Fitron Nur Ikhsan
Masyarakat Pena Saija
Sabtu 5 Juni 2010 petang saya menemukan pribadi yang mengajarkan arti sebuah pengabdian. Pribadi yang belum lama saya kenal secara dekat, pribadi yang dulu sering saya dengar namanya namun belakangan baru saya kenal wajahnya. Mukhtar Mandala, malam itu ia menerbitkan satu buku yang menggugah banyak jiwa. Buku istimewa, sebab buku tersebut merupakan kado yang ia persembahkan untuk kampung dimana ia dibesarkan. Kampung kecil yang ia beri nama Nyi Mas Ropoh (NMR). Mukhtar Mandala (MM) malam itu menggugah anak muda untuk memulai atau melanjutkan satu kata yang begitu inspiratif, “Pengabdian”. Saya gelisah sepanjang malam, diusia 65 tahun begitu banyak kearifan dapat saya timba dari MM, Tidak terasa esok harinya Minggu, 6 Juni 2010 saya menginjak 30 tahun, usia yang seharusnya menginjak kemapanan, usia yang seharusnya menancapkan kekokohan. Usia yang seharusnya telah mulai menghitung sedikit sisa umur untuk berbuat hal besar. Dan 30 tahunku adalah 30 tahun penuh ketakutan, 30 tahun penuh harapan, 30 tahun dimana orang-orang tercinta risau, menunggu, khawatir dan prihatin. Saya tidak terlahir sebagai orang Banten, tapi hidup dan dibesarkan di Banten. Dimana kegelisahan dan kemarahan sering terlampiaskan disini. Malam hari itu membuat saya semakin semangat bahwa setidaknya saya bisa seperti MM mengabdi tiada henti
Nyi Mas Ropoh kampungku. Begitulah ia memberi judul buku itu. Bagi banyak orang kampung halaman adalah tempat yang setidaknya memendam legenda. Karena memang disanalah kita di lahirkan, bermain, bercengkerama dengan teman sebaya. Namun tak semua bisa terus bertahan karena harus menimba, mencari dan bahkan menggapai perubahan dengan memilih meninggalkannya. Kadang kita sangat beruntung, dengan meninggalkan tanah kelahiran kemudian memulai perubahan, menemukan yang kita cari dan menggapai apa yang kita inginkan. Namun banyak sekali diantara kita yang tak memilih kembali. Karena kehidupan ditempat yang baru memanjakan mimpi-mimpi. Atau bisa jadi dihati kita, kampung halaman menjadi asing, karena segalanya serba terbatas dan masghul kita memikirkannya karena terlalu asyik didunia kita yang serba baru.
Tapi tidak bagi Mukhtar Mandala. Malam itu empat puluh tahun lalu ia memulai melakukan perubahan, ia ingin kampung tempatnya lahir dan dibesarkan berubah. Ia memulainya dengan satu kunci “pemberdayaan”. Fikiran saya melesat jauh, semangat saya sejenak berapi-api, khayalan saya mendesak-desak ingin segera dapat melakukan hal yang sama. Lalu dalam lamunan saya berfikir; misalkan saja setiap sarjana kembali kekampung, atau setidaknya tak melupakan kampungnya, kemudian melakukan sedikit atau banyak dengan kemampuan yang dia miliki, mendorong perubahan kecil yang ia mulai dari kampungnya, upaya tersebut akan menjadi tindakan nyata merubah Indonesia. Tapi sayang tidak banyak yang bisa melakukan itu, termasuk penulis.
MM memulai dengan semangat kebersamaan, menyadari perubahan tak bisa ia selesaikan sendiri. Merubah kognisi masyarakat, mendorong mereka menciptakan energi perubahan ternyata mungkin dan dapat dilakukan. Masyarakat sesungguhnya memiliki potensi besar untuk memacu perubahan tanpa harus dipaksa, disuapi atau dimanjakan pemerintah. Seperti yang MM lakukan di mulai di tanah kelahirannya. Kita selalu dilanda kesalahpandangan bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab pada kemajuan, pemimpinlah yang harus menyeret-nyeret kita pada perubahan, dan kita lupa sesungguhnya kita adalah pemimpin dan kehadiran kita dituntut untuk melakukan hal yang paling berharga. Begitulah panggilan jiwa manusia pembelajar (humanity calling), manusia yang lebih dulu terpanggil; jika tidak saya, siapa yang akan memulai.
Jiwa pengabdian memang tak boleh menuntut penghargaan, sebab air tak pernah terlihat saat bangunan telah berdiri kokoh. Padahal tanpa air siapa yang mampu mengikat dan mengeratkan pasir, semen dan batu bata? Tanpa air mana mungkin bangunan itu ada? Tapi air menghilang tak lama setelah setumpuk, dua tumpuk batu-bata tertata. Air tak terlihat sama sekali saat bangunan telah kokoh dan dengan gagahnya ia berdiri. Bahkan kita tidak ingat, jika begitu penting peran air pada peristiwa besar itu. Kita justru asyik memuji genting, keramik dan kaca-kaca. Sungguh air mengajarkan keikhlasan.
