Senin, Mei 31, 2010

Kemana Ayah?

Astaga.. kesiangan rupanya, mata ini terasa begitu berat, padahal tadi malam aku tidur lebih awal. "oh iya, ayah dimana?", ayah punya janji denganku. Hari ini hendak mengajakku kerumah Ibude, kulemparkan saja sarung yang melilit di badanku, bergegas aku menuju keluar kamar, "ayah...ayah, ayah dimana?" tidak ada seorangpun yang menyahut, pasti ayah sudah berangkat, hati ini mulai kecewa, aku lari kedapur mencarinya dan benar saja, aku mendapati sepeda ayah sudah tak ada. pasti ayah sudah berangkat, tapi mengapa berangkat sepagi ini, dan mengapa membiarkan aku tertidur? mengapa ayah tidak membangunkan aku? padahal ayah sudah berjanji.

kubasuh mukaku dengan air wudlu dan bergegas ke mushola yang jaraknya selemparan batu. aku sudah kesiangan. sholat subuhku rasanya tak pake jeda lagi, yang penting genap dua rakaat. kusambar celana pendek merah seragam SD-ku dan kaos merah bergambar tugu monas favoritku dan aku bergegas keluar tanpa menghiraukan teriakan ibu yang baru datang dari rumah Ibulek, entah apa yang ibu minta dar bulek, sepertinya ibu menenteng kantung plastik berwarna hitam.

Aku berlari menyusuri jalan bebatuan yang baru saja dikeraskan mesin stum, rupanya sebentar lagi akan di siram aspal. Pak Sugimin sopir stum kemarin sudah datang kerumah Mbak Siru, berarti sebentar lagi akan dimulai proyek rehab jalan. Dulu juga begitu, masyarakat kampung kelihatan lega ketika drum-drum aspal sudah datang, lalu Pak Wagimin sudah memarkirkan stum berwarna kuning bertuliskan "Pekerjaan Umum". Tandanya lubang-lubang jalan sebentar lagi akan rata. tapi perhatianku tidak sepenuhnya tertuju kesana, bahkan aku tak menghiraukan beberapa kali kakiku tersandung bebatuan yang tercecer dari tumpukannya. aku berlari dengan kencang agar bisa menyusul ayah. aku heran mengapa ayah meninggalkan aku, padahal ayah sudah berjanji. ini hari minggu, kemarin waktu ayah mendampingiku mengambil raport, ayah bilang; "kalau kamu rengking kesatu lagi,hari minggu ayah ajak kerumah bude". bagiku diajak kerumah bude itu artinya aku bakal mendapat uang jajan, yang jarang aku peroleh dari ayah dan ibu. Atau aku bakal mewarisi baju bekas Mas Rudi yang sudah kekecilan atau sedikit robek, tidak mengapa yang penting aku punya baju baru, maksudku baju yang lain dari baju-baju yang ada. meskipun sobek toh ibu bisa menambal sendiri dirumah.

Ibude itu kakaknya ayah,bude memang lebih beruntung, punya suami seorang pengepul pisang yang sukses, pisang-pisang yang dibeli dibawa ke Pulau Jawa, biasanya ke Serang atau Tangerang. ayah pernah bercerita, Ia dulu pernah ikut mobil truck milik Pade ke Jawa, Jawa itu berbeda dengan Lampung, disana sudah ramai, ayah bercerita dengan bangga, kalau kesana naik kapal Fery besar sekali, kata ayah. Namun aku tidak bisa membayangkan bagaimana kapal Fery berenang mengarungi lautan, aku sendiri belum pernah melihat laut. aku baru melihat gambarnya di kertas kalender. Tentang ombak saja aku banyak mendengar dari Duki anak Ustad Marjuki yang sering diajak mengambil gaji di Departemen Agama Lampung selatan, dan katanya dia sering melihat ombak menyambar hampir kebadan jalan saat dia di bonceng sepeda motor ayahnya. Aku ingin menyeberang kepulau Jawa, pergi ke Jakarta dan berfoto didepan tugu monas, seperti gambar di kausku ini. Kaus ini dari Pak De, ia dapatkan di Pasar Senen. Katanya baju bekas anak pejabat.

Nafasku tersengal, tapi aku tidak menghiraukannya. beberapa kali aku salah orang, ketika aku lihat didepan temaram ada lelaki berkendara sepeda, kupikir ayah, ternyata setelah aku memacu lariku dan mendekat ternyata orang lain dan aku kecewa. kini langkahku agak terseok karena aku melewati jalan menanjak dan kadang turun begitu curam, di daerah gunung Naga, disini terkenal ada ular naga, aku sendiri belum pernah melihatnya, kata orang lidahnya menjulurkan api. imaginasiku membayangkan sosok naga seperti di komik yang di tulis Tatang S. biasanya di ceritakan tentang neraka. tapi aku tidak merasa takut sedikitpun, keinginanku bisa mengejar ayah itu saja.

Malang,saat aku tidak lagi bisa menyeimbangkan kedua kakiku, tiba-tiba kakiku membentur batu dan aku terjatuh. jempol kakiku pecah dan lututku memar membiru. aku menyeka darah dijempol kaki dan membersihkannya dengan air ludahku. setelah itu aku teruskan kembali memacu langkah. Saat melewati perkampungan sepertinya orang heran denganku, ada apa pagi-pagi buta berlari kehutan? tapi aku tidak menghiraukan.

Akhirnya sampai juga dibatas desa, Tambak Kerto, kira-kira dua tikungan lagi tepat disebelah SD, disitu rumah Bude. hati ku bahagia, serasa sudah sampai saja. tapi mengapa ayah tidak terkejar? berarti ayah memacu sepedanya begitu kencang, atau ayah memang pagi-pagi sekali berangkatnya? Aneh kenapa ayah tidak membangunkanku ya? Lebih terheran lagi saat tiba di rumah Bude dan Bude bilang ayah belum tiba. berarti ayah belum berangkat, kalau begitu kemana ayah dan sepedanya tadi pagi? jangan-jangan ayah ketempat lain? huuh mengapa aku begitu tergesa-gesa mengira ayah sudah berangkat? tapi kemana perginya ayah?

Menanam Pohon

Sebenarnya aku ingin menanam manusia. Tapi mana mungkin? Cuma Shakespeare, Pramoedya Ananta Toer, dan penulis-penulis ulung dunia yang bisa melakukannya. Mereka “menanam” manusia unggul maupun hibrida. Ada yang hebat dalam tindakan, pikiran maupun cita-citanya. Aku hanya menanam pohon. Karenanya, kemana aku bisa pergi, kalau bisa membawa atau mendapatkan bibit.


Betul. Aku ingin bersama angin, ombak, dan burung-burung itu menyebarkan berbagai macam pohon. Aku ingin berbakti untuk pohon-pohon kehidupan. Mereka telah menolong manusia menulis sejarahnya. Pohon memberi kami kertas, meja, kursi, dan inspirasi yang tiada habis-habisnya. Sudah pantas bila kita berterima kasih atas hidup ini dengan cara menanam pohon sebanyak-banyaknya, setulus-tulusnya.

Kabarnya pohon adalah juga mahluk yang jujur dan setia. Pohon mangga tidak akan berbuah manggis. Pohon kelapa tidak menipu anak keturunannya. Tiap buah akan diupayakan sama bulatnya, sama matangnya. Mereka tidak berselingkuh dan tidak korupsi. Pohon-pohon itu hidup dalam persaingan ketat. Di dalam tanah mereka berebut hara, di angkasa berebut sinar matahari. Tetapi mereka tidak saling mengkhianati. Mereka polos dan tulus berkembang seirama musim dan karakter pribadi. Tidak bersandiwara. Saling menerima dan saling memberi.

Akhirnya, semoga tiap orang bisa jadi pohon bagi dirinya sendiri. Tumbuh dengan tenteram, disiplin dan gembira di tempat masing-masing. Bekerja dengan rajin siang dan malam sesuai dengan bakat yang diberikan Tuhan. Bersyukur dan memberikan yang terbaik untuk penciptanya maupun untuk mahluk-mahluk lain. Pohon-pohon tercinta telah menghijaukan perasaanku di masa kecil. Kelak setelah meninggalkan dunia yang fana ini, kalau anda berhasil menjadi pohon yang baik dan besar, tentu dapat memberikan manfaat. Mungkin sebagai biola, patung, atau bingkai lukisan yang indah. Sebagai bangku anak sekolah. Atau sebagai dinding kapal besar yang dengan gagah perkasa berlayar di lautan. Menuju pelabuhan abadi.

Makna

Hidup ternyata bukan hanya menjalani, selangkah lebih maju hidup harus dimaknai. Pada warna merah, kuning dan hijau sesungguhnya bukan hanya sekedar warna, maknanya adalah keindahan. Pada matahari adalah kehangatan, pada air adalah kesejukan. sesuatu jika dipadu serasi akan menimbulkan keselarasan. Sedikit saja terdeviasi (menyimpang) hal yang sebaliknya terjadi. Perbedaan warna menimbulkan perkelahian, matahari menyebabkan kekeringan, air kerap memicu kebanjiran.

Hidup adalah upaya menyelaraskan. Memadukan hati saling mencintai, menyatukan jiwa saling peduli, menumbuhkan kasih sayang untuk saling menghormati. Hidup bukan urusan saling mengejar. Karena yang kita kejar kadang tak bisa kita dapatkan, yang kita tunggu belum tentu ia yang datang. Bahkan kita menemukan fakta sebaliknya. Ia mendekat meski lari tak kita percepat. Ia disamping kita meskipun semula di anggap tak mungkin tiba. seekor kupu-kupu sering begitu lincah menjauh saat kita buru. Namun dengan akrabnya pernah hinggap dipundak kita.

Hidup bukan perkara mendapatkan, jauh dari itu hidup adalah urusan saling berbagi. Seperti hukum kekekalan massa, mungkin tak terlalu akrab dengan hukum kekekalan kekuasaan. Kekuasaan tuhan tak terbatas, sehingga tak ada yang diterlantarkan Tuhan, saat ia masih hidup dan memaknai hidup. Bukankah Yang terjadi justeru manusia yang menelantarkan tuhan? membunuh tuhan dihatinya sendiri. Persoalan rezeki adalah persoalan distribusi. Energi ada karena ada gerak, maka rezeki ada saat ada dinamisasi usaha. Berusaha berarti bergerak, maka jika tak bergerak rezeki lebih cepat larinya dan kita tertinggal. Hari ini kumaknai hidup.......

Minggu, Mei 30, 2010

Konsentrasi....Berdoa

Konsentrasi…..berdoa, ayah selalu memesankan itu. Aku ingat peristiwa 14 tahun lalu, aku menelpon ayah dari Wartel, aku mengabarkan kalau sepeda motor yang aku pinjam teguling. Ketakutanku bukan pada luka di sebagian kaki dan sebagian lagi di kepala. Tapi kondisi sepeda motor yang aku taksir dulu menghabiskan ratusan ribu untuk memperbaikinya. Berbeda dengan ayah, ia begitu menghawatirkanku. Ayah bergegas mengunjungiku ke Banten, hari itu juga. Padahal aku yakin ayah pasti meminjam uang dari tetangga hanya untuk mengetahui bahwa aku baik-baik saja.


Konsentrasi…berdoa…kata-kata itu yang selalu ayah ingatkan kepadaku. Aku lupa, apakah saat kejadian itu menimpaku, aku sempat berdoa atau tidak? Kalau soal konsentrasi aku sama sekali tidak konsentrasi. Jasadku memang berada diatas sepeda motor, tapi fikiranku terbang merangkai kata-kata agar segera menyelesaikan satu tulisan. Majalah yang aku kelola saat itu masuk waktunya deadline.



Dua bulan lalu saat mobil yang aku kendarai menabrak seorang ibu guru yang mungkin juga tidak konsentrasi, aku juga lupa, apakah aku sempat berdoa saat pertama mengeluarkan mobil dari garasi atau tidak? Tangan dan kakiku mungkin berada di stir dan perangkat dibawahnya. Tapi fikiranku melayang entah kemana. Sama persis dengan pagi ini, tangan dan kakiku bengkok karena terperosok di ujung jalan,sepeda motor yang aku naiki tak terkendali. Lagi-lagi aku tidak ingat apakah aku sempat berdoa atau tidak tadi pagi. Soal konsentrasi aku memang sama sekali tidak konsentrasi. Ayah, aku selalu ingat padamu lebih dari biasanya jika aku lalai. Tuhan aku sudah sering kau hukum tapi aku selalu melakukan kesalahan berulang.

Selasa, Mