa yang penting aku punya baju baru, maksudku baju yang lain dari baju-baju yang ada. meskipun sobek toh ibu bisa menambal sendiri dirumah.
Ibude itu kakaknya ayah,bude memang lebih beruntung, punya suami seorang pengepul pisang yang sukses, pisang-pisang yang dibeli dibawa ke Pulau Jawa, biasanya ke Serang atau Tangerang. ayah pernah bercerita, Ia dulu pernah ikut mobil truck milik Pade ke Jawa, Jawa itu berbeda dengan Lampung, disana sudah ramai, ayah bercerita dengan bangga, kalau kesana naik kapal Fery besar sekali, kata ayah. Namun aku tidak bisa membayangkan bagaimana kapal Fery berenang mengarungi lautan, aku sendiri belum pernah melihat laut. aku baru melihat gambarnya di kertas kalender. Tentang ombak saja aku banyak mendengar dari Duki anak Ustad Marjuki yang sering diajak mengambil gaji di Departemen Agama Lampung selatan, dan katanya dia sering melihat ombak menyambar hampir kebadan jalan saat dia di bonceng sepeda motor ayahnya. Aku ingin menyeberang kepulau Jawa, pergi ke Jakarta dan berfoto didepan tugu monas, seperti gambar di kausku ini. Kaus ini dari Pak De, ia dapatkan di Pasar Senen. Katanya baju bekas anak pejabat.
Nafasku tersengal, tapi aku tidak menghiraukannya. beberapa kali aku salah orang, ketika aku lihat didepan temaram ada lelaki berkendara sepeda, kupikir ayah, ternyata setelah aku memacu lariku dan mendekat ternyata orang lain dan aku kecewa. kini langkahku agak terseok karena aku melewati jalan menanjak dan kadang turun begitu curam, di daerah gunung Naga, disini terkenal ada ular naga, aku sendiri belum pernah melihatnya, kata orang lidahnya menjulurkan api. imaginasiku membayangkan sosok naga seperti di komik yang di tulis Tatang S. biasanya di ceritakan tentang neraka. tapi aku tidak merasa takut sedikitpun, keinginanku bisa mengejar ayah itu saja.
Malang,saat aku tidak lagi bisa menyeimbangkan kedua kakiku, tiba-tiba kakiku membentur batu dan aku terjatuh. jempol kakiku pecah dan lututku memar membiru. aku menyeka darah dijempol kaki dan membersihkannya dengan air ludahku. setelah itu aku teruskan kembali memacu langkah. Saat melewati perkampungan sepertinya orang heran denganku, ada apa pagi-pagi buta berlari kehutan? tapi aku tidak menghiraukan.
Akhirnya sampai juga dibatas desa, Tambak Kerto, kira-kira dua tikungan lagi tepat disebelah SD, disitu rumah Bude. hati ku bahagia, serasa sudah sampai saja. tapi mengapa ayah tidak terkejar? berarti ayah memacu sepedanya begitu kencang, atau ayah memang pagi-pagi sekali berangkatnya? Aneh kenapa ayah tidak membangunkanku ya? Lebih terheran lagi saat tiba di rumah Bude dan Bude bilang ayah belum tiba. berarti ayah belum berangkat, kalau begitu kemana ayah dan sepedanya tadi pagi? jangan-jangan ayah ketempat lain? huuh mengapa aku begitu tergesa-gesa mengira ayah sudah berangkat? tapi kemana perginya ayah?
Menanam Pohon
Sebenarnya aku ingin menanam manusia. Tapi mana mungkin? Cuma Shakespeare, Pramoedya Ananta Toer, dan penulis-penulis ulung dunia yang bisa melakukannya. Mereka “menanam” manusia unggul maupun hibrida. Ada yang hebat dalam tindakan, pikiran maupun cita-citanya. Aku hanya menanam pohon. Karenanya, kemana aku bisa pergi, kalau bisa membawa atau mendapatkan bibit.
Betul. Aku ingin bersama angin, ombak, dan burung-burung itu menyebarkan berbagai macam pohon. Aku ingin berbakti untuk pohon-pohon kehidupan. Mereka telah menolong manusia menulis sejarahnya. Pohon memberi kami kertas, meja, kursi, dan inspirasi yang tiada habis-habisnya. Sudah pantas bila kita berterima kasih atas hidup ini dengan cara menanam pohon sebanyak-banyaknya, setulus-tulusnya.
Kabarnya pohon adalah juga mahluk yang jujur dan setia. Pohon mangga tidak akan berbuah manggis. Pohon kelapa tidak menipu anak keturunannya. Tiap buah akan diupayakan sama bulatnya, sama matangnya. Mereka tidak berselingkuh dan tidak korupsi. Pohon-pohon itu hidup dalam persaingan ketat. Di dalam tanah mereka berebut hara, di angkasa berebut sinar matahari. Tetapi mereka tidak saling mengkhianati. Mereka polos dan tulus berkembang seirama musim dan karakter pribadi. Tidak bersandiwara. Saling menerima dan saling memberi.
Akhirnya, semoga tiap orang bisa jadi pohon bagi dirinya sendiri. Tumbuh dengan tenteram, disiplin dan gembira di tempat masing-masing. Bekerja dengan rajin siang dan malam sesuai dengan bakat yang diberikan Tuhan. Bersyukur dan memberikan yang terbaik untuk penciptanya maupun untuk mahluk-mahluk lain. Pohon-pohon tercinta telah menghijaukan perasaanku di masa kecil. Kelak setelah meninggalkan dunia yang fana ini, kalau anda berhasil menjadi pohon yang baik dan besar, tentu dapat memberikan manfaat. Mungkin sebagai biola, patung, atau bingkai lukisan yang indah. Sebagai bangku anak sekolah. Atau sebagai dinding kapal besar yang dengan gagah perkasa berlayar di lautan. Menuju pelabuhan abadi.
Betul. Aku ingin bersama angin, ombak, dan burung-burung itu menyebarkan berbagai macam pohon. Aku ingin berbakti untuk pohon-pohon kehidupan. Mereka telah menolong manusia menulis sejarahnya. Pohon memberi kami kertas, meja, kursi, dan inspirasi yang tiada habis-habisnya. Sudah pantas bila kita berterima kasih atas hidup ini dengan cara menanam pohon sebanyak-banyaknya, setulus-tulusnya.
Kabarnya pohon adalah juga mahluk yang jujur dan setia. Pohon mangga tidak akan berbuah manggis. Pohon kelapa tidak menipu anak keturunannya. Tiap buah akan diupayakan sama bulatnya, sama matangnya. Mereka tidak berselingkuh dan tidak korupsi. Pohon-pohon itu hidup dalam persaingan ketat. Di dalam tanah mereka berebut hara, di angkasa berebut sinar matahari. Tetapi mereka tidak saling mengkhianati. Mereka polos dan tulus berkembang seirama musim dan karakter pribadi. Tidak bersandiwara. Saling menerima dan saling memberi.
Akhirnya, semoga tiap orang bisa jadi pohon bagi dirinya sendiri. Tumbuh dengan tenteram, disiplin dan gembira di tempat masing-masing. Bekerja dengan rajin siang dan malam sesuai dengan bakat yang diberikan Tuhan. Bersyukur dan memberikan yang terbaik untuk penciptanya maupun untuk mahluk-mahluk lain. Pohon-pohon tercinta telah menghijaukan perasaanku di masa kecil. Kelak setelah meninggalkan dunia yang fana ini, kalau anda berhasil menjadi pohon yang baik dan besar, tentu dapat memberikan manfaat. Mungkin sebagai biola, patung, atau bingkai lukisan yang indah. Sebagai bangku anak sekolah. Atau sebagai dinding kapal besar yang dengan gagah perkasa berlayar di lautan. Menuju pelabuhan abadi.
Makna
Hidup ternyata bukan hanya menjalani, selangkah lebih maju hidup harus dimaknai. Pada warna merah, kuning dan hijau sesungguhnya bukan hanya sekedar warna, maknanya adalah keindahan. Pada matahari adalah kehangatan, pada air adalah kesejukan. sesuatu jika dipadu serasi akan menimbulkan keselarasan. Sedikit saja terdeviasi (menyimpang) hal yang sebaliknya terjadi. Perbedaan warna menimbulkan perkelahian, matahari menyebabkan kekeringan, air kerap memicu kebanjiran.
Hidup adalah upaya menyelaraskan. Memadukan hati saling mencintai, menyatukan jiwa saling peduli, menumbuhkan kasih sayang untuk saling menghormati. Hidup bukan urusan saling mengejar. Karena yang kita kejar kadang tak bisa kita dapatkan, yang kita tunggu belum tentu ia yang datang. Bahkan kita menemukan fakta sebaliknya. Ia mendekat meski lari tak kita percepat. Ia disamping kita meskipun semula di anggap tak mungkin tiba. seekor kupu-kupu sering begitu lincah menjauh saat kita buru. Namun dengan akrabnya pernah hinggap dipundak kita.
Hidup bukan perkara mendapatkan, jauh dari itu hidup adalah urusan saling berbagi. Seperti hukum kekekalan massa, mungkin tak terlalu akrab dengan hukum kekekalan kekuasaan. Kekuasaan tuhan tak terbatas, sehingga tak ada yang diterlantarkan Tuhan, saat ia masih hidup dan memaknai hidup. Bukankah Yang terjadi justeru manusia yang menelantarkan tuhan? membunuh tuhan dihatinya sendiri. Persoalan rezeki adalah persoalan distribusi. Energi ada karena ada gerak, maka rezeki ada saat ada dinamisasi usaha. Berusaha berarti bergerak, maka jika tak bergerak rezeki lebih cepat larinya dan kita tertinggal. Hari ini kumaknai hidup.......
Hidup adalah upaya menyelaraskan. Memadukan hati saling mencintai, menyatukan jiwa saling peduli, menumbuhkan kasih sayang untuk saling menghormati. Hidup bukan urusan saling mengejar. Karena yang kita kejar kadang tak bisa kita dapatkan, yang kita tunggu belum tentu ia yang datang. Bahkan kita menemukan fakta sebaliknya. Ia mendekat meski lari tak kita percepat. Ia disamping kita meskipun semula di anggap tak mungkin tiba. seekor kupu-kupu sering begitu lincah menjauh saat kita buru. Namun dengan akrabnya pernah hinggap dipundak kita.
Hidup bukan perkara mendapatkan, jauh dari itu hidup adalah urusan saling berbagi. Seperti hukum kekekalan massa, mungkin tak terlalu akrab dengan hukum kekekalan kekuasaan. Kekuasaan tuhan tak terbatas, sehingga tak ada yang diterlantarkan Tuhan, saat ia masih hidup dan memaknai hidup. Bukankah Yang terjadi justeru manusia yang menelantarkan tuhan? membunuh tuhan dihatinya sendiri. Persoalan rezeki adalah persoalan distribusi. Energi ada karena ada gerak, maka rezeki ada saat ada dinamisasi usaha. Berusaha berarti bergerak, maka jika tak bergerak rezeki lebih cepat larinya dan kita tertinggal. Hari ini kumaknai hidup.......
Minggu, Mei 30, 2010
Konsentrasi....Berdoa
Konsentrasi…..berdoa, ayah selalu memesankan itu. Aku ingat peristiwa 14 tahun lalu, aku menelpon ayah dari Wartel, aku mengabarkan kalau sepeda motor yang aku pinjam teguling. Ketakutanku bukan pada luka di sebagian kaki dan sebagian lagi di kepala. Tapi kondisi sepeda motor yang aku taksir dulu menghabiskan ratusan ribu untuk memperbaikinya. Berbeda dengan ayah, ia begitu menghawatirkanku. Ayah bergegas mengunjungiku ke Banten, hari itu juga. Padahal aku yakin ayah pasti meminjam uang dari tetangga hanya untuk mengetahui bahwa aku baik-baik saja.
Konsentrasi…berdoa…kata-kata itu yang selalu ayah ingatkan kepadaku. Aku lupa, apakah saat kejadian itu menimpaku, aku sempat berdoa atau tidak? Kalau soal konsentrasi aku sama sekali tidak konsentrasi. Jasadku memang berada diatas sepeda motor, tapi fikiranku terbang merangkai kata-kata agar segera menyelesaikan satu tulisan. Majalah yang aku kelola saat itu masuk waktunya deadline.
Dua bulan lalu saat mobil yang aku kendarai menabrak seorang ibu guru yang mungkin juga tidak konsentrasi, aku juga lupa, apakah aku sempat berdoa saat pertama mengeluarkan mobil dari garasi atau tidak? Tangan dan kakiku mungkin berada di stir dan perangkat dibawahnya. Tapi fikiranku melayang entah kemana. Sama persis dengan pagi ini, tangan dan kakiku bengkok karena terperosok di ujung jalan,sepeda motor yang aku naiki tak terkendali. Lagi-lagi aku tidak ingat apakah aku sempat berdoa atau tidak tadi pagi. Soal konsentrasi aku memang sama sekali tidak konsentrasi. Ayah, aku selalu ingat padamu lebih dari biasanya jika aku lalai. Tuhan aku sudah sering kau hukum tapi aku selalu melakukan kesalahan berulang.
Konsentrasi…berdoa…kata-kata itu yang selalu ayah ingatkan kepadaku. Aku lupa, apakah saat kejadian itu menimpaku, aku sempat berdoa atau tidak? Kalau soal konsentrasi aku sama sekali tidak konsentrasi. Jasadku memang berada diatas sepeda motor, tapi fikiranku terbang merangkai kata-kata agar segera menyelesaikan satu tulisan. Majalah yang aku kelola saat itu masuk waktunya deadline.
Dua bulan lalu saat mobil yang aku kendarai menabrak seorang ibu guru yang mungkin juga tidak konsentrasi, aku juga lupa, apakah aku sempat berdoa saat pertama mengeluarkan mobil dari garasi atau tidak? Tangan dan kakiku mungkin berada di stir dan perangkat dibawahnya. Tapi fikiranku melayang entah kemana. Sama persis dengan pagi ini, tangan dan kakiku bengkok karena terperosok di ujung jalan,sepeda motor yang aku naiki tak terkendali. Lagi-lagi aku tidak ingat apakah aku sempat berdoa atau tidak tadi pagi. Soal konsentrasi aku memang sama sekali tidak konsentrasi. Ayah, aku selalu ingat padamu lebih dari biasanya jika aku lalai. Tuhan aku sudah sering kau hukum tapi aku selalu melakukan kesalahan berulang.
Selasa, Mei 04, 2010
Kursi Pengantin dari Ayah
(Firasat dari status facebook)
“Assalamu'alaikum”, setelah tidak ada jawaban aku nyelonong masuk saja. "Huh panas sekali", udara diluar sana terasa sangat menyengat, hawa panasnya sampai ke dalam rumah, hingga terasa seperti di oven saja. Setelah menyeka keringat aku menuju dapur dan mendapati ibu sedang menyiapkan makan siang untuk ayah. "Assalamu'alaikum, ibu, aku mengucap salam tak ada yang menyahut tadi di depan". Langsung saja ku gapai telapak tangan ibu dan menyalaminya. "Waalaikum salam, iya ibu habis membersihkan dapur dan menanak nasi". "Ayah dimana bu?" Tanyaku. "Itu di belakang, sedang asyik dengan kursi cantik untuk pernikahan mu bulan depan", Jawab ibu sambil menunjuk ke arah kandang di belakang.
Di belakang rumah kami memiliki sebuah kandang, tapi bukan untuk ternak unggas atau memelihara kambing dan sejenisnya. Namun di kandang itu kini ayah bekerja, ayah membuat pesanan meja, lemari kursi dll. Memang dulunya kami memiliki sapi, tapi sapi itu hilang dicuri suatu malam saat kami semua sedang ke rumah sakit mengantar ibu. Waktu itu ibu operasi cesar ketika melahirkan si bungsu. Kandang itu kini beralih fungsi menjadi panglong. Maklum sawah kami terjual untuk biaya kuliahku dan sekolah adik-adik. Ayahku belum terlalu tua, tapi kulihat rambutnya sudah mulai memutih dan kulitnya mulai mengkerut. Tapi bagi kami ayahku, ayah yang perkasa, jari tangannya yang kekarlah yang setiap hari menjemput rizki Allah. Sementara sorot matanya yang tajam itu menyimpan kelembutan yang membuatku kagum. Mungkin ibu dulu jatuh cinta karena sorot mata ayah.
Kuhampiri ayah, “Assalamu'alaikum”, ucapku sambil memijit pundak ayah, sementara ayah sedang menghaluskan kayu. “Wa'alaiku salam, sudah pulang kau nak?” Jawab ayah ingin tahu. “Sudah yah, dikantor tadi ada pengajian, jadi pulang lebih awal” jawabku. Memang Dikantor tempat bekerja kami setiap hari senin awal bulan diadakan pengajian. Oh iya saya bekerja disebuah perusahaan Public Relation (PR) sementara malam harinya aku mengajar mengaji karena ayah sejak dulu bermimpi memiliki anak yang menjadi guru. Jadi aku harus membuatnya bangga, meskipun bagiku ini adalah panggilan ummat.Aku anak kedua dan laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara.
Sementara ayah dengan tekun merampungkan kerjaannya, di depan ayah terpampang sebuah gambar kursi pelaminan yang ayah rancang sendiri. Kata ayah, kursi ini yang akan diduduki anak lelakinya nanti saat menikah. Sementara kursi pelaminan ini sudah 90 % hampir jadi. Tinggal dihaluskan dan esok hari di mengkilatkan kata ayah.
"Bagus gak nak"? Tanya ayah. "Bagus sekali yah, keren, ayah hebat". Jawabku. "Ayah ingin melihatmu duduk disini bersanding dengan calon isterimu nanti. Ayah akan beritahu kepada tamu yang hadir, bahwa ayah yang membuat sendiri kursi itu. Dan ayah ingin cucu ayah nanti juga menikah dan duduk diatas kursi ini". Ayah begitu antusias, berharap cita-citanya terwujud sambil terus menghaluskan kayu itu, sementara aku membantu ayah untuk merapikan kandang. Ayah memang pribadi yang unik. Kayu yang dibuat untuk kursi itu adalah kayu jati yang ayah tanam sendiri ketika ayah kecil dulu. Ketika aku remaja ayah selalu bercerita tentang itu dan selalu bilang, kalau kelak kayu itu akan di buat kursi dan akan di gunakan untuk anaknya jika menikah.
Seharusnya tiga tahun lalu, kursi idaman ayah itu Aisyah lah yang mendudukinya untuk pertama kali, tapi sayang mimpi ayah harus tertunda. Aisyah kakak ku anak sulung ayah, tertabrak mobil pengangkut batu bata saat berkendara sepeda motor. Saat itu kak Aisyah pulang dari Tatskif. Mungkin karena terburu-buru, sebab dirumah kedatangan seorang ustad yang akan melamarnya. Begitulah taqdir memang tidak bisa ditolak. Tak terasa air mataku menetes dan aku larut dalam kesedihan. Buru-buru aku seka air mata itu, takut ayah mengetahuinya.
Tiba-tiba ayah berdiri, dan menatapku tajam. "Nak, jaga dirimu baik-baik, ayah ingin melihatmu duduk dipelaminan ini" kata ayah. Kulihat mata ayah berkaca-kaca, butiran bening menetes bercampur keringat yang sejak tadi membasahi wajah dan badan ayah. "Iya yah, ayah jangan bersedih, kak Aisyah pasti bangga dengan ayah, sebentar lagi kursi impian ayah akan diduduki juga", istirahat dulu yah, esok aku bantu mengecat kebetulan esok aku libur” begitu aku menghibur ayah.
Suasana begitu ramai, Sabrina, Gadis yang aku persunting mengenakan gaun pengantin muslimah berwarna putih,sementara aku mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam. Di sebelah Sabrina kedua orang tuanya menyungging senyuman duduk mendampingi kami. Sementara ibuku mengenakan baju kebaya coklat serasi dengan kebaya ibu sabrina. Ayah terlihat bangga disebelahnya, mengenakan stelan jas yang beliau kenakan dulu saat menikahi ibu. Kutatap wajahnya sesekali, haru didada ini bercampur bahagia saat aku juga melirik melihat senyuman Sabrina. Istriku yang kelak akan melahirkan cucu ayahku. Tiba-tiba kudengar suara ayah memanggilku; "Nak sini kita angkat kursi ini kedalam" Astaghfirullah aku melamun rupanya.
Pagi-pagi sekali setelah sarapan, kulihat ayah langsung ke kandang belakang. Menyiapkan cairan untuk memengkilapkan kayu serta memintaku untuk mengeluarkan kursi ke kandang. Mungkin ayah ingin segera merampungkan kursi idamannya itu. Bangga aku memiliki ayah yang begitu gigih. Sambil memandangi kursi itu ayah menasihati aku. "Nak, ini kenang-kenangan dari ayah, aku ingin kelak kau mengingat ayah saat kau menikahkan anakmu, beri tahu mereka, kursi ini ayah yang membuat." Disini ada huruf A", sambil menunjuk ukiran yang ditengahnya ada huruf A. Aku tahu itu akronim dari nama ayah, Ahmad.
"Nak, ternyata kita kehabisan pernis (cairan untuk mengkilapkan kayu), pilih kamu yang memanjat untuk mengambil kelapa untuk ibu atau kamu yang ke pasar?" Tanya ayah. Oh iya ibu berencana memasak sayur daun singkong santan kesukaanku dan kesukaan ayah, maklum kami berdua hari ini akan merampungkan kerjaan ayah. Kalau aku yang kepasar kasihan ayah, harus memanjat pohon kelapa yang tinggi itu. Biar aku saja lah yang mengambil kelapa, meski aku sudah tak terbiasa. "Ayah saja yang ke pasar, aku yang ambil kelapa" Jawabku sambil memberi kunci sepeda motor dan beberapa lembar uang. "Tolong belikan ibu tempe dan tahu, sekalian dengan minyak goreng, ibu kehabisan" sahut ibu dari dapur.
Ayah bergegas menstarter sepeda motor sementara aku pergi ke kebun untuk mengambil kelapa. "Huuh tinggi sekali pohon ini" batinku. Memang pohon kelapa ini kakek yang menanam, jadi usianya lebih tua dari usiaku. Dengan gemetaran aku mendaki tataran (tangga di batang pohon) yang sudah bertahun-tahun dibuat untuk sampai keatas. "Huh nafasku hampir putus, pohon ini terlalu tinggi". Keluhku. Akhirnya aku sampai juga diatas. Tapi alangkah terkejutnya aku, diatas banyak sekali semut, sihingga konsentrasiku sedikit terganggu, karena harus menyeka semut-semut yang menggerayangi tangan dan kaki. Satu janjang kelapa telah aku ambil, kemudian aku buru-buru turun. Entah mengapa sejak aku naik tadi,perasaan terasa gundah. Kutapaki tataran yg membimbingku kebawah sambil berdoa."Ya Allah semoga aku selamat sampai kebawah" pintaku. Jantungku berdetak keras, dan “Allahu Akbar” kakiku terpeleset. Untung tanganku masih sigap memeluk batang pohon kelapa tua ini. Akhirnya sampai juga ke bawah.
Sesampainya di dapur aku memilih satu biji kelapa yang terlihat paling besar dan tua, selanjutnya aku mengupas,membelah dan mencongkel lalu mencucinya. Terlihat ibu sedang meremas daun singkong, terbayang kelezatannya saat nanti kami menyantap bersama ayah. "Bapakmu itu Nak, kalau punya keinginan harus sampai selesai, semalam saja menjelang tidur sudah berkhayal saat anaknya duduk disitu" terang ibu kepada ku. "Iya ya bu, ayah memang baik. Tapi kok lama sekali ayah belum datang ya" aku gundah menanti ayah. "Aku tunggu didepan ya bu! Pintaku pada ibu. "Iya, tolong sambil tungguin kalau ada tukang jamu, ibu belum bayar jamu kemarin" kata ibu.
Baru saja aku sampai didepan rumah, tiba-tiba berhenti Mang Jajang tetanggaku dan memparkirkan sepeda motornya sambil tergesa-gesa." Amar, ayahmu...ayahmu kecelakaan, sekarang dirumah sakit, cepat kesana, tadi di perempatan sana ada pengendara sedan berlari sangat kencang dan menabrak ayahmu! Ayo Mamang bonceng. Tidak karuan hati ini rasanya, aku langsung duduk di belakang sepeda motor Mang Jajang tanpa memberi tahu Ibu. Ingin ku persingkat jalan menuju rumah sakit, tapi tak mungkin, aku hanya bisa meminta Mang Jajang memacu gasnya. Sesampainya di rumah sakit, ayah sudah tak tertolong lagi, hanya suster yang menyampaikan pesan terakhir ayah kepadaku.."NAK BILANG PADA CUCU-CUCUKU, KURSI ITU AYAH YANG MEMBUAT"
Aku tertunduk lemas, melihat jasad ayah tersenyum, air mataku menetes tidak terbendung, Mang Jajang menepuk pundakku dan memintaku untuk bersabar. Aku genggam jemari ayah yang tak lagi kekar, aku kecup pipinya. "Inna Lillahi wa Inna ilaihi rojiun".
Suatu pagi, aku mengenakan stelan jas yang aku kenakan saat menikah dulu, aku melihat kursi pengantin yang tak pernah pudar warnanya dengan ukiran jepara, sementara ditengahnya terukir huruf A, Ahmad, aku tahu itu nama ayahku, terlintas semangat ayah dalam bayanganku, menggergaji, memaku, dan menghaluskan kayu. “Hari ini, Annisa cucu ayah, di persunting pria Sholeh, dan akan duduk di kursi yang kau buat dengan tanganmu. Kau melihat disana, dari syurga”.
Dedicated to my lovely Father and mother I really proud of you.
“Assalamu'alaikum”, setelah tidak ada jawaban aku nyelonong masuk saja. "Huh panas sekali", udara diluar sana terasa sangat menyengat, hawa panasnya sampai ke dalam rumah, hingga terasa seperti di oven saja. Setelah menyeka keringat aku menuju dapur dan mendapati ibu sedang menyiapkan makan siang untuk ayah. "Assalamu'alaikum, ibu, aku mengucap salam tak ada yang menyahut tadi di depan". Langsung saja ku gapai telapak tangan ibu dan menyalaminya. "Waalaikum salam, iya ibu habis membersihkan dapur dan menanak nasi". "Ayah dimana bu?" Tanyaku. "Itu di belakang, sedang asyik dengan kursi cantik untuk pernikahan mu bulan depan", Jawab ibu sambil menunjuk ke arah kandang di belakang.
Di belakang rumah kami memiliki sebuah kandang, tapi bukan untuk ternak unggas atau memelihara kambing dan sejenisnya. Namun di kandang itu kini ayah bekerja, ayah membuat pesanan meja, lemari kursi dll. Memang dulunya kami memiliki sapi, tapi sapi itu hilang dicuri suatu malam saat kami semua sedang ke rumah sakit mengantar ibu. Waktu itu ibu operasi cesar ketika melahirkan si bungsu. Kandang itu kini beralih fungsi menjadi panglong. Maklum sawah kami terjual untuk biaya kuliahku dan sekolah adik-adik. Ayahku belum terlalu tua, tapi kulihat rambutnya sudah mulai memutih dan kulitnya mulai mengkerut. Tapi bagi kami ayahku, ayah yang perkasa, jari tangannya yang kekarlah yang setiap hari menjemput rizki Allah. Sementara sorot matanya yang tajam itu menyimpan kelembutan yang membuatku kagum. Mungkin ibu dulu jatuh cinta karena sorot mata ayah.
Kuhampiri ayah, “Assalamu'alaikum”, ucapku sambil memijit pundak ayah, sementara ayah sedang menghaluskan kayu. “Wa'alaiku salam, sudah pulang kau nak?” Jawab ayah ingin tahu. “Sudah yah, dikantor tadi ada pengajian, jadi pulang lebih awal” jawabku. Memang Dikantor tempat bekerja kami setiap hari senin awal bulan diadakan pengajian. Oh iya saya bekerja disebuah perusahaan Public Relation (PR) sementara malam harinya aku mengajar mengaji karena ayah sejak dulu bermimpi memiliki anak yang menjadi guru. Jadi aku harus membuatnya bangga, meskipun bagiku ini adalah panggilan ummat.Aku anak kedua dan laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara.
Sementara ayah dengan tekun merampungkan kerjaannya, di depan ayah terpampang sebuah gambar kursi pelaminan yang ayah rancang sendiri. Kata ayah, kursi ini yang akan diduduki anak lelakinya nanti saat menikah. Sementara kursi pelaminan ini sudah 90 % hampir jadi. Tinggal dihaluskan dan esok hari di mengkilatkan kata ayah.
"Bagus gak nak"? Tanya ayah. "Bagus sekali yah, keren, ayah hebat". Jawabku. "Ayah ingin melihatmu duduk disini bersanding dengan calon isterimu nanti. Ayah akan beritahu kepada tamu yang hadir, bahwa ayah yang membuat sendiri kursi itu. Dan ayah ingin cucu ayah nanti juga menikah dan duduk diatas kursi ini". Ayah begitu antusias, berharap cita-citanya terwujud sambil terus menghaluskan kayu itu, sementara aku membantu ayah untuk merapikan kandang. Ayah memang pribadi yang unik. Kayu yang dibuat untuk kursi itu adalah kayu jati yang ayah tanam sendiri ketika ayah kecil dulu. Ketika aku remaja ayah selalu bercerita tentang itu dan selalu bilang, kalau kelak kayu itu akan di buat kursi dan akan di gunakan untuk anaknya jika menikah.
Seharusnya tiga tahun lalu, kursi idaman ayah itu Aisyah lah yang mendudukinya untuk pertama kali, tapi sayang mimpi ayah harus tertunda. Aisyah kakak ku anak sulung ayah, tertabrak mobil pengangkut batu bata saat berkendara sepeda motor. Saat itu kak Aisyah pulang dari Tatskif. Mungkin karena terburu-buru, sebab dirumah kedatangan seorang ustad yang akan melamarnya. Begitulah taqdir memang tidak bisa ditolak. Tak terasa air mataku menetes dan aku larut dalam kesedihan. Buru-buru aku seka air mata itu, takut ayah mengetahuinya.
Tiba-tiba ayah berdiri, dan menatapku tajam. "Nak, jaga dirimu baik-baik, ayah ingin melihatmu duduk dipelaminan ini" kata ayah. Kulihat mata ayah berkaca-kaca, butiran bening menetes bercampur keringat yang sejak tadi membasahi wajah dan badan ayah. "Iya yah, ayah jangan bersedih, kak Aisyah pasti bangga dengan ayah, sebentar lagi kursi impian ayah akan diduduki juga", istirahat dulu yah, esok aku bantu mengecat kebetulan esok aku libur” begitu aku menghibur ayah.
Suasana begitu ramai, Sabrina, Gadis yang aku persunting mengenakan gaun pengantin muslimah berwarna putih,sementara aku mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam. Di sebelah Sabrina kedua orang tuanya menyungging senyuman duduk mendampingi kami. Sementara ibuku mengenakan baju kebaya coklat serasi dengan kebaya ibu sabrina. Ayah terlihat bangga disebelahnya, mengenakan stelan jas yang beliau kenakan dulu saat menikahi ibu. Kutatap wajahnya sesekali, haru didada ini bercampur bahagia saat aku juga melirik melihat senyuman Sabrina. Istriku yang kelak akan melahirkan cucu ayahku. Tiba-tiba kudengar suara ayah memanggilku; "Nak sini kita angkat kursi ini kedalam" Astaghfirullah aku melamun rupanya.
Pagi-pagi sekali setelah sarapan, kulihat ayah langsung ke kandang belakang. Menyiapkan cairan untuk memengkilapkan kayu serta memintaku untuk mengeluarkan kursi ke kandang. Mungkin ayah ingin segera merampungkan kursi idamannya itu. Bangga aku memiliki ayah yang begitu gigih. Sambil memandangi kursi itu ayah menasihati aku. "Nak, ini kenang-kenangan dari ayah, aku ingin kelak kau mengingat ayah saat kau menikahkan anakmu, beri tahu mereka, kursi ini ayah yang membuat." Disini ada huruf A", sambil menunjuk ukiran yang ditengahnya ada huruf A. Aku tahu itu akronim dari nama ayah, Ahmad.
"Nak, ternyata kita kehabisan pernis (cairan untuk mengkilapkan kayu), pilih kamu yang memanjat untuk mengambil kelapa untuk ibu atau kamu yang ke pasar?" Tanya ayah. Oh iya ibu berencana memasak sayur daun singkong santan kesukaanku dan kesukaan ayah, maklum kami berdua hari ini akan merampungkan kerjaan ayah. Kalau aku yang kepasar kasihan ayah, harus memanjat pohon kelapa yang tinggi itu. Biar aku saja lah yang mengambil kelapa, meski aku sudah tak terbiasa. "Ayah saja yang ke pasar, aku yang ambil kelapa" Jawabku sambil memberi kunci sepeda motor dan beberapa lembar uang. "Tolong belikan ibu tempe dan tahu, sekalian dengan minyak goreng, ibu kehabisan" sahut ibu dari dapur.
Ayah bergegas menstarter sepeda motor sementara aku pergi ke kebun untuk mengambil kelapa. "Huuh tinggi sekali pohon ini" batinku. Memang pohon kelapa ini kakek yang menanam, jadi usianya lebih tua dari usiaku. Dengan gemetaran aku mendaki tataran (tangga di batang pohon) yang sudah bertahun-tahun dibuat untuk sampai keatas. "Huh nafasku hampir putus, pohon ini terlalu tinggi". Keluhku. Akhirnya aku sampai juga diatas. Tapi alangkah terkejutnya aku, diatas banyak sekali semut, sihingga konsentrasiku sedikit terganggu, karena harus menyeka semut-semut yang menggerayangi tangan dan kaki. Satu janjang kelapa telah aku ambil, kemudian aku buru-buru turun. Entah mengapa sejak aku naik tadi,perasaan terasa gundah. Kutapaki tataran yg membimbingku kebawah sambil berdoa."Ya Allah semoga aku selamat sampai kebawah" pintaku. Jantungku berdetak keras, dan “Allahu Akbar” kakiku terpeleset. Untung tanganku masih sigap memeluk batang pohon kelapa tua ini. Akhirnya sampai juga ke bawah.
Sesampainya di dapur aku memilih satu biji kelapa yang terlihat paling besar dan tua, selanjutnya aku mengupas,membelah dan mencongkel lalu mencucinya. Terlihat ibu sedang meremas daun singkong, terbayang kelezatannya saat nanti kami menyantap bersama ayah. "Bapakmu itu Nak, kalau punya keinginan harus sampai selesai, semalam saja menjelang tidur sudah berkhayal saat anaknya duduk disitu" terang ibu kepada ku. "Iya ya bu, ayah memang baik. Tapi kok lama sekali ayah belum datang ya" aku gundah menanti ayah. "Aku tunggu didepan ya bu! Pintaku pada ibu. "Iya, tolong sambil tungguin kalau ada tukang jamu, ibu belum bayar jamu kemarin" kata ibu.
Baru saja aku sampai didepan rumah, tiba-tiba berhenti Mang Jajang tetanggaku dan memparkirkan sepeda motornya sambil tergesa-gesa." Amar, ayahmu...ayahmu kecelakaan, sekarang dirumah sakit, cepat kesana, tadi di perempatan sana ada pengendara sedan berlari sangat kencang dan menabrak ayahmu! Ayo Mamang bonceng. Tidak karuan hati ini rasanya, aku langsung duduk di belakang sepeda motor Mang Jajang tanpa memberi tahu Ibu. Ingin ku persingkat jalan menuju rumah sakit, tapi tak mungkin, aku hanya bisa meminta Mang Jajang memacu gasnya. Sesampainya di rumah sakit, ayah sudah tak tertolong lagi, hanya suster yang menyampaikan pesan terakhir ayah kepadaku.."NAK BILANG PADA CUCU-CUCUKU, KURSI ITU AYAH YANG MEMBUAT"
Aku tertunduk lemas, melihat jasad ayah tersenyum, air mataku menetes tidak terbendung, Mang Jajang menepuk pundakku dan memintaku untuk bersabar. Aku genggam jemari ayah yang tak lagi kekar, aku kecup pipinya. "Inna Lillahi wa Inna ilaihi rojiun".
Suatu pagi, aku mengenakan stelan jas yang aku kenakan saat menikah dulu, aku melihat kursi pengantin yang tak pernah pudar warnanya dengan ukiran jepara, sementara ditengahnya terukir huruf A, Ahmad, aku tahu itu nama ayahku, terlintas semangat ayah dalam bayanganku, menggergaji, memaku, dan menghaluskan kayu. “Hari ini, Annisa cucu ayah, di persunting pria Sholeh, dan akan duduk di kursi yang kau buat dengan tanganmu. Kau melihat disana, dari syurga”.
Dedicated to my lovely Father and mother I really proud of you.
Getaran Hati
(Firasat dari sebuah Status Facebook)
Mengapa waktu tak mau menunggu, padahal aku tak berhenti dan terus mengejar. Mengapa awan tak mendekat sedangkan aku menapaki tangga di udara, hampir mencapai langit...satu langkah lagi, tapi kau hampir melesat pergi.
(Getaran hati belum terjawab)
(I)
Malam ini malam menakutkan! siang tadi banyak hal tak terduga terjadi, dan malam ini dalam satu waktu dua kewajiban di tempat berbeda harus diselesaikan, waw....esok hari saat baca status ini, semua pasti dilalui dengan baik, semoga!
(Getaran hati terjawab satu agenda sukses dan satu agenda gagal total)
(II)
Ingin langit bicara padaku! dan angin menyampaikan padanya...jaga pembicaraanmu. setiap dada memiliki hati! jangan sampai menyakiti!!!
(III)
Jodoh ga sama dengan memakai sandal jepit ke masjid, ga bakal diambil orang kalau bagus, dan ga bakal ketuker (Diriwayatkan Oleh Mang Jupron Merebot Masjid Cinanggung)
(IV)
Kelelahan itu teramat menyiksa, saat apa yang kita lakukan sering tak mendapat penghargaan. Jika aku burung gagak jantan aku memilih terbang tinggi setinggi-tingginya tanpa pernah risau untuk mencari tempat hinggap. Mengepak sayap kuat sekuat-kuatnya. Tanpa pernah ragu apakah ia akan patah. Tapi aku hanya seekor katak, bisa melompat sama sekali tak bisa terbang!!!
(V)
Selalu tak berharga meski hidup sudah terasa hancur lebur! seperti seekor gagak jantan luka tertembak. Ketika kembali ke sarang si betina bilang, kau selalu tidak ada ketika kami semua membutuhkan!!!
(VI)
Kisah Penjual Topeng; Dijual Topeng kejujuran, jika di kenakan siapapun bisa terlihat jujur meski ia pembohong besar. Topeng Kebenaran, jika di kenakan ia akan selalu terlihat benar meski ia sebenarnya bersalah, Topeng tertindas, jika dikenakan penindas akan terlihat seolah tertindas
Ooo seseorang datang memborong topengku, aneh! Mengapa topeng-topeng itu kini begitu laris. Tak tersisa satu bijipun, bahkan ia memesan puluhan topeng lagi. Aku senang, anakku bisa sekolah karena topeng topeng habis terjual. Isteriku berseri-seri karena dapurnya ngebul lagi. Tapi aku tak mengerti mengapa topengku habis terbeli!
Pembelinya konon membagikannya ke polisi, entah susno atau siapa yang mengenakan topeng kejujuran, aku tak tahu tak satu polisipun terlihat bohong! konon topeng juga di kenakan markus pajak tapi entah pegawai pajak, kejaksaan,atau Syahril johan yang jujur sebab semua kini terlihat jujur. Topeng konon dikenakan para cicak buaya, tapi saya tidak hafal entah anggodo entah KPK yang jujur
Pembeli konon mafia century, hingga kini uang hilang 6,7 triliun tapi dari robert Tantular, Budiono hing Sri Mulyani terlihat jujur, begitu susah siapa yg asli jujur dan siapa yang mengenakan topeng!
Waktu pemilu, topeng-topeng itu juga laris terjual, konon apa sebabnya, kini aku lebih yakin pada bisnis ini, menjual topeng. Aku sarjana, lelah melamar kerja, bosan ikut tes PNS tak pernah lulus, sejak itu aku berjualan topeng, dipasar, di kantor-kantor di sekolah, di kampus, di kejaksaan dan di Istana, alu tidak menyangka bisnis ini populer, aku bermaksud membuka cabang penjualan topeng!
Mengapa waktu tak mau menunggu, padahal aku tak berhenti dan terus mengejar. Mengapa awan tak mendekat sedangkan aku menapaki tangga di udara, hampir mencapai langit...satu langkah lagi, tapi kau hampir melesat pergi.
(Getaran hati belum terjawab)
(I)
Malam ini malam menakutkan! siang tadi banyak hal tak terduga terjadi, dan malam ini dalam satu waktu dua kewajiban di tempat berbeda harus diselesaikan, waw....esok hari saat baca status ini, semua pasti dilalui dengan baik, semoga!
(Getaran hati terjawab satu agenda sukses dan satu agenda gagal total)
(II)
Ingin langit bicara padaku! dan angin menyampaikan padanya...jaga pembicaraanmu. setiap dada memiliki hati! jangan sampai menyakiti!!!
(III)
Jodoh ga sama dengan memakai sandal jepit ke masjid, ga bakal diambil orang kalau bagus, dan ga bakal ketuker (Diriwayatkan Oleh Mang Jupron Merebot Masjid Cinanggung)
(IV)
Kelelahan itu teramat menyiksa, saat apa yang kita lakukan sering tak mendapat penghargaan. Jika aku burung gagak jantan aku memilih terbang tinggi setinggi-tingginya tanpa pernah risau untuk mencari tempat hinggap. Mengepak sayap kuat sekuat-kuatnya. Tanpa pernah ragu apakah ia akan patah. Tapi aku hanya seekor katak, bisa melompat sama sekali tak bisa terbang!!!
(V)
Selalu tak berharga meski hidup sudah terasa hancur lebur! seperti seekor gagak jantan luka tertembak. Ketika kembali ke sarang si betina bilang, kau selalu tidak ada ketika kami semua membutuhkan!!!
(VI)
Kisah Penjual Topeng; Dijual Topeng kejujuran, jika di kenakan siapapun bisa terlihat jujur meski ia pembohong besar. Topeng Kebenaran, jika di kenakan ia akan selalu terlihat benar meski ia sebenarnya bersalah, Topeng tertindas, jika dikenakan penindas akan terlihat seolah tertindas
Ooo seseorang datang memborong topengku, aneh! Mengapa topeng-topeng itu kini begitu laris. Tak tersisa satu bijipun, bahkan ia memesan puluhan topeng lagi. Aku senang, anakku bisa sekolah karena topeng topeng habis terjual. Isteriku berseri-seri karena dapurnya ngebul lagi. Tapi aku tak mengerti mengapa topengku habis terbeli!
Pembelinya konon membagikannya ke polisi, entah susno atau siapa yang mengenakan topeng kejujuran, aku tak tahu tak satu polisipun terlihat bohong! konon topeng juga di kenakan markus pajak tapi entah pegawai pajak, kejaksaan,atau Syahril johan yang jujur sebab semua kini terlihat jujur. Topeng konon dikenakan para cicak buaya, tapi saya tidak hafal entah anggodo entah KPK yang jujur
Pembeli konon mafia century, hingga kini uang hilang 6,7 triliun tapi dari robert Tantular, Budiono hing Sri Mulyani terlihat jujur, begitu susah siapa yg asli jujur dan siapa yang mengenakan topeng!
Waktu pemilu, topeng-topeng itu juga laris terjual, konon apa sebabnya, kini aku lebih yakin pada bisnis ini, menjual topeng. Aku sarjana, lelah melamar kerja, bosan ikut tes PNS tak pernah lulus, sejak itu aku berjualan topeng, dipasar, di kantor-kantor di sekolah, di kampus, di kejaksaan dan di Istana, alu tidak menyangka bisnis ini populer, aku bermaksud membuka cabang penjualan topeng!
Jumat, April 16, 2010
Efek "GR" Kekuasaan
Kaya di puja miskin ditinggalkan. Kalimat ini sering saya dengar dari seseorang yang pernah kaya dan saatnya jatuh miskin, atau pernah berkuasa lalu kini telah pensiun atau tak memiliki kekuasaan lagi. Bagi banyak orang, biasanya motif berteman dekat atau berhubungan dengan orang lain adalah untuk memperoleh keuntungan material atau meningkatkan status mereka semata. Karena itu, tidak mengherankan bila ketika seseorang masih memiliki posisi dan pekerjaan yang hebat, banyak rekan maupun kerabat senang mendekati, ingin berdekatan, agar bisa mendapatkan keuntungan atau cipratan rezeki pula. Uang dan kekuasaan menjadi motif bagi orang-orang ini dalam berteman.
Bila kemudian setelah mengetahui Ia tidak lagi bisa memberikan
keuntungan, mereka tidak bersedia lagi untuk berakrab-akraban, tentunya mereka bukanlah contoh untuk menjadi teman yang baik. Teman sejati adalah mereka yang justru setia dan senantiasa bersedia untuk mendampingi kita dalam situasi apa pun, terutama situasi yang buruk.
Kekuasaan memang bagai magnet yang menyedot dan atau gula yang membuat semut senang mendekat. Pemahaman inilah yang semestinya dimiliki oleh para penguasa, atau yang saat ini tengah memiliki kekuasaan. Rumah yang tak pernah sepi dari tamu tidak sepenuhnya karena pesona pribadi yang dimiliki. Namun bisa jadi pesona kekuasaan yang memang begitu seksi untuk didekati. Apalagi jika sebelum kekuasaan itu dimiliki, rumahnya terbiasa sepi. Terlebih hati akan begitu sangat sunyi saat semua perlahan menjauh seiring perginya kuasa dari genggaman.
Bahayanya kekuasaan benar-benar memiliki efek GR. GR adalah singkatan dari Gede Rasa. Gede berasal dari bahasa Jawa yang artinya besar. Rasa berhubungan dengan perasaan seseorang. Jadi GR atau Gede Rasa artinya bisa merasa tersanjung yang tidak pada tempatnya; merasa penting atau terlalu percaya diri bahkan salah paham; bisa juga berarti perasaan senang dalam jumlah besar(gede=besar) atau berlebihan. GR adalah kata sifat. Dari kata ini kemudian timbul kata benda ke-GR-an. Dan ‘GR-GR-in’ adalah bentuk kata kerja slang yang artinya membuat seseorang merasa GR.
Ke GR-annya akan menjadikan seorang menjadi lupa diri, rasa hebat yang merasuk dalam dirinya menjadikan seorang pongah dan merasa dapat mengendalikan, mengatur bahkan memaksa seseorang melakukan apa yang dia inginkan. Bahkan memarahi, menghardik atau bertindak sewenang-wenang. Ada bisikan kesombongan yang seolah, memecat atau memberhentikan jabatan semuanya tergantung pada kehendaknya. Inilah perangai buruk warisan Fir'aun yang pernah merasa dirinya bagai Tuhan. Ia lupa bahwa saatnya nanti ia tak lagi menggenggam jabatan, ia tak akan lagi bisa melakukan hal itu.
Jejak kesombongannya akan menciptakan musuh, yang pada saatnya menunggu waktu membalas dendam. Teman-teman yang selama ini mengelilinginya satu persatu akan pergi dan mendekat pada kuasa yang baru.
Mereka yang memuja-muja saat benar maupun saat melakukan kekeliruan, menjadi lebih kritis dan bersuara lebih pedas. Tinggallah ia sendiri dalam kesunyian, mengidap post power syndrome yang akan mengancam psikisnya. Maka jauhilah GR, sikapi para oportunis dengan wisdom, nilailah teman dekat karena dedikasinya, bukan mulut manis yang terkadang menyesatkan. Ingatlah kekuasaan tak selamanya ada pada kita, semua ada masa akhirnya.
Saya merenung saat mendengar penuturan Sarwono Kusumaatmaja, suatu hari bercerita; Pada era Orde Baru di lingkungan pemerintahan waktu itu ada istilah “orang dalam” (inner circle) dan pejabat lingkaran luar (outer circle). Sikap lugas Saadilah Mursyid menempatkannya di lingkaran luar, berarti dia membedakan antara hubungan pribadi dengan hubungan dinas. Padahal jika dia mau, sebagai pejabat di lingkungan istana ia bisa menjadi “orang dalam” dengan akses tak terbatas kepada Presiden dan dengan demikian menjadi ‘orang kuat”. Ia tidak melakukannya.
Namun sejarah merubah posisi Saadilah. Pada bulan Mei 1998 sepulang Presiden Soeharto dari Kairo, Jakarta menjadi lautan api, kerusuhan, perusakan, penjarahan dan penganiayaan terhadap kaum Tionghoa terjadi. Gelombang demonstrasi memuncak, korban dari mahasiswa dan anggota masyarakat berjatuhan dan konflik di puncak pemerintahan akhirnya berbuah pada tuntutan agar Presiden mengundurkan diri. Reformasi menjadi semboyan perubahan. Empat belas orang menteri keluar dari kabinet. Ketika Presiden memanggil rapat keesokan harinya hanya Saadilah Mursyid yang datang hadir. Pak Harto pun paham bahwa waktunya untuk mundur telah tiba. Justru pada saat itulah Saadilah menjadi orang dalam di sekitar Pak Harto, bukan pada saat beliau dalam kedudukan Presiden. Namun sayangnya begitu langka orang seperti Saadilah.
Merasa GR memang suatu perasaan yang menyenangkan selama kita mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang bukan. Karena kalau kita mudah GR bisa repot urusannya, orang akan mudah mempermainkan perasaan kita. Apakah Anda sering merasa GR dalam hidup Anda? Hati-hati kalau berkuasa!
Suatu saat nanti anda akan mencari, kemana staf saya yang dulu membungkuk meminta tanda tangan saya? Kemana ajudan yang sigap membuka pintu mobil? Ada dimana mereka yang dulu rela menemani saya begadang hingga larut malam? Mengapa mereka tak datang jika saya panggil sekarang, mengapa telpon saya tidak diangkat? Mengapa dulu memuja sekarang mengkritik? Tentu saja saat anda tak berkuasa. Hati-hati saudaraku!
Bila kemudian setelah mengetahui Ia tidak lagi bisa memberikan
keuntungan, mereka tidak bersedia lagi untuk berakrab-akraban, tentunya mereka bukanlah contoh untuk menjadi teman yang baik. Teman sejati adalah mereka yang justru setia dan senantiasa bersedia untuk mendampingi kita dalam situasi apa pun, terutama situasi yang buruk.
Kekuasaan memang bagai magnet yang menyedot dan atau gula yang membuat semut senang mendekat. Pemahaman inilah yang semestinya dimiliki oleh para penguasa, atau yang saat ini tengah memiliki kekuasaan. Rumah yang tak pernah sepi dari tamu tidak sepenuhnya karena pesona pribadi yang dimiliki. Namun bisa jadi pesona kekuasaan yang memang begitu seksi untuk didekati. Apalagi jika sebelum kekuasaan itu dimiliki, rumahnya terbiasa sepi. Terlebih hati akan begitu sangat sunyi saat semua perlahan menjauh seiring perginya kuasa dari genggaman.
Bahayanya kekuasaan benar-benar memiliki efek GR. GR adalah singkatan dari Gede Rasa. Gede berasal dari bahasa Jawa yang artinya besar. Rasa berhubungan dengan perasaan seseorang. Jadi GR atau Gede Rasa artinya bisa merasa tersanjung yang tidak pada tempatnya; merasa penting atau terlalu percaya diri bahkan salah paham; bisa juga berarti perasaan senang dalam jumlah besar(gede=besar) atau berlebihan. GR adalah kata sifat. Dari kata ini kemudian timbul kata benda ke-GR-an. Dan ‘GR-GR-in’ adalah bentuk kata kerja slang yang artinya membuat seseorang merasa GR.
Ke GR-annya akan menjadikan seorang menjadi lupa diri, rasa hebat yang merasuk dalam dirinya menjadikan seorang pongah dan merasa dapat mengendalikan, mengatur bahkan memaksa seseorang melakukan apa yang dia inginkan. Bahkan memarahi, menghardik atau bertindak sewenang-wenang. Ada bisikan kesombongan yang seolah, memecat atau memberhentikan jabatan semuanya tergantung pada kehendaknya. Inilah perangai buruk warisan Fir'aun yang pernah merasa dirinya bagai Tuhan. Ia lupa bahwa saatnya nanti ia tak lagi menggenggam jabatan, ia tak akan lagi bisa melakukan hal itu.
Jejak kesombongannya akan menciptakan musuh, yang pada saatnya menunggu waktu membalas dendam. Teman-teman yang selama ini mengelilinginya satu persatu akan pergi dan mendekat pada kuasa yang baru.
Mereka yang memuja-muja saat benar maupun saat melakukan kekeliruan, menjadi lebih kritis dan bersuara lebih pedas. Tinggallah ia sendiri dalam kesunyian, mengidap post power syndrome yang akan mengancam psikisnya. Maka jauhilah GR, sikapi para oportunis dengan wisdom, nilailah teman dekat karena dedikasinya, bukan mulut manis yang terkadang menyesatkan. Ingatlah kekuasaan tak selamanya ada pada kita, semua ada masa akhirnya.
Saya merenung saat mendengar penuturan Sarwono Kusumaatmaja, suatu hari bercerita; Pada era Orde Baru di lingkungan pemerintahan waktu itu ada istilah “orang dalam” (inner circle) dan pejabat lingkaran luar (outer circle). Sikap lugas Saadilah Mursyid menempatkannya di lingkaran luar, berarti dia membedakan antara hubungan pribadi dengan hubungan dinas. Padahal jika dia mau, sebagai pejabat di lingkungan istana ia bisa menjadi “orang dalam” dengan akses tak terbatas kepada Presiden dan dengan demikian menjadi ‘orang kuat”. Ia tidak melakukannya.
Namun sejarah merubah posisi Saadilah. Pada bulan Mei 1998 sepulang Presiden Soeharto dari Kairo, Jakarta menjadi lautan api, kerusuhan, perusakan, penjarahan dan penganiayaan terhadap kaum Tionghoa terjadi. Gelombang demonstrasi memuncak, korban dari mahasiswa dan anggota masyarakat berjatuhan dan konflik di puncak pemerintahan akhirnya berbuah pada tuntutan agar Presiden mengundurkan diri. Reformasi menjadi semboyan perubahan. Empat belas orang menteri keluar dari kabinet. Ketika Presiden memanggil rapat keesokan harinya hanya Saadilah Mursyid yang datang hadir. Pak Harto pun paham bahwa waktunya untuk mundur telah tiba. Justru pada saat itulah Saadilah menjadi orang dalam di sekitar Pak Harto, bukan pada saat beliau dalam kedudukan Presiden. Namun sayangnya begitu langka orang seperti Saadilah.
Merasa GR memang suatu perasaan yang menyenangkan selama kita mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang bukan. Karena kalau kita mudah GR bisa repot urusannya, orang akan mudah mempermainkan perasaan kita. Apakah Anda sering merasa GR dalam hidup Anda? Hati-hati kalau berkuasa!
Suatu saat nanti anda akan mencari, kemana staf saya yang dulu membungkuk meminta tanda tangan saya? Kemana ajudan yang sigap membuka pintu mobil? Ada dimana mereka yang dulu rela menemani saya begadang hingga larut malam? Mengapa mereka tak datang jika saya panggil sekarang, mengapa telpon saya tidak diangkat? Mengapa dulu memuja sekarang mengkritik? Tentu saja saat anda tak berkuasa. Hati-hati saudaraku!
Senin, April 12, 2010
Kesan Pada Obama
"Tugas ini begitu berharga" fikirku, siapa menyangka saya dilibatkan dalam penyambutan kedatangan orang nomor satu di Paman Syam. Sungguh sebuah kehormatan, sebab beberapa perjalanan, saya yang ditugaskan untuk mengantarkannya. Wah lumayan neh sambil improve english, hitung-hitung native speaker. Rupanya memang benar apa kata orang, Barack Obama memang pribadi yang menyenangkan. Tutur katanya sopan dan begitu ramah.
Sebagai rakyat biasa tentu bukan hal yang mudah berbicara dengan orang sehebat Barack Obama. Detak jantungku selalu meningkat tajam setiap hendak memulai berbicara. "Tapi tak boleh gugup, ini tugas yang begitu mulia, kesempatan berharga yang tidak setiap orang miliki, aku harus serius menjalankannya".
Perjalanan dimulai, Pertama beliau mengajak saya untuk berbelanja ke sebuah Mall di Jakarta. "Fitron, antar saya untuk membeli pakaian ganti, istri saya lupa menyiapkannya semalam" ungkapnya. Dengan senang hati saya antar beliau. Disinilah repotnya menjadi orang terkenal, baru masuk loby Mall sudah disambut kerumunan pembeli yang tadinya sibuk memilih belanjaan. Ada yang mengajak berfoto, bersalaman hingga minta tanda tangan. Entah mengapa Obama meminta saya mengantar sendirian, ia tidak membawa serta pengawal pribadinya. Serbuan para penggemar cukup merepotkan saya, hingga saya harus memberikan Obama beberapa lembar tissue, untuk menyeka keringatnya. Hingga dengan bantuan SPG dan petugas security akhirnya kami mendapatkan 5 pasang setelan jas dan 2 kaos oblong santai serta celana pendek.
Hari pertama yang melelahkan, untuk esok harinya Obama mengajakku ke Rangkasbitung, beliau tertarik dengan Negeri Multatuli. Saya heran begitu detil ia tahu kisah Saija Adinda, begitu fenomenalkah karya Multatuli itu. Hingga tidak terasa ketika aku mencoba membunuh semua tanya akan begitu luasnya pengetahuan Presiden kulit hitam ini, tanpa terasa kami telah sampai di Pandeglang. Itu kami ketahui saat seisi mobil terbangun karena hentakkan keras roda mobil yang kami tumpangi terus menerus mengerem karena di hadang lubang jalan dan beberapa kali terpaksa masuk lubang karena sulit menghindar. "Wah Pandeglang" fikirku, sebelum Obama menanyakan kami sudah sampai di mana, saya beri tahu kalau kita baru sampai di negeri sejuta Santri, "sebentar lagi" saya menghibur. Obama mengangguk dan untuk beberapa saat akhirnya tertidur lagi karena telah masuk ke Rangkasbitung yang jalanannya cukup halus.
Tibalah kami di Pendopo Bupati, "Mr Obama mari kita ke pendopo, itu white house kalau di USA" saya menerangkan. Obama mengagumi alun-alun dan pendopo, "belanda hebat sekali dalam penataan kota dan arsitek bangunan ya Fit" kata Obama. " Tidak semua bangunan disini masih asli peninggalan Belanda Mr Obama, ada sebagian yang sudah di bangun ulang oleh Bupati Jayabaya" Pak wakil Bupati menjelaskan. Jayabaya hanya tersenyum-senyum bangga. Memang bangunan disini sudah banyak yang di pugar, seperti bangunan di sebelah pendopo, Gedung Setda dan Masjid serta gedung Bazda, semua adalah hasil perombakan Jayabaya. " Alun-alun juga saya yang merancang Mr Obama" Jayabaya menyahut bangga. "Well done" puji Obama. "
Mungkin karena lelah akibat pejalanan yang cukup jauh dan hari pertama mengantar Mr Obama di repotkan dengan urusan menghalau massa yang menyerbu, saya tertidur saat Obama sedang berbincang dengan Jayabaya ditemani Pak Wabup Amir Hamzah dan beberpa pimpinan SKPD, entah apa yang mereka bicarakan, hanya sekilas saya mendengar Obama berencana akan berinvestasi untuk memanfaatkan lahan tidur di Lebak dengan tanaman albasia. Obama juga menyampaikan bahwa ia salut atas kemajuan di bidang tersebut. Sayup-sayup saya juga mendengar, bahwa Obama akan meng-impor aspal (AMP) dari Lebak untuk kebutuhan penambalan jalan di Amerika. Tentu saja dari perusahaan milik keluarga Jayabaya. Setelah itu saya benar-benar pulas dan tidak mendengar apa-apa lagi. Sampai-sampai saya terusik oleh bunyi alarm, ternyata saya sudah tidak lagi di pendopo, saya ada di tempat tidur saya. Sempat saya mencari-cari "Obama ..Obama..kemana Obama, wah dia tidak ada disini".
Saya tidak mencarinya lagi, saat tersadar bahwa ternyata saya baru saja bermimpi. Huh mungkin karena lelah sejak sore tadi mengurus mobil di bengkel. Obama..Obama ternyata semua hanya mimpi. Lumayanlah!!!
Sebagai rakyat biasa tentu bukan hal yang mudah berbicara dengan orang sehebat Barack Obama. Detak jantungku selalu meningkat tajam setiap hendak memulai berbicara. "Tapi tak boleh gugup, ini tugas yang begitu mulia, kesempatan berharga yang tidak setiap orang miliki, aku harus serius menjalankannya".
Perjalanan dimulai, Pertama beliau mengajak saya untuk berbelanja ke sebuah Mall di Jakarta. "Fitron, antar saya untuk membeli pakaian ganti, istri saya lupa menyiapkannya semalam" ungkapnya. Dengan senang hati saya antar beliau. Disinilah repotnya menjadi orang terkenal, baru masuk loby Mall sudah disambut kerumunan pembeli yang tadinya sibuk memilih belanjaan. Ada yang mengajak berfoto, bersalaman hingga minta tanda tangan. Entah mengapa Obama meminta saya mengantar sendirian, ia tidak membawa serta pengawal pribadinya. Serbuan para penggemar cukup merepotkan saya, hingga saya harus memberikan Obama beberapa lembar tissue, untuk menyeka keringatnya. Hingga dengan bantuan SPG dan petugas security akhirnya kami mendapatkan 5 pasang setelan jas dan 2 kaos oblong santai serta celana pendek.
Hari pertama yang melelahkan, untuk esok harinya Obama mengajakku ke Rangkasbitung, beliau tertarik dengan Negeri Multatuli. Saya heran begitu detil ia tahu kisah Saija Adinda, begitu fenomenalkah karya Multatuli itu. Hingga tidak terasa ketika aku mencoba membunuh semua tanya akan begitu luasnya pengetahuan Presiden kulit hitam ini, tanpa terasa kami telah sampai di Pandeglang. Itu kami ketahui saat seisi mobil terbangun karena hentakkan keras roda mobil yang kami tumpangi terus menerus mengerem karena di hadang lubang jalan dan beberapa kali terpaksa masuk lubang karena sulit menghindar. "Wah Pandeglang" fikirku, sebelum Obama menanyakan kami sudah sampai di mana, saya beri tahu kalau kita baru sampai di negeri sejuta Santri, "sebentar lagi" saya menghibur. Obama mengangguk dan untuk beberapa saat akhirnya tertidur lagi karena telah masuk ke Rangkasbitung yang jalanannya cukup halus.
Tibalah kami di Pendopo Bupati, "Mr Obama mari kita ke pendopo, itu white house kalau di USA" saya menerangkan. Obama mengagumi alun-alun dan pendopo, "belanda hebat sekali dalam penataan kota dan arsitek bangunan ya Fit" kata Obama. " Tidak semua bangunan disini masih asli peninggalan Belanda Mr Obama, ada sebagian yang sudah di bangun ulang oleh Bupati Jayabaya" Pak wakil Bupati menjelaskan. Jayabaya hanya tersenyum-senyum bangga. Memang bangunan disini sudah banyak yang di pugar, seperti bangunan di sebelah pendopo, Gedung Setda dan Masjid serta gedung Bazda, semua adalah hasil perombakan Jayabaya. " Alun-alun juga saya yang merancang Mr Obama" Jayabaya menyahut bangga. "Well done" puji Obama. "
Mungkin karena lelah akibat pejalanan yang cukup jauh dan hari pertama mengantar Mr Obama di repotkan dengan urusan menghalau massa yang menyerbu, saya tertidur saat Obama sedang berbincang dengan Jayabaya ditemani Pak Wabup Amir Hamzah dan beberpa pimpinan SKPD, entah apa yang mereka bicarakan, hanya sekilas saya mendengar Obama berencana akan berinvestasi untuk memanfaatkan lahan tidur di Lebak dengan tanaman albasia. Obama juga menyampaikan bahwa ia salut atas kemajuan di bidang tersebut. Sayup-sayup saya juga mendengar, bahwa Obama akan meng-impor aspal (AMP) dari Lebak untuk kebutuhan penambalan jalan di Amerika. Tentu saja dari perusahaan milik keluarga Jayabaya. Setelah itu saya benar-benar pulas dan tidak mendengar apa-apa lagi. Sampai-sampai saya terusik oleh bunyi alarm, ternyata saya sudah tidak lagi di pendopo, saya ada di tempat tidur saya. Sempat saya mencari-cari "Obama ..Obama..kemana Obama, wah dia tidak ada disini".
Saya tidak mencarinya lagi, saat tersadar bahwa ternyata saya baru saja bermimpi. Huh mungkin karena lelah sejak sore tadi mengurus mobil di bengkel. Obama..Obama ternyata semua hanya mimpi. Lumayanlah!!!
Deep Meaning
Alkisah, beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Disampingnya duduk seorang ibu yang sudah setengah baya. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan. ”Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta ?” tanya si pemuda. “Oh…saya mau ke Jakarta terus “connecting flight” ke Singapore untuk menengok anak saya yang ke dua”, jawab ibu itu. ”Wouw… hebat sekali putra ibu”, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.
Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahu pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.” Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi , putra yang kedua ya bu? Bagaimana dengan kakak adik-adik nya?” ”Oh ya tentu”, si Ibu bercerita : ”Anak saya yang ketiga seorang dokter di Malang, yang keempat berkerja di perkebunan di Lampung, yang kelima menjadi arsitek di Jakarta, yang keenam menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, dan yang ke tujuh menjadi Dosen di sebuah perguruan tinggi terkemuka Semarang.””
Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak kedua sampai ke tujuh. ”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu ?” Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja nak. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.” kata sang Ibu.
Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu… mungkin ibu agak kecewa ya dengan anak ibu yang pertama, karena adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedang dia menjadi seorang petani?”
Apa jawab sang ibu..???
Apakah anda ingin tahu jawabannya..???
….Dengan tersenyum ibu itu menjawab :
”Ooo …tidak, tidak begitu nak….Justru saya SANGAT BANGGA dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani”… Pemuda itu terbengong….
Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahu pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.” Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi , putra yang kedua ya bu? Bagaimana dengan kakak adik-adik nya?” ”Oh ya tentu”, si Ibu bercerita : ”Anak saya yang ketiga seorang dokter di Malang, yang keempat berkerja di perkebunan di Lampung, yang kelima menjadi arsitek di Jakarta, yang keenam menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, dan yang ke tujuh menjadi Dosen di sebuah perguruan tinggi terkemuka Semarang.””
Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak kedua sampai ke tujuh. ”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu ?” Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja nak. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.” kata sang Ibu.
Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu… mungkin ibu agak kecewa ya dengan anak ibu yang pertama, karena adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedang dia menjadi seorang petani?”
Apa jawab sang ibu..???
Apakah anda ingin tahu jawabannya..???
….Dengan tersenyum ibu itu menjawab :
”Ooo …tidak, tidak begitu nak….Justru saya SANGAT BANGGA dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani”… Pemuda itu terbengong….
Jumat, April 09, 2010
Public Speaking Class
Mengajar hari ini cukup melelahkan, kambing hitamnya karena sarapan pagi selalu tidak terkejar. Begitu sadar waktu is up, baru deh inget kalau belum sarapan. Pagi-pagi selalu rutin, ba'da sholat subuh, sedikit patut diri; baca buku dan sedikit renungan Al-qur'an (kadang-kadang soal baca quran suka kelewat) huuuhh setan emang berat rayuannya. Segudang maenan anak-anak aku tata ulang setelah semalem menjelang tidur pasti kumainin, mulai dari celengan, mobil-mobilan, sampai baju tentara. Lusuh deh dipeluk-peluk (Bab ini ga usah di panjangin bikin banjir mata).
Naah ini dia kegiatan rutin pagi yang lagi kejar target, lari sampai warung pojok dan pagi tadi senam dengan security (Namanya Pak Casmadi) beliau yang selalu kasih motivasi aku untuk jaga kebugaran, dan hasilnya dua bulan terakhir olah ragaku cukup teratur. Hasilnya hehehehen lumayan turun 2 kg. Targetnya 5 kg lagi. Wah jadi kesana kemari pembicaraannya, yuk fokus ke kegiatan mengajar hari ini, Public Speaking Class, ternyata kendala paling besar yang dihadapi teman-teman mahasiswa soal berbicara di depan publik adalah kebiasaan jeda dengan mengeluarkan suara eeee. Dalam 1 menit berbicara mayoritas dari mereka mengucapkan eee lebih dari 10 kali. Kalau seandainya lama bicara satu jam, wah berapa eee yang dihasilkan.
Cukup umum kendala ini terjadi, saran saya jika bunyi eee dalam jeda berbicara merupakan masalah anda juga, atasi dengan menutup mulut saat jeda, perlahan akan beralih ke bunyi mmm namun lama-lama akan hilang sama sekali. Berlatih terus, pasti berhasil. Berbicara medium primer dalam berkomunikasi. Kemampuan ini akan menjadi sarana mengekspresikan gagasan dan ide anda. The power of word, kekuatan kata-kata mamu berdampak sangat dahsyat dalam kehidupan kita, tentu saja saat kita mampu meng improve dengan baik.
Public Speaking class hari ini, meski lelah mengajar tapi menambah pengalaman baru...
Naah ini dia kegiatan rutin pagi yang lagi kejar target, lari sampai warung pojok dan pagi tadi senam dengan security (Namanya Pak Casmadi) beliau yang selalu kasih motivasi aku untuk jaga kebugaran, dan hasilnya dua bulan terakhir olah ragaku cukup teratur. Hasilnya hehehehen lumayan turun 2 kg. Targetnya 5 kg lagi. Wah jadi kesana kemari pembicaraannya, yuk fokus ke kegiatan mengajar hari ini, Public Speaking Class, ternyata kendala paling besar yang dihadapi teman-teman mahasiswa soal berbicara di depan publik adalah kebiasaan jeda dengan mengeluarkan suara eeee. Dalam 1 menit berbicara mayoritas dari mereka mengucapkan eee lebih dari 10 kali. Kalau seandainya lama bicara satu jam, wah berapa eee yang dihasilkan.
Cukup umum kendala ini terjadi, saran saya jika bunyi eee dalam jeda berbicara merupakan masalah anda juga, atasi dengan menutup mulut saat jeda, perlahan akan beralih ke bunyi mmm namun lama-lama akan hilang sama sekali. Berlatih terus, pasti berhasil. Berbicara medium primer dalam berkomunikasi. Kemampuan ini akan menjadi sarana mengekspresikan gagasan dan ide anda. The power of word, kekuatan kata-kata mamu berdampak sangat dahsyat dalam kehidupan kita, tentu saja saat kita mampu meng improve dengan baik.
Public Speaking class hari ini, meski lelah mengajar tapi menambah pengalaman baru...
Rabu, April 07, 2010
PAY IT FORWARD
Saat terlintas keraguan apakah mungkin perbuatan baik yang kecil dan sederhana yang kita lakukan kepada orang lain akan mampu mempengaruhi kehidupan mereka, mungkin Film “PAY IT FORWARD” bisa menjadi pendorong yang memberikan kita semangat untuk selalu tidak jemu-jemu berbuat baik kepada orang lain.
Kisahnya bercerita tentang seorang anak umur delapan tahun bernama Trevor yang berpikir jika dia melakukan kebaikan kepada tiga orang disekitarnya, lalu jika ke tiga orang tersebut meneruskan kebaikan yang mereka terima itu dengan melakukan kepada tiga orang lainnya dan begitu seterusnya, maka dia yakin bahwa suatu saat nanti dunia ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang saling mengasihi. Dia menamakan ide tersebut: “”
Singkat cerita, Trevor memutuskan bahwa tiga orang yang akan menjadi bahan eksperimen adalah mamanya sendiri (yang menjadi single parent), seorang pemuda gembel yang selalu dilihatnya dipinggir jalan dan seorang teman sekelas yang selalu diganggu oleh sekelompok anak-anak nakal.
Percobaanpun dimulai : Trevor melihat bahwa mamanya yang sangat kesepian, tidak punya teman untuk berbagi rasa, telah menjadi pecandu minuman
keras. Trevor berusaha menghentikan kecanduan mamanya dengan cara rajin mengosongkan isi botol minuman keras yang ada dirumah mereka, dia juga mengatur rencana supaya mamanya bisa berkencan dengan guru sekolah Trevor.
Sang mama yang melihat perhatian si anak yang begitu besar menjadi terharu, saat sang mama mengucapkan terima kasih, Trevor berpesan kepada mamanya “PAY IT FORWARD, MOM”
Sang mama yang terkesan dengan yang dilakukan Trevor, terdorong untuk meneruskan kebaikan yang telah diterimanya itu dengan pergi ke rumah ibunya (nenek si Trevor), hubungan mereka telah rusak selama bertahun-tahun dan mereka tidak pernah bertegur sapa, kehadiran sang putri untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan diantara mereka membuat nenek Trevor begitu terharu, saat nenek Trevor mengucapkan terima kasih, si anak berpesan :”PAY IT FORWARD, MOM”
Sang nenek yang begitu bahagia karena putrinya mau memaafkan dan menerima dirinya kembali, meneruskan kebaikan tersebut dengan menolong seorang pemuda yang sedang ketakutan karena dikejar segerombolan orang untuk bersembunyi di mobil si nenek, ketika para pengejarnya sudah pergi, si pemuda mengucapkan terima kasih, si nenek berpesan : “PAY IT FORWARD, SON”.
Si pemuda yang terkesan dengan kebaikan si nenek, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan nomor antriannya di rumah sakit kepada seorang gadis kecil yang sakit parah untuk lebih dulu mendapatkan perawatan, ayah si gadis kecil begitu berterima kasih kepada si pemuda ini, si pemuda berpesan kepada ayah si gadis kecil : “PAY IT FORWARD, SIR”
Ayah si gadis kecil yang terkesan dengan kebaikan si pemuda, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan mobilnya kepada seorang wartawan TV yang mobilnya terkena kecelakaan pada saat sedang meliput suatu acara, saat si wartawan berterima kasih, ayah si gadis berpesan:”PAY IT FORWARD”
Sang wartawan yang begitu terkesan terhadap kebaikan ayah si gadis, bertekad untuk mencari tau dari mana asal muasalnya istilah “PAY IT FORWARD” tersebut, jiwa kewartawanannya mengajak dia untuk menelusuri mundur untuk mencari informasi mulai dari ayah si gadis, pemuda yang memberi antrian nomor rumah sakit, nenek yang memberikan tempat persembunyian, putri si nenek yang mengampuni, sampai kepada si Trevor yang mempunyai ide tersebut.
Terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Trevor, Si wartawan mengatur agar Trevor bisa tampil di Televisi supaya banyak orang yang tergugah dengan apa yang telah dilakukan oleh anak kecil ini. Saat kesempatan untuk tampil di Televisi terlaksana, Trevor mengajak semua pemirsa yang sedang melihat acara tersebut untuk BERSEDIA MEMULAI DARI DIRI MEREKA SENDIRI UNTUK MELAKUKAN KEBAIKAN KEPADA ORANG-ORANG DISEKITAR MEREKA agar dunia ini menjadi dunia yang penuh kasih.
Namun umur Trevor sangat singkat, dia ditusuk pisau saat akan menolong teman sekolahnya yang selalu diganggu oleh para berandalan, selesai penguburan Trevor, betapa terkejutnya sang Mama melihat ribuan orang tidak henti-hentinya datang dan berkumpul di halaman rumahnya sambil meletakkan bunga dan menyalakan lilin tanda ikut berduka cita terhadap kematian Trevor. Trevor sendiripun sampai akhir hayatnya tidak pernah menyadari dampak yang diberikan kepada banyak orang hanya dengan melakukan kebaikan penuh kasih kepada orang lain.
Mungkinkah saat kita terkagum-kagum menikmati kebaikan Tuhan di dalam hidup kita, dan kita bertanya-tanya kepada Tuhan bagaimana cara untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepadaNya, jawaban Tuhan hanya sesederhana ini: “PAY IT FORWARD to OTHERS around YOU (Teruskanlah itu kepada orang lain yang ada disekitarmu)”
Kisahnya bercerita tentang seorang anak umur delapan tahun bernama Trevor yang berpikir jika dia melakukan kebaikan kepada tiga orang disekitarnya, lalu jika ke tiga orang tersebut meneruskan kebaikan yang mereka terima itu dengan melakukan kepada tiga orang lainnya dan begitu seterusnya, maka dia yakin bahwa suatu saat nanti dunia ini akan dipenuhi oleh orang-orang yang saling mengasihi. Dia menamakan ide tersebut: “”
Singkat cerita, Trevor memutuskan bahwa tiga orang yang akan menjadi bahan eksperimen adalah mamanya sendiri (yang menjadi single parent), seorang pemuda gembel yang selalu dilihatnya dipinggir jalan dan seorang teman sekelas yang selalu diganggu oleh sekelompok anak-anak nakal.
Percobaanpun dimulai : Trevor melihat bahwa mamanya yang sangat kesepian, tidak punya teman untuk berbagi rasa, telah menjadi pecandu minuman
keras. Trevor berusaha menghentikan kecanduan mamanya dengan cara rajin mengosongkan isi botol minuman keras yang ada dirumah mereka, dia juga mengatur rencana supaya mamanya bisa berkencan dengan guru sekolah Trevor.
Sang mama yang melihat perhatian si anak yang begitu besar menjadi terharu, saat sang mama mengucapkan terima kasih, Trevor berpesan kepada mamanya “PAY IT FORWARD, MOM”
Sang mama yang terkesan dengan yang dilakukan Trevor, terdorong untuk meneruskan kebaikan yang telah diterimanya itu dengan pergi ke rumah ibunya (nenek si Trevor), hubungan mereka telah rusak selama bertahun-tahun dan mereka tidak pernah bertegur sapa, kehadiran sang putri untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan diantara mereka membuat nenek Trevor begitu terharu, saat nenek Trevor mengucapkan terima kasih, si anak berpesan :”PAY IT FORWARD, MOM”
Sang nenek yang begitu bahagia karena putrinya mau memaafkan dan menerima dirinya kembali, meneruskan kebaikan tersebut dengan menolong seorang pemuda yang sedang ketakutan karena dikejar segerombolan orang untuk bersembunyi di mobil si nenek, ketika para pengejarnya sudah pergi, si pemuda mengucapkan terima kasih, si nenek berpesan : “PAY IT FORWARD, SON”.
Si pemuda yang terkesan dengan kebaikan si nenek, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan nomor antriannya di rumah sakit kepada seorang gadis kecil yang sakit parah untuk lebih dulu mendapatkan perawatan, ayah si gadis kecil begitu berterima kasih kepada si pemuda ini, si pemuda berpesan kepada ayah si gadis kecil : “PAY IT FORWARD, SIR”
Ayah si gadis kecil yang terkesan dengan kebaikan si pemuda, terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan memberikan mobilnya kepada seorang wartawan TV yang mobilnya terkena kecelakaan pada saat sedang meliput suatu acara, saat si wartawan berterima kasih, ayah si gadis berpesan:”PAY IT FORWARD”
Sang wartawan yang begitu terkesan terhadap kebaikan ayah si gadis, bertekad untuk mencari tau dari mana asal muasalnya istilah “PAY IT FORWARD” tersebut, jiwa kewartawanannya mengajak dia untuk menelusuri mundur untuk mencari informasi mulai dari ayah si gadis, pemuda yang memberi antrian nomor rumah sakit, nenek yang memberikan tempat persembunyian, putri si nenek yang mengampuni, sampai kepada si Trevor yang mempunyai ide tersebut.
Terkesan dengan apa yang dilakukan oleh Trevor, Si wartawan mengatur agar Trevor bisa tampil di Televisi supaya banyak orang yang tergugah dengan apa yang telah dilakukan oleh anak kecil ini. Saat kesempatan untuk tampil di Televisi terlaksana, Trevor mengajak semua pemirsa yang sedang melihat acara tersebut untuk BERSEDIA MEMULAI DARI DIRI MEREKA SENDIRI UNTUK MELAKUKAN KEBAIKAN KEPADA ORANG-ORANG DISEKITAR MEREKA agar dunia ini menjadi dunia yang penuh kasih.
Namun umur Trevor sangat singkat, dia ditusuk pisau saat akan menolong teman sekolahnya yang selalu diganggu oleh para berandalan, selesai penguburan Trevor, betapa terkejutnya sang Mama melihat ribuan orang tidak henti-hentinya datang dan berkumpul di halaman rumahnya sambil meletakkan bunga dan menyalakan lilin tanda ikut berduka cita terhadap kematian Trevor. Trevor sendiripun sampai akhir hayatnya tidak pernah menyadari dampak yang diberikan kepada banyak orang hanya dengan melakukan kebaikan penuh kasih kepada orang lain.
Mungkinkah saat kita terkagum-kagum menikmati kebaikan Tuhan di dalam hidup kita, dan kita bertanya-tanya kepada Tuhan bagaimana cara untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepadaNya, jawaban Tuhan hanya sesederhana ini: “PAY IT FORWARD to OTHERS around YOU (Teruskanlah itu kepada orang lain yang ada disekitarmu)”
Kamis, April 01, 2010
BELAJAR MEMAKNAI SIMBOL
Kehidupan memang dilumuri oleh berbagai simbol. Persoalannya kadangkala manusia tidak berhasil memaknai simbol-simbol dengan fungsi yang benar. Sebelum pada akhirnya kelak bahasa dikodifikasi, manusia menjelajah simbol-simbol untuk dapat berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Ditemukanlah bahasa sebagai mahakarya simbol tercanggih. Masih dalam bagian dari bahasa, simbol-simbol dalam kehidupan ini menghantarkan cita rasa sikap dan gaya hidup, dimana menangis adalah bahasa kesedihan, tersenyum adalah bahasa kebahagiaan dan masih banyak lagi.
Kemudian ditetapkannya simbol-simbol tertentu secara umum untuk menghantarkan maksud yang diwakili simbol-simbol sebenarnya. Tapi simbol tak selalu merepresentasikan makna sebenarnya, bisa melenceng atau berbalik 180 derjat. Artinya bertolak belakang dan tidak memiliki hubungan sama sekali. Inilah kepura-puraan sebagai bentuk pengkelabuan dari makna simbol. Menangis tak selalu karena bersedih akan tetapi pura-pura sedih, tersenyum juga bisa jug dimaksudkan untuk pura-pura bahagia.
Simbol Kepura-puraan
Seorang penjahit merasa dirugikan oleh seorang polisi yang sudah 6 bulan tidak mengambil jahitannya. Ditelusurilah dimana alamat polisi tersebut. Namun malang nasib sang penjahit, ternyata alamat yang dia dapatkan tak lagi di tinggali sang polisi. Telah lama petugas polisi itu dipindahkan ke kota yang lain. Karena kesal dipakailah baju seragam polisi tersebut. Dalam perjalanan tak terduga begitu banyak yang memberi hormat padanya, bahkan dengan mudah ia mendapatkan uang meski ia tak memintanya. Terbersit niat dari penjahit itu untuk pura-pura menjadi polisi, toh lebih gampang mencari uang dengan profesinya yang baru meski harus sekedar pura-pura.
Demikianlah kepura-puraan biasanya menghadirkan kenyataan lain pada sebuah negeri yang subur kepura-puraannya. Ini yang disebut Simulakra menterjemahkan simbol meski kini menjadi makna yang melenceng. Pura-pura berhasil memimpin, pura-pura merakyat, pura-pura sholeh, pura-pura dermawan dengan aneka topeng sebagai simbol yang bisa dikenakan. Bagi seorang pemimpin tidak lain agar populis dan pada akhirnya meningkatkan elektabilitasnya. Tetapi sampai kapan kita bisa berpura-pura seperti penjahit yang kini berseragam polisi?
Kepura-puraan begitu mudah dilakukan. Sebab kepura-puraan telah memiliki pakaian-pakaiannya di dunia yang penuh citra. Citra menjungkirbalikan makna sebenarnya. Ada daerah yang ingin disebut Islami, gampang saja citra bisa dibentuk dengan pakaian atau simbol-simbol yang dikenakan untuk akhirnya berpura-pura Islami. Bisa memampang deretan ayat Al-Qur'an, menempel bilboard Asmaul husna dan mematok perda-perda simbolisasi ke Islaman. Tapi hanya ditingkat citra atau simbol, keadaan dan subtansi tidak tersentuh hanya menjadi pajangan yang mengangkangi makna simbol sebenarnya. Bisa jadi transaksi pelacuran terjadi dibawah simbol, monopoli dan serangkaian kebohongan politik begitu tidak senonoh dipertontonkan.
Gengsi diantara simbol
Gengsi berasal dari kata prestige, kata ini berasal dari kata dalam bahasa latin praestigae artinya mengusap, menjamah, menyilaukan. Makna kata itu dalam bahasa Indonesia tidak begitu ditonjolkan. Dalam ilmu sosial, prestige adalah sebutan untuk pengaruh yang tidak mudah dijelaskan. Dikatakan demikian karena pengaruh itu sulit dijelaskan dari mana dasar dan asalnya. Pengaruh itu terlontar dalam diri seseorang begitu saja. Pengaruh itu berasal dari seseorang secara pribadi atau dari kelompok orang. Selain itu prestige juga merupakan sebutan untuk bentuk-bentuk demonstratif penghargaan sosial misalnya mengejar pengakuan sosial, pangkat, dan lain sebagainya. Itu semua menonjolkan kenegatifan makna gengsi.
Mungkin segera kita menempuh serangkaian upaya untuk belajar memaknai simbol. Meluruskan makna simbol yang keliru dan menegaskan makna sebenarnya. Memang dunia tengah mengalami deviasi makna yang cukup parah. Sehingga memaksa kita menggandrungi simbol. Ingin dihormati cukup mengenakan simbol-simbol kehormatan, kekayaan, jabatan dan ke cantikan. Bukankah faktanya hal semacam itulah yang lebih menampilkan citra kehormatan? Meskipun tak selamanya begitu.
"Saya naik sepeda motor satpampun tak menoleh saat saya masuk areal parkir, berbeda pada saat yang datang mengendarai mobil mewah dengan sigap satpam memberi hormat", begitu gerutu teman saya suatu hari. Maka tak jarang, demi gengsi seseorang rela melakukan apapun untuk sebuah gaya. Hal ini tidak lain karena ingin mengenakan simbol-simbol kehormatan. Bolak-balik ke salon untuk disebut cantik, berebut jabatan untuk kehormatan, berpakaian mewah, mengenakan perhiasan untuk disebut kaya. Cara mendapatkannya bisa berhutang, mencuri, atau korupsi. Saat ingin berkuasapun bisa dengan berbagai upaya seperti money politik dan cara-cara busuk yang jauh sekali dari makna kaya, kehormatan dan gengsi sebenarnya.
Dewasa ini kata kehormatan dipadankan dengan kata harga diri, kemurnian atau keperawanan. Oleh karena itu, bila seorang wanita dinodai ia dikatakan kehilangan kehormatannya. Pada dasarnya kehormatan memiliki makna yang mendalam melebihi makna seperti itu. Kehormatan pada dasarnya adalah penghargaan yang dinyatakan kepada seseorang berdasarkan nilainya. Nilai itu adalah keutamaan yang ada pada subyek, nilai diri subyek. Nilai pada hakekatnya mengalir dari martabatnya sebagai manusia. Namun nilai itu semakin menonjol dan secara emosional, menimbulkan perasaan hormat, ketika seseorang menghayati keutamaan hidup.
Penghormatan itu berasal dari orang lain disekitarnya. Namun pengakuan orang disekitarnya itu bukan syarat adanya penghormatan. Kehormatan seseorang tidak tergantung pada pengakuan sosial. Selain itu, nilai pada subyek itu, idealnya diakui oleh masyarakat. Namun sekali lagi itu bukan syarat mutlak. Kehormatan seseorang pada hakekatnya didasarkan atas kodrat manusia. Oleh karenanya pada dasarnya setiap orang berhak dan wajib untuk dihormati dan menghormati.
Dewasa ini relasi antara gengsi dan kehormatan dekat sekali. Bila orang mengungkapkan gengsi seseorang itu seolah sama dengan kehormatan seseorang. Namun bila diteliti lebih jauh dengan melihat dasar dari kehormatan, kita dapat menyimpulkan bahwa gengsi dan kehormatan pada dasarnya berbeda. Kehormatan tak bisa dilepaskan dari nilai keutamaan yang dihayati oleh subyek. Sementara gengsi diperoleh seseorang bisa terlepas dari soal keutamaan itu. Gengsi dapat diperoleh seseorang ketika ia berprestasi, maju dalam karir, kaya dsb. Namun gengsi bisa terarah kepada kehormatan ketika orang menghayati prestasinya dengan diimbangi oleh perjuangan untuk menghayati keutamaan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa gengsi adalah “kekurangan” dari kehormatan.
Memaknai Simbol
Mari kita maknai simbol, karena hidup adalah apa yang membuat hati benar-benar merasa tenteram. Bukan aneka kepura-puraan yang menghadirkan ketamakan dan keserakahan. Faktanya hati makin terpuruk dan gelisah. Hidup tidak seperti seorang anak kecil yang membeli petasan. Justeru menutup telinga kala petasan itu dinyalakan. Hingga kita yang membeli tak menikmati. Hanya mengagetkan tetangga. Apa yang kita miliki untuk kita nikmati, bukan untuk sekedar pamer dan membuat orang lain iri.
Demikian pula tidak berguna simbol-simbol semata dalam mengelola sebuah negara. Simbol Islami, sejahtera, berhasil, maju namun faktanya, amoral, terbelakang dan tertinggal. Sebab fakta dibalik simbol menegaskan keserakahan pemimpin, kebodohan dan ketidak acuhan pada kebutuhan masyarakat. Pemimpin justeru menampilkan kemewahan, dominasi keluarga serta kelompok sendiri pada akses ekonomi dan kekuasaan. Alangkah naif bukan?
Kemudian ditetapkannya simbol-simbol tertentu secara umum untuk menghantarkan maksud yang diwakili simbol-simbol sebenarnya. Tapi simbol tak selalu merepresentasikan makna sebenarnya, bisa melenceng atau berbalik 180 derjat. Artinya bertolak belakang dan tidak memiliki hubungan sama sekali. Inilah kepura-puraan sebagai bentuk pengkelabuan dari makna simbol. Menangis tak selalu karena bersedih akan tetapi pura-pura sedih, tersenyum juga bisa jug dimaksudkan untuk pura-pura bahagia.
Simbol Kepura-puraan
Seorang penjahit merasa dirugikan oleh seorang polisi yang sudah 6 bulan tidak mengambil jahitannya. Ditelusurilah dimana alamat polisi tersebut. Namun malang nasib sang penjahit, ternyata alamat yang dia dapatkan tak lagi di tinggali sang polisi. Telah lama petugas polisi itu dipindahkan ke kota yang lain. Karena kesal dipakailah baju seragam polisi tersebut. Dalam perjalanan tak terduga begitu banyak yang memberi hormat padanya, bahkan dengan mudah ia mendapatkan uang meski ia tak memintanya. Terbersit niat dari penjahit itu untuk pura-pura menjadi polisi, toh lebih gampang mencari uang dengan profesinya yang baru meski harus sekedar pura-pura.
Demikianlah kepura-puraan biasanya menghadirkan kenyataan lain pada sebuah negeri yang subur kepura-puraannya. Ini yang disebut Simulakra menterjemahkan simbol meski kini menjadi makna yang melenceng. Pura-pura berhasil memimpin, pura-pura merakyat, pura-pura sholeh, pura-pura dermawan dengan aneka topeng sebagai simbol yang bisa dikenakan. Bagi seorang pemimpin tidak lain agar populis dan pada akhirnya meningkatkan elektabilitasnya. Tetapi sampai kapan kita bisa berpura-pura seperti penjahit yang kini berseragam polisi?
Kepura-puraan begitu mudah dilakukan. Sebab kepura-puraan telah memiliki pakaian-pakaiannya di dunia yang penuh citra. Citra menjungkirbalikan makna sebenarnya. Ada daerah yang ingin disebut Islami, gampang saja citra bisa dibentuk dengan pakaian atau simbol-simbol yang dikenakan untuk akhirnya berpura-pura Islami. Bisa memampang deretan ayat Al-Qur'an, menempel bilboard Asmaul husna dan mematok perda-perda simbolisasi ke Islaman. Tapi hanya ditingkat citra atau simbol, keadaan dan subtansi tidak tersentuh hanya menjadi pajangan yang mengangkangi makna simbol sebenarnya. Bisa jadi transaksi pelacuran terjadi dibawah simbol, monopoli dan serangkaian kebohongan politik begitu tidak senonoh dipertontonkan.
Gengsi diantara simbol
Gengsi berasal dari kata prestige, kata ini berasal dari kata dalam bahasa latin praestigae artinya mengusap, menjamah, menyilaukan. Makna kata itu dalam bahasa Indonesia tidak begitu ditonjolkan. Dalam ilmu sosial, prestige adalah sebutan untuk pengaruh yang tidak mudah dijelaskan. Dikatakan demikian karena pengaruh itu sulit dijelaskan dari mana dasar dan asalnya. Pengaruh itu terlontar dalam diri seseorang begitu saja. Pengaruh itu berasal dari seseorang secara pribadi atau dari kelompok orang. Selain itu prestige juga merupakan sebutan untuk bentuk-bentuk demonstratif penghargaan sosial misalnya mengejar pengakuan sosial, pangkat, dan lain sebagainya. Itu semua menonjolkan kenegatifan makna gengsi.
Mungkin segera kita menempuh serangkaian upaya untuk belajar memaknai simbol. Meluruskan makna simbol yang keliru dan menegaskan makna sebenarnya. Memang dunia tengah mengalami deviasi makna yang cukup parah. Sehingga memaksa kita menggandrungi simbol. Ingin dihormati cukup mengenakan simbol-simbol kehormatan, kekayaan, jabatan dan ke cantikan. Bukankah faktanya hal semacam itulah yang lebih menampilkan citra kehormatan? Meskipun tak selamanya begitu.
"Saya naik sepeda motor satpampun tak menoleh saat saya masuk areal parkir, berbeda pada saat yang datang mengendarai mobil mewah dengan sigap satpam memberi hormat", begitu gerutu teman saya suatu hari. Maka tak jarang, demi gengsi seseorang rela melakukan apapun untuk sebuah gaya. Hal ini tidak lain karena ingin mengenakan simbol-simbol kehormatan. Bolak-balik ke salon untuk disebut cantik, berebut jabatan untuk kehormatan, berpakaian mewah, mengenakan perhiasan untuk disebut kaya. Cara mendapatkannya bisa berhutang, mencuri, atau korupsi. Saat ingin berkuasapun bisa dengan berbagai upaya seperti money politik dan cara-cara busuk yang jauh sekali dari makna kaya, kehormatan dan gengsi sebenarnya.
Dewasa ini kata kehormatan dipadankan dengan kata harga diri, kemurnian atau keperawanan. Oleh karena itu, bila seorang wanita dinodai ia dikatakan kehilangan kehormatannya. Pada dasarnya kehormatan memiliki makna yang mendalam melebihi makna seperti itu. Kehormatan pada dasarnya adalah penghargaan yang dinyatakan kepada seseorang berdasarkan nilainya. Nilai itu adalah keutamaan yang ada pada subyek, nilai diri subyek. Nilai pada hakekatnya mengalir dari martabatnya sebagai manusia. Namun nilai itu semakin menonjol dan secara emosional, menimbulkan perasaan hormat, ketika seseorang menghayati keutamaan hidup.
Penghormatan itu berasal dari orang lain disekitarnya. Namun pengakuan orang disekitarnya itu bukan syarat adanya penghormatan. Kehormatan seseorang tidak tergantung pada pengakuan sosial. Selain itu, nilai pada subyek itu, idealnya diakui oleh masyarakat. Namun sekali lagi itu bukan syarat mutlak. Kehormatan seseorang pada hakekatnya didasarkan atas kodrat manusia. Oleh karenanya pada dasarnya setiap orang berhak dan wajib untuk dihormati dan menghormati.
Dewasa ini relasi antara gengsi dan kehormatan dekat sekali. Bila orang mengungkapkan gengsi seseorang itu seolah sama dengan kehormatan seseorang. Namun bila diteliti lebih jauh dengan melihat dasar dari kehormatan, kita dapat menyimpulkan bahwa gengsi dan kehormatan pada dasarnya berbeda. Kehormatan tak bisa dilepaskan dari nilai keutamaan yang dihayati oleh subyek. Sementara gengsi diperoleh seseorang bisa terlepas dari soal keutamaan itu. Gengsi dapat diperoleh seseorang ketika ia berprestasi, maju dalam karir, kaya dsb. Namun gengsi bisa terarah kepada kehormatan ketika orang menghayati prestasinya dengan diimbangi oleh perjuangan untuk menghayati keutamaan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa gengsi adalah “kekurangan” dari kehormatan.
Memaknai Simbol
Mari kita maknai simbol, karena hidup adalah apa yang membuat hati benar-benar merasa tenteram. Bukan aneka kepura-puraan yang menghadirkan ketamakan dan keserakahan. Faktanya hati makin terpuruk dan gelisah. Hidup tidak seperti seorang anak kecil yang membeli petasan. Justeru menutup telinga kala petasan itu dinyalakan. Hingga kita yang membeli tak menikmati. Hanya mengagetkan tetangga. Apa yang kita miliki untuk kita nikmati, bukan untuk sekedar pamer dan membuat orang lain iri.
Demikian pula tidak berguna simbol-simbol semata dalam mengelola sebuah negara. Simbol Islami, sejahtera, berhasil, maju namun faktanya, amoral, terbelakang dan tertinggal. Sebab fakta dibalik simbol menegaskan keserakahan pemimpin, kebodohan dan ketidak acuhan pada kebutuhan masyarakat. Pemimpin justeru menampilkan kemewahan, dominasi keluarga serta kelompok sendiri pada akses ekonomi dan kekuasaan. Alangkah naif bukan?
Rabu, Maret 31, 2010
AGAMA YANG TERDEKORATIF
Tulisan ini terinspirasi dari comment kang Agus Sutisna seorang cendikiawan muda dari Perguruan Tinggi Latansa Mashiro, pada status Facebook (FB) - Masyarakat Pena Saija (MPS)- milik penulis. Beberapa hari lalu saya berkisah di account jejaring sosial tersebut. Kisah saya adalah romantisme menjelang maghrib saat saya kecil. Usia penuh harapan akan pujian. Sampai-sampai urusan azan maghrib sempat menebar bius ingin dipuji dibenak saya dan teman-teman sebaya. Maklum Toa adalah barang baru di mushola kami, sehingga aktivitas ibadah menjadi semarak. Pengeras suara ini menjadi medium yang membuat aktivitas ibadah beyond motivasi. Tidak hanya menjalankan fungsi ta'abudi, tapi juga merangsang sensasi kepuasan rasa.
Saat tadarrus bukan hanya terasa ingin ibadah, namun lebih dari itu. Ayat suci yang menggema menggaungkan suara yang didalamnya ada energi riya' (perasaan ingin dipuji). Jujur,saya merasa seakan publik diluar sana mendengar lalu terkagum. Terngiang dalam hati dan mungkin warga sedang memuji "wah anak siapa itu yang sedang mengaji?" atau "bagus banget suaranya, siapa yang sedang mengumandangkan azan?". Dan asumsi-asumsi lucu lainnya. Padahal bisa jadi sebaliknya, warga terganggu karena suara bising dari kumandang azan yang berisik, karena sebenarnya suara kami memang cempreng dan tidak fasih.
Begitu ekstreamnya perasaan bangga mengumandangkan azan, memicu kami untuk berebut kesempatan ketika waktu solat tiba. Sampai-sampai siapa yang datang lebih awal ke Mushola biasanya bergegas mencabut microphone dari amplifier, disembunyikan, lalu memasangnya kembali waktu sholat menjelang untuk kemudian menarik suara azan. Tentu saja dari kisah ini Kang Agus menyentakkan fikiran saya dengan satu commentnya yang bernas. Kira-kira intinya begini " masih kecil berebut azan, sudah besar bisa jadi berebut Masjid dan Mushola untuk panggung merebut kekuasaan".
Betul kata kang Agus, kekuasaan memang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Ia bisa menjelma dalam berbagai wajah. Hasrat kuasa bisa memiliki rupa Ustad, Kiayi bahkan preman. Ia menyerupai apapun dengan segmentasi tak terbatas. Bisa pura-pura NU, pura-pura Muhammadiyah, Pura-pura nasionalis atau pura-pura demokrat sejati. Perubahan wajah sekonyong-konyong terjadi base on ceruk pasar politik.
Kita batasi "seserupaan" ini dalam konteks agama sebagai komoditas. Jujur kita menyaksikan fakta bahwa agama bisa menyedot loyalitas, baik kesadaran yang rasional maupun tak rasional. Karena beragamalah manusia meyakini yang tidak nyata (ghaib), karena kepercayaanlah manusia memiliki ketundukan yang dahsyat tanpa reserve. Ini kemudian di manfaatkan dalam politik sebagai komoditas. Bukan saja sebagai ideologi murni, tapi juga diadopsi semacam dekorasi yang bertujuan menjadikan sesuatu memiliki efek "seolah-olah".
Karena agama memiliki kekuatan dekoratif maka agama sangat mungkin berfungsi sebagai alat mempercantik. Bayangkan seorang yang fanatik pada partai Islam bisa tiba-tiba berubah dukungan hanya karena menyaksikan tokoh politik dari kelompok nasionalis tertentu tampil di Televisi atau dalam atribut kampanye yang Islami, misalnya berkoko dan berpeci. Belum lagi jika dibumbui dengan aktivitas rohani, berzikir sambil menangis, pergi umrah atau istighatsyah, makin sempurnalah dekorasi agama dalam kontestasi politik.
Dekorasi memang bisa menset-up aula menjadi semacam taman, pesta pekawinan bisa terasa di kebun atau garden party. Tentu saja tidak harus di kebun sebenarnya, tapi cukup menyulap aula menjadi kebun. Aula bisa di tata dengan dipenuhi pepohonan, bebatuan dan bunga-bungaan. Inilah dekorasi. Jika agama hanya berhenti ditingkat atribut, maka ia berfungsi dekoratif, dan rupanya di negeri yang menganut fantasmagoria semacam ini, dekorasi menjadi sangat penting. Untuk menarik hati para sholihin, politisi bisa mendekorasi dirinya dengan atribut kesolehan. Untuk menarik perhatian orang NU, politisi tinggal mengenakan atribut Nahdhiyin. Tak usah lebih, nampaklah ia sebagai representasi pura-pura, yang nampak selayaknya.
Tak heran, jika para kandidat dalam Pilkada mengenakan perangkat kesholehan dan simbol ideologis kelompok tertentu. Meskipun beberapa judgment diatas tidak saya alamatkan kepada perorangan. Tulisan ini juga tidak dalam rangka menghakimi karena bukan kapasitas saya melampaui hati seseorang yang tidak mungkin terjangkau oleh mata. Karena niat seseorang hanya bisa diukur oleh hati mereka sendiri. Tulisan ini hanya ingin meluruskan motivasi penggunaan atribut yang terdekorasi dalam serangkaian strategi politik.
Segalanya bermula dari motivasi, demikian Hadits mengatakan. Mungkin pembaca pernah mendengar iklan selamat menunaikan sholat selepas kumandang azan di stasiun radio tertentu? Nah semacam ini bisa tidak tergolong dekorasi politik jika si Penyeru juga disaat yang sama bergegas mengambil air wudhu dan lalu sholat. Tapi jika si Penyeru bahkan tak rajin sholat, maka ia sedang menempatkan sholat sebagai media dekorasi. Seruannya tidaklah menyentuh subtansi.
Agama sepatutnya adalah behaviour, attitude dan spirit. Secara kognisi Mewarnai iklim politik, secara psikomotorik memiliki effek miror yang memantulkan tindakan politik yang sarat nilai-nilai kebaikan dan meng-afeksi dalam motivasi dalam setiap kebijakan yang diputuskan. Bukan sekedar wig (rambut palsu), lipstik, dan bukan juga berhenti di tingkat citra. Seharusnya agama dipeluk dan menjadi referensi setiap tindakan politik, menjadi motivasi decision making dan menjadi cermin setiap kebijakan.
Pendekor Bangkrut
Saya ingin berkisah dari sebuah cerita yang saya improve dari sebuah hadits yang saya ingat pernah di bacakan seorang khotib saat khutbah 'Idul Fitri. Suatu masa kelak di yaumil mizan. Seorang yang ternyata adalah mantan pejabat politik diarak oleh para malaikat untuk menuju Syurga. Nampak aura kegembiraan terpancar. Betapa tidak, saat itu adalah pengadilan terakhir, sebuah keputusan yang berimplikasi kepada kekekalan kehidupan. Jika ia telah divonis sengsara maka di nerakalah ia bertempat, dengan vonis kekal didalamnya (kholidina fieha).
Rupanya pejabat ini begitu beruntung. Ibadahnya menghantarkan ia pada keputusan syurgawi. Suka cita itu rupanya tak berlangsung lama, setelah tiba-tiba seorang laki-laki tergopoh-gopoh berlari lalu menghadang rombongan." Hendak dibawa kemana mantan Pejabat Politik ini?" Demikian tanyanya didepan rombongan. "Kami hendak mengantarnya ke Syurga, lelaki ini sholeh semasa hidupnya". "Jangan dulu, aku ingin complain, dulu semasa memimpin, dia pernah mengurangi takaran aspal pembangunan jalan, sehingga belum seminggu jalan itu dibangun kembali berlubang. Akibatnya saya terjatuh dan meninggal saat bersepeda motor melewati lubang itu. Anak-anak saya menjadi yatim dan hidup berkesusahan". Malaikat mengurangi pahala sedekah pejabat ini, untuk diberikan kepada lelaki yang mengajukan komplain tersebut. Ternyata pejabat itu sedekah dari uang korupsi aspal pembangunan dan perawatan jalan.
Demikian berturut-turut dihadang sekian banyak warganya; ada yang komplain persoalan Dana Alokasi Umum (DAU) dan proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) yang di sunat, proyek pemerintah pusat yang di kooptasi, jabatan yang monopolistik dan berbau nepotisme sampai persoalan intimidasi dan kecurangan saat kampanye serta proyek-proyek pemerintah yang di dominasi keluarganya sehingga menghancurkan rasa keadilan. Pahala puasanya diambil, pahala zakatnya dipangkas, pahala hajinya di potong sehingga habis amal sholehnya didunia. Setelah bangkrut dan merugi karena amalnya ibadahnya direnggut, tetap masih ada yang mengajukan komplain. Maka dosa orang yang mengajukan komplain ditimpakan kepada pejabat itu. Sehingga Rosulullah mengumpamakan dalam hadits orang, semacam ini dengan istilah Muflish = bangkrut.
Kebaikan yang ditanam, budi yang ditebar dan pengabdian seremonial yang dipersembahkan hilang begitu saja. Ini akibat hidupnya berdiri diatas ibadah yang dekoratif, jauh dari nilai-nilai subtansial dari ibadah yang ia lakukan dalam kehidupannya. Kesalihan, ketaatan ubudiah layaknya dekorasi yang menipu. Maka dialah pendekor yang bangkrut. Sebab yaumul mizan adalah pengadilan yang tidak bisa disuap dan tak bisa menghadirkan pembela dan saksi palsu. Tangan, kaki dan tubuh kita berbicara dan menjadi saksi sejujurnya.
Saat tadarrus bukan hanya terasa ingin ibadah, namun lebih dari itu. Ayat suci yang menggema menggaungkan suara yang didalamnya ada energi riya' (perasaan ingin dipuji). Jujur,saya merasa seakan publik diluar sana mendengar lalu terkagum. Terngiang dalam hati dan mungkin warga sedang memuji "wah anak siapa itu yang sedang mengaji?" atau "bagus banget suaranya, siapa yang sedang mengumandangkan azan?". Dan asumsi-asumsi lucu lainnya. Padahal bisa jadi sebaliknya, warga terganggu karena suara bising dari kumandang azan yang berisik, karena sebenarnya suara kami memang cempreng dan tidak fasih.
Begitu ekstreamnya perasaan bangga mengumandangkan azan, memicu kami untuk berebut kesempatan ketika waktu solat tiba. Sampai-sampai siapa yang datang lebih awal ke Mushola biasanya bergegas mencabut microphone dari amplifier, disembunyikan, lalu memasangnya kembali waktu sholat menjelang untuk kemudian menarik suara azan. Tentu saja dari kisah ini Kang Agus menyentakkan fikiran saya dengan satu commentnya yang bernas. Kira-kira intinya begini " masih kecil berebut azan, sudah besar bisa jadi berebut Masjid dan Mushola untuk panggung merebut kekuasaan".
Betul kata kang Agus, kekuasaan memang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Ia bisa menjelma dalam berbagai wajah. Hasrat kuasa bisa memiliki rupa Ustad, Kiayi bahkan preman. Ia menyerupai apapun dengan segmentasi tak terbatas. Bisa pura-pura NU, pura-pura Muhammadiyah, Pura-pura nasionalis atau pura-pura demokrat sejati. Perubahan wajah sekonyong-konyong terjadi base on ceruk pasar politik.
Kita batasi "seserupaan" ini dalam konteks agama sebagai komoditas. Jujur kita menyaksikan fakta bahwa agama bisa menyedot loyalitas, baik kesadaran yang rasional maupun tak rasional. Karena beragamalah manusia meyakini yang tidak nyata (ghaib), karena kepercayaanlah manusia memiliki ketundukan yang dahsyat tanpa reserve. Ini kemudian di manfaatkan dalam politik sebagai komoditas. Bukan saja sebagai ideologi murni, tapi juga diadopsi semacam dekorasi yang bertujuan menjadikan sesuatu memiliki efek "seolah-olah".
Karena agama memiliki kekuatan dekoratif maka agama sangat mungkin berfungsi sebagai alat mempercantik. Bayangkan seorang yang fanatik pada partai Islam bisa tiba-tiba berubah dukungan hanya karena menyaksikan tokoh politik dari kelompok nasionalis tertentu tampil di Televisi atau dalam atribut kampanye yang Islami, misalnya berkoko dan berpeci. Belum lagi jika dibumbui dengan aktivitas rohani, berzikir sambil menangis, pergi umrah atau istighatsyah, makin sempurnalah dekorasi agama dalam kontestasi politik.
Dekorasi memang bisa menset-up aula menjadi semacam taman, pesta pekawinan bisa terasa di kebun atau garden party. Tentu saja tidak harus di kebun sebenarnya, tapi cukup menyulap aula menjadi kebun. Aula bisa di tata dengan dipenuhi pepohonan, bebatuan dan bunga-bungaan. Inilah dekorasi. Jika agama hanya berhenti ditingkat atribut, maka ia berfungsi dekoratif, dan rupanya di negeri yang menganut fantasmagoria semacam ini, dekorasi menjadi sangat penting. Untuk menarik hati para sholihin, politisi bisa mendekorasi dirinya dengan atribut kesolehan. Untuk menarik perhatian orang NU, politisi tinggal mengenakan atribut Nahdhiyin. Tak usah lebih, nampaklah ia sebagai representasi pura-pura, yang nampak selayaknya.
Tak heran, jika para kandidat dalam Pilkada mengenakan perangkat kesholehan dan simbol ideologis kelompok tertentu. Meskipun beberapa judgment diatas tidak saya alamatkan kepada perorangan. Tulisan ini juga tidak dalam rangka menghakimi karena bukan kapasitas saya melampaui hati seseorang yang tidak mungkin terjangkau oleh mata. Karena niat seseorang hanya bisa diukur oleh hati mereka sendiri. Tulisan ini hanya ingin meluruskan motivasi penggunaan atribut yang terdekorasi dalam serangkaian strategi politik.
Segalanya bermula dari motivasi, demikian Hadits mengatakan. Mungkin pembaca pernah mendengar iklan selamat menunaikan sholat selepas kumandang azan di stasiun radio tertentu? Nah semacam ini bisa tidak tergolong dekorasi politik jika si Penyeru juga disaat yang sama bergegas mengambil air wudhu dan lalu sholat. Tapi jika si Penyeru bahkan tak rajin sholat, maka ia sedang menempatkan sholat sebagai media dekorasi. Seruannya tidaklah menyentuh subtansi.
Agama sepatutnya adalah behaviour, attitude dan spirit. Secara kognisi Mewarnai iklim politik, secara psikomotorik memiliki effek miror yang memantulkan tindakan politik yang sarat nilai-nilai kebaikan dan meng-afeksi dalam motivasi dalam setiap kebijakan yang diputuskan. Bukan sekedar wig (rambut palsu), lipstik, dan bukan juga berhenti di tingkat citra. Seharusnya agama dipeluk dan menjadi referensi setiap tindakan politik, menjadi motivasi decision making dan menjadi cermin setiap kebijakan.
Pendekor Bangkrut
Saya ingin berkisah dari sebuah cerita yang saya improve dari sebuah hadits yang saya ingat pernah di bacakan seorang khotib saat khutbah 'Idul Fitri. Suatu masa kelak di yaumil mizan. Seorang yang ternyata adalah mantan pejabat politik diarak oleh para malaikat untuk menuju Syurga. Nampak aura kegembiraan terpancar. Betapa tidak, saat itu adalah pengadilan terakhir, sebuah keputusan yang berimplikasi kepada kekekalan kehidupan. Jika ia telah divonis sengsara maka di nerakalah ia bertempat, dengan vonis kekal didalamnya (kholidina fieha).
Rupanya pejabat ini begitu beruntung. Ibadahnya menghantarkan ia pada keputusan syurgawi. Suka cita itu rupanya tak berlangsung lama, setelah tiba-tiba seorang laki-laki tergopoh-gopoh berlari lalu menghadang rombongan." Hendak dibawa kemana mantan Pejabat Politik ini?" Demikian tanyanya didepan rombongan. "Kami hendak mengantarnya ke Syurga, lelaki ini sholeh semasa hidupnya". "Jangan dulu, aku ingin complain, dulu semasa memimpin, dia pernah mengurangi takaran aspal pembangunan jalan, sehingga belum seminggu jalan itu dibangun kembali berlubang. Akibatnya saya terjatuh dan meninggal saat bersepeda motor melewati lubang itu. Anak-anak saya menjadi yatim dan hidup berkesusahan". Malaikat mengurangi pahala sedekah pejabat ini, untuk diberikan kepada lelaki yang mengajukan komplain tersebut. Ternyata pejabat itu sedekah dari uang korupsi aspal pembangunan dan perawatan jalan.
Demikian berturut-turut dihadang sekian banyak warganya; ada yang komplain persoalan Dana Alokasi Umum (DAU) dan proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) yang di sunat, proyek pemerintah pusat yang di kooptasi, jabatan yang monopolistik dan berbau nepotisme sampai persoalan intimidasi dan kecurangan saat kampanye serta proyek-proyek pemerintah yang di dominasi keluarganya sehingga menghancurkan rasa keadilan. Pahala puasanya diambil, pahala zakatnya dipangkas, pahala hajinya di potong sehingga habis amal sholehnya didunia. Setelah bangkrut dan merugi karena amalnya ibadahnya direnggut, tetap masih ada yang mengajukan komplain. Maka dosa orang yang mengajukan komplain ditimpakan kepada pejabat itu. Sehingga Rosulullah mengumpamakan dalam hadits orang, semacam ini dengan istilah Muflish = bangkrut.
Kebaikan yang ditanam, budi yang ditebar dan pengabdian seremonial yang dipersembahkan hilang begitu saja. Ini akibat hidupnya berdiri diatas ibadah yang dekoratif, jauh dari nilai-nilai subtansial dari ibadah yang ia lakukan dalam kehidupannya. Kesalihan, ketaatan ubudiah layaknya dekorasi yang menipu. Maka dialah pendekor yang bangkrut. Sebab yaumul mizan adalah pengadilan yang tidak bisa disuap dan tak bisa menghadirkan pembela dan saksi palsu. Tangan, kaki dan tubuh kita berbicara dan menjadi saksi sejujurnya.
Senin, Maret 29, 2010
KRITIK OBAT BUKAN RACUN
Menjadi penonton jauh lebih mudah dari pada menjadi pemain. Apologi ini yang sering digunakan para pemain sepak bola bila permainan mereka dinilai buruk. Tentu saja guna menyangkal berbagai kritik akibat kekalahan dari para supporter. Faktanya memang demikian. Tendangan yang melenceng, umpan yang salah terasa begitu bodoh di mata penonton. Padahal para pemain telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya. Menjatuhkan kritik terasa begitu enteng berbeda dengan jika kita menjadi pemainnya.
Akan tetapi kritik sepedas apapun sebenarnya adalah obat bagi kita. Meskipun jika tak pandai menyikapi akan terasa bagai racun yang mematikan. Mematikan kreatifitas dan tak jarang ia dapat menjelma menjadi api yang menyulut permusuhan. Apalagi ditengah bangsa yang masih memandang kritik sebagai sebuah ancaman. Padahal tanpa kritik, akan tumbuh benih kesombongan dan keangkuhan. Bukankah tak ada manusia yang sempurna?
Namun, meskipun kritik memiliki kemashlahatan yang dapat mengkoreksi kekeliruan dan juga kesalahan, kritik juga memiliki seni, yakni sebuah keterampilan dalam menyampaikannya. Bagaimana kritik dapat diterima dengan bijaksana tanpa menggores luka karena harga diri yang dijatuhkan atau merasa terhina. Karena kritik adalah seni, maka dibutuhkan kepiawaian dan improvisasi yang baik.
Jangan sampai dengan kritik, seseorang kehilangan keberanian untuk mencoba menjadi lebih baik. Karena pedasnya kritik juga acap kali menimbulkan kemarahan sehingga kritik senantiasa dihadapi dengan tindakan represif. Lalu bagaimana kritik yang baik sesungguhnya?
Tulisan ini tidak dimasudkan untuk menjabarkan kiat atau tips penyampaian kritik yang elegan. Tidak lain tulisan ini hanya ingin mengajak kita semua untuk mengubah kritik dari seolah-olah seperti makhluk yang menakutkan, menjadi energi luar biasa yang dapat memberikan perbaikan secara objektif. Caranya terhormat, penyikapannya bijaksana dan perbaikannya ikhlas dilakukan.
Hikayat Lukisan Raja
Masih ingat pada hikayat di sebuah kerajaan antah berantah? Dimana seorang raja memerintah dengan tegas. Suatu hari Raja ingin mengetahui penampilannya melalui para pelukis. Raja ingin dilukis. Demikian sayembara yang diumumkan. " Siapa yang dapat memuaskan raja dengan lukisannya akan mendapatkan hadiah". Zaman kerajaan tentunya belum ada camera digital. Hehehe
Berduyun-duyun pelukis diseantero berdatangan. Dari sekian banyak dipilihlah tiga pelukis paling handal. Dengan sedikit nervous pelukis pertama mengayunkan kuas di kain kanvas. Begitu mahir kelihatannya. Dalam gambar yang dibuatnya raja terlihat lebih gagah dari penampilan aslinya. Sorot matanya tajam, padahal bentuk aslinya (maaf) beliau memiliki kekurangan, salah satu dari sepasang matanya -buta- terpejam sebelah. Demikian pula sang raja terlihat gagah, berdiri tegak (sekali lagi maaf) padahal kaki beliau -pincang- kecil sebelah.
Rampung sudah lukisannya. Apa yang terjadi setelah raja menerima lukisan itu? Raja murka karena ia merasa terhina dengan gambar yang mengada-ada. Rekayasa berlebihan yang dibuat pelukis oportunis itu membuat raja tersinggung. Boleh jadi sebenarnya pelukis ingin membuat hati raja senang dengan ketidakobjektifannya. Apa hendak dikata raja pun marah besar dan mengusirnya.
Melihat kenyataan tersebut pelukis kedua mengambil pelajaran. Lalu ketika ia mendapat gilaran, ia melukis raja apa adanya. Bentuk dan kekurangan fisiknya ia sajikan secara vulgar. Hasilnya tentu saja sosok raja dalam lukisan yang ringkih dan tidak berwibawa. Ia berharap raja menyenangi lukisannya yang apa adanya. Setelah selesai lukisan diserahkan kepada raja. Kemudian setelah melihat lukisan tersebut muka raja memerah. Tanpa berkata-kata ia menghunus pedang dan menebas leher pelukis kedua hingga putus. Ternyata raja pun murka melihat gambarnya yang jelek tersebut.
Giliran pelukis ketiga. Dengan tenang ia menggores kanvasnya. Ia melukis raja seolah sedang ditengah belantara. Raja tengah berburu rusa. Pose yang ia buat raja sedang membidik rusa jantan dengan sebelah matanya terpejam diantara lubang senapan, kaki yang pendek sebelah diangkat dan tertekuk diatas bongkahan batu. Sementara diujung senapan seekor rusa jantan terkapar tertembak raja. Mata terpejam sebelah tapi seolah-olah sedang membidik rusa dan kaki memang nampak kecil sebelah, tapi sedang dengan gagahnya mengambil posisi menembak. Raja senang dan ia mendapat pujian serta hadiah.
Terkadang pujian yang mengada-ada terasa tidak nyaman ditelinga. Keluar dari mulut penjilat yang berharap simpati dan respon pragmatis, namun sesekali orang seperti ini bisa menusuk kita dari belakang. Disisi lain kita juga jengah dengan kritikan yang vulgar, terasa menjatuhkan harga diri. Apalagi jika penyampaiannya dilakukan dimuka umum.
Kita lebih suka kritik yang disampaikan dengan bahasa yang lembut. Cara yang elegan namun tidak melebihkan dan mengurangi. Hal seperti ini setidaknya tercermin dari bagaimana senangnya raja pada pelukis ketiga yang begitu elegan mencitrakan raja dengan keadaan yang jujur namun kreatif.
Seni Mengkritik
Demikian seni menyampaikan kritik, terlampau membutuhkan kepiawaian mengemas cara. Meskipun cukup sulit namun kita harus membiasakannya. Bukankah kritik bukan dimaksudkan untuk mempermalukan? karena jika demikian bukanlah kritik tapi penghinaan. Sementara apa yang diperoleh dari suatu penghinaan selain kemarahan dan kebencian? Kritik dibutuhkan untuk koreksi atau perbaikan. Oleh karenanya harus dilakukan secara objektif dan elegan untuk mencapai tujuan sebenarnya. Namun bagaimanapun kritik harus selalu ada, dan anti kritik adalah kedzaliman.
Mari menebar perbaikan bukan kebencian dan permusuhan. Kebencian dan permusuhan hanya akan melanggengkan dendam kusumat yang terbukti menjadikan kehancuran peradaban manusia. Hidup dalam iklim kemarahan hanya menyesakkan dada. Terbiasa melakukan perbaikan dengan cara melukai hati, meninggalkan kerusakan ditempat yang berbeda, yakni kehangatan dan persaudaraan. Apa yang paling mahal namun menentramkan? Tidak lain adalah persaudaraan.
Akan tetapi kritik sepedas apapun sebenarnya adalah obat bagi kita. Meskipun jika tak pandai menyikapi akan terasa bagai racun yang mematikan. Mematikan kreatifitas dan tak jarang ia dapat menjelma menjadi api yang menyulut permusuhan. Apalagi ditengah bangsa yang masih memandang kritik sebagai sebuah ancaman. Padahal tanpa kritik, akan tumbuh benih kesombongan dan keangkuhan. Bukankah tak ada manusia yang sempurna?
Namun, meskipun kritik memiliki kemashlahatan yang dapat mengkoreksi kekeliruan dan juga kesalahan, kritik juga memiliki seni, yakni sebuah keterampilan dalam menyampaikannya. Bagaimana kritik dapat diterima dengan bijaksana tanpa menggores luka karena harga diri yang dijatuhkan atau merasa terhina. Karena kritik adalah seni, maka dibutuhkan kepiawaian dan improvisasi yang baik.
Jangan sampai dengan kritik, seseorang kehilangan keberanian untuk mencoba menjadi lebih baik. Karena pedasnya kritik juga acap kali menimbulkan kemarahan sehingga kritik senantiasa dihadapi dengan tindakan represif. Lalu bagaimana kritik yang baik sesungguhnya?
Tulisan ini tidak dimasudkan untuk menjabarkan kiat atau tips penyampaian kritik yang elegan. Tidak lain tulisan ini hanya ingin mengajak kita semua untuk mengubah kritik dari seolah-olah seperti makhluk yang menakutkan, menjadi energi luar biasa yang dapat memberikan perbaikan secara objektif. Caranya terhormat, penyikapannya bijaksana dan perbaikannya ikhlas dilakukan.
Hikayat Lukisan Raja
Masih ingat pada hikayat di sebuah kerajaan antah berantah? Dimana seorang raja memerintah dengan tegas. Suatu hari Raja ingin mengetahui penampilannya melalui para pelukis. Raja ingin dilukis. Demikian sayembara yang diumumkan. " Siapa yang dapat memuaskan raja dengan lukisannya akan mendapatkan hadiah". Zaman kerajaan tentunya belum ada camera digital. Hehehe
Berduyun-duyun pelukis diseantero berdatangan. Dari sekian banyak dipilihlah tiga pelukis paling handal. Dengan sedikit nervous pelukis pertama mengayunkan kuas di kain kanvas. Begitu mahir kelihatannya. Dalam gambar yang dibuatnya raja terlihat lebih gagah dari penampilan aslinya. Sorot matanya tajam, padahal bentuk aslinya (maaf) beliau memiliki kekurangan, salah satu dari sepasang matanya -buta- terpejam sebelah. Demikian pula sang raja terlihat gagah, berdiri tegak (sekali lagi maaf) padahal kaki beliau -pincang- kecil sebelah.
Rampung sudah lukisannya. Apa yang terjadi setelah raja menerima lukisan itu? Raja murka karena ia merasa terhina dengan gambar yang mengada-ada. Rekayasa berlebihan yang dibuat pelukis oportunis itu membuat raja tersinggung. Boleh jadi sebenarnya pelukis ingin membuat hati raja senang dengan ketidakobjektifannya. Apa hendak dikata raja pun marah besar dan mengusirnya.
Melihat kenyataan tersebut pelukis kedua mengambil pelajaran. Lalu ketika ia mendapat gilaran, ia melukis raja apa adanya. Bentuk dan kekurangan fisiknya ia sajikan secara vulgar. Hasilnya tentu saja sosok raja dalam lukisan yang ringkih dan tidak berwibawa. Ia berharap raja menyenangi lukisannya yang apa adanya. Setelah selesai lukisan diserahkan kepada raja. Kemudian setelah melihat lukisan tersebut muka raja memerah. Tanpa berkata-kata ia menghunus pedang dan menebas leher pelukis kedua hingga putus. Ternyata raja pun murka melihat gambarnya yang jelek tersebut.
Giliran pelukis ketiga. Dengan tenang ia menggores kanvasnya. Ia melukis raja seolah sedang ditengah belantara. Raja tengah berburu rusa. Pose yang ia buat raja sedang membidik rusa jantan dengan sebelah matanya terpejam diantara lubang senapan, kaki yang pendek sebelah diangkat dan tertekuk diatas bongkahan batu. Sementara diujung senapan seekor rusa jantan terkapar tertembak raja. Mata terpejam sebelah tapi seolah-olah sedang membidik rusa dan kaki memang nampak kecil sebelah, tapi sedang dengan gagahnya mengambil posisi menembak. Raja senang dan ia mendapat pujian serta hadiah.
Terkadang pujian yang mengada-ada terasa tidak nyaman ditelinga. Keluar dari mulut penjilat yang berharap simpati dan respon pragmatis, namun sesekali orang seperti ini bisa menusuk kita dari belakang. Disisi lain kita juga jengah dengan kritikan yang vulgar, terasa menjatuhkan harga diri. Apalagi jika penyampaiannya dilakukan dimuka umum.
Kita lebih suka kritik yang disampaikan dengan bahasa yang lembut. Cara yang elegan namun tidak melebihkan dan mengurangi. Hal seperti ini setidaknya tercermin dari bagaimana senangnya raja pada pelukis ketiga yang begitu elegan mencitrakan raja dengan keadaan yang jujur namun kreatif.
Seni Mengkritik
Demikian seni menyampaikan kritik, terlampau membutuhkan kepiawaian mengemas cara. Meskipun cukup sulit namun kita harus membiasakannya. Bukankah kritik bukan dimaksudkan untuk mempermalukan? karena jika demikian bukanlah kritik tapi penghinaan. Sementara apa yang diperoleh dari suatu penghinaan selain kemarahan dan kebencian? Kritik dibutuhkan untuk koreksi atau perbaikan. Oleh karenanya harus dilakukan secara objektif dan elegan untuk mencapai tujuan sebenarnya. Namun bagaimanapun kritik harus selalu ada, dan anti kritik adalah kedzaliman.
Mari menebar perbaikan bukan kebencian dan permusuhan. Kebencian dan permusuhan hanya akan melanggengkan dendam kusumat yang terbukti menjadikan kehancuran peradaban manusia. Hidup dalam iklim kemarahan hanya menyesakkan dada. Terbiasa melakukan perbaikan dengan cara melukai hati, meninggalkan kerusakan ditempat yang berbeda, yakni kehangatan dan persaudaraan. Apa yang paling mahal namun menentramkan? Tidak lain adalah persaudaraan.
Selasa, Januari 12, 2010
RUANG KOSONG
Kalau Pasha ungu mengajukan pertanyaan "pernah kah kau merasa dirimu hampa? atau pernahkah kau merasa hatimu kosong? pertanyaan ini bukan untuk kita jawab, tapi pertanyaan itu lebih kepada curahan hati Pasha tentang bagaimana kekosongan hati dan kehampaan jiwa. Lalu kita mengimajinasi dengan perasaan hampa dan kosong yang pernah kita rasakan. Lalu bayangkan!
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengajukan pertanyaan semacam itu. Tapi lebih kepada ungkapan perasaan hati tentang kondisi ruangan yang kosong. Saat satu artikel saya rampungkan siang tadi, saya beranjak ke ruang tamu, dan mendapati ruangan depan kantor kosong, lengang dan sepi. Terfikir untuk mengabadikan ruangan yang biasanya ramai untuk bergosip ria. Disanalah kabar terbaru tentang kasus century biasa kami obrolkan. Tidak terpengaruh, baik ditemani segelas kopi atau tidak, obrolan semacam itu biasanya tetap hangat. Kadang memanas karena dibumbui tentang kabar terkini celebrity.
Mengapa saat melihat ruangan kosong itu imaginasiku justeru malah ke makanan. Gerem asem? ya menu makanan itu yang tiba-tiba terlintas di otak kiriku. Eiiit tunggu dulu, tentunya tidak sembarangan gerem asem, tapi gerem asem masakan mang Fudel. Hehehe jadi teringat dua minggu lalu saat rasa ini benar-benar tergerak untuk menyantap gerem asem. Karena tidak sabarnya, saya menginspeksi beberapa rumah makan di Serang yang menjual gerem asem. oh ya..gerem asem itu menu masakan dari daging bebek yang dibumbui cabe, asem jawa, bawang dan lain-lain. Cara masaknya sederhana, hanya di beri kuah. tapi rasanya wuhaaaaaaah bisa dibayangkan.
Kembali ke soal hunting ke restoran bebek. Siang itu praktis tiga restoran di jam makan siang. Tapi satupun tak ada yang cocok. makan siang di tiga restoran ternyata membuat hati kosong dan hampa...karena gerem asemnya tak sesuai selera. Untuk kepentingan politik, restoran mana saja tidak perlu disebutkan. Soal nama mang Fudel mohon izin di gunakan. Jika ada kesamaan cerita dan nama harap di maafkan, anggap saja cerita ini hanya fiktif belaka. hehehehehehe.
Akhirnya Menu Gerem Asem di malam harinya baru di dapatkan, tepat malam harinya tujuh porsi gerem asem diantar mang Fudel. Nah yang ini baru selera. upsss apa hubungannya judul Ruang kosong dengan Gerem asem mang Fudel? Tentu saja secara sekilas tidak ada hubungannya. Tapi secara subtansial berhubungan...tapi dimananya? hehehhee Rahasia
Minggu, Januari 10, 2010
BERTERIAK MEMBUNUH KARAKTER
Berteriak = Membunuh Karakter ! Mau Bukti ?Kali ini, saya ingin bercerita tentang salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Nah, penduduk primitif yang tinggal di sana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon. Untuk apa? Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.
Inilah yang mereka lakukan, dengan tujuannya supaya pohon itu mati.Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari.
Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan.Kalau diperhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh.
Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya. Akibatnya, dalam waktu singkat, makhluk hidup itu akan mati.Nah, sekarang, Yang jelas dan perlu diingat bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya.
Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda? orang dikeliling anda atau siapapun?Ayo cepat ! cepetaaaaaan !Dasar lelet ! Kayak keong aja lu !Bego banget sih ! Begitu aja nggak bisa dikerjakan ?Jangan main-main disini !Berisiiiiiiiiiik ! diem, diem,diem ! aaaaah! Atau, mungkin Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati? suami/istri seperti kamu nggak tahu diri ! ngaca dong ngaca !Bodoh banget jadi laki/bini nggak bisa apa-apa ! bisanya Cuma minta,minta dan minta !Aduuuuh, perempuan / laki kampungan banget siiiih !? gak makan sekolahan apa ?!
Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya :Goblok, soal mudah begitu aja nggak bisa ngerkain! Kapan kamu jadi pinter ?!Atau seorang atasan berteriak pada bawahannya saat merasa kesal :?Eh tahu nggak ?! Karyawan kayak kamu tuh kalo pergi aku nggak bakal nyesel! Ada banyak yang bisa gantiin kamu !Sial ! Kerja gini nggak becus ? Ngapain gue gaji elu ?Ingatlah! Setiap kali Anda berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai.
Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi-emosi kita perlahan -lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan KitaDalam kehidupan sehari-hari. Teriakan, hanya di berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, benar?Nah, mengapa orang yang marah dan emosional mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka dekat bahkan hanya bisa dihitung dalam centimeter? Pada realitanya, meskipun secara fisik dekat tapi sebenarnya hati begitu jauh.
Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak! Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh orang yang dimarahi karena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.Jadi mulai sekarang Jika Kita tetap ingin roh pada orang yang Kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Dengan berteriak kepada orang lain ada dua kemungkinan balasan yang Kita akan terima. Kita akan dijauhi atau Kita akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya
Inilah yang mereka lakukan, dengan tujuannya supaya pohon itu mati.Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari.
Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan.Kalau diperhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh.
Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya. Akibatnya, dalam waktu singkat, makhluk hidup itu akan mati.Nah, sekarang, Yang jelas dan perlu diingat bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya.
Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda? orang dikeliling anda atau siapapun?Ayo cepat ! cepetaaaaaan !Dasar lelet ! Kayak keong aja lu !Bego banget sih ! Begitu aja nggak bisa dikerjakan ?Jangan main-main disini !Berisiiiiiiiiiik ! diem, diem,diem ! aaaaah! Atau, mungkin Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati? suami/istri seperti kamu nggak tahu diri ! ngaca dong ngaca !Bodoh banget jadi laki/bini nggak bisa apa-apa ! bisanya Cuma minta,minta dan minta !Aduuuuh, perempuan / laki kampungan banget siiiih !? gak makan sekolahan apa ?!
Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya :Goblok, soal mudah begitu aja nggak bisa ngerkain! Kapan kamu jadi pinter ?!Atau seorang atasan berteriak pada bawahannya saat merasa kesal :?Eh tahu nggak ?! Karyawan kayak kamu tuh kalo pergi aku nggak bakal nyesel! Ada banyak yang bisa gantiin kamu !Sial ! Kerja gini nggak becus ? Ngapain gue gaji elu ?Ingatlah! Setiap kali Anda berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai.
Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi-emosi kita perlahan -lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan KitaDalam kehidupan sehari-hari. Teriakan, hanya di berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, benar?Nah, mengapa orang yang marah dan emosional mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka dekat bahkan hanya bisa dihitung dalam centimeter? Pada realitanya, meskipun secara fisik dekat tapi sebenarnya hati begitu jauh.
Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak! Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh orang yang dimarahi karena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.Jadi mulai sekarang Jika Kita tetap ingin roh pada orang yang Kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Dengan berteriak kepada orang lain ada dua kemungkinan balasan yang Kita akan terima. Kita akan dijauhi atau Kita akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya
Langganan:
Postingan (Atom)