Malam itu saat peluncuran buku memperingati 25 tahun NMR, juga bertepatan dengan ulang tahun ke 65 MM. Suasana haru memaksa air mata saya menitik, teringat almarhum Uwes Qarni (UQ) dan Ekky Syahrudin (ES), sosok pejuang itu hadir dalam semangat kecintaan saya pada Banten. Terlalu singkat saya menegenal beliau. Saat perjuangan pendirian Provinsi Banten UQ dan ES mengajarkan kita seperti menanam pohon. Menanam dan tidak harus kita yang menuai hasilnya. Jika tidak ada yang menanam kelapa, tak mungkin kita bisa merasakan buah segarnya. Begitu banyak sosok pejuang di Banten ini yang mengajarkan satu kata “pengabdian”.
Saya merindukan ada satu kesempatan bisa menyambung rasa, menularkan semangat juang yang mulai pudar di dunia anak muda saat ini. Entah apa pemicunya? mungkin kita kini sibuk memikirkan diri kita sendiri, mungkin kita asik membuat sekat dan mempertebal perbedaan, atau mungkin kini kita lelah jika harus terus menanam. Kita tergoda untuk memilih menjadi pemanen saja. Jika itu benar menjadi pilihan, tanpa kita sadari kita akan mewariskan kelemahan pada generasi mendatang. Kelemahan yang saya bayangkan adalah kelemahan daya juang. Padahal daya juang sampai kapanpun kita butuhkan.
Sambung rasa, dialog antar generasi, menimba kearifan yang jarang terjadi. Tapi saya beruntung menemukannya di NMR. Meskipun bukan sebagai inisiator, saya bersyukur memiliki kesempatan untuk ikut berdiskusi di sebuah Forum Cendikia Banten, FCB dibidani MM kelahirannya. MM mempertemukan kami dengan Surjadi Sudirja, petuah dan pengalamannya membuat semangat perjuangan kami berbinar. MM juga mempertemukan kami dengan Roni Niti Baskara, Farich Nahril, Mardini, Yoyo Mulyana, Dainul Hay dan kami menunggu untuk berjibaku menimba pengalaman dengan Triana Syam’un, Taufik Ruki, Irsyad Juaeli, H.M.A Tihami, Embay Mulya Syarif, dan tokoh Banten lainnya. Di NMR akhirnya kami juga mengenal pemuda Banten yang sudah gemilang, Ibnu Hammad, Ahmad Mukhlis Yusuf, Lily Romly, Gola Gong, Abdul Hamid, Abdul Malik, Firman Venayaksa, Hery Erlangga, Zaenal Muttaqin, Amir Hamzah dengan latar belakang beragam serta ideologi politik yang telah terkotak. Jika tokoh Banten menyatu menanggalkan kepentingan dan ego ideologi mengapa kita yang muda tidak bisa? Dan tidak harus mencaci kelemahan atau memperuncing perbedaan.
Saya tidak tahu apakah fakta sejarah ini tertulis atau tidak, namun NMR pernah merekonsiliasi dan menjembatani perbedaan pendapat saat detik-detik Banten dideklarasikan menjadi Provinsi. NMR juga menjadi tempat bersejarah karena peristiwa besar juga di gaungkan dari kampung kecil itu. Saya tidak mensakralkan tempat, saya hanya merindukan ada reuni semangat yang juga di wariskan kepada anak muda Banten, untuk kembali mengatakan kepada sejarah; Banten di bangun untuk sebuah tujuan luhur, mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan membangun peradaban yang lebih maju. Banten saat itu bukanlah Banten yang diperjuangkan untuk kemudian diserahkan secara cuma-cuma kepada keserakahan, di gelontorkan ibarat cek kosong tanpa tujuan. Ingat! Banten di bangun dengan keringat dan air mata.
NMR malam itu memang begitu sederhana. Namun MM membawa hadirin untuk kembali memaknai bahwa pengabdian dimulai dari diri sendiri, tak harus memulai dari hal yang besar tapi mengawalinya dari yang kecil, tidak harus terburu-buru namun tetap menjaga kepastian, keyakinan bahwa idealisme tak boleh tercerabut sedikitpun dari jiwa kita. Tidak banyak yang ingin saya zooming dari lesson learned peluncuran buku Nyi Mas Ropoh (NMR), satu kalimat yang saya telah tulis malam itu di buku harian; “pengabdian harus dimulai tanpa harus berfikir kapan mengakhirinya”. Selamat Ulang Tahun Mukhtar Mandala!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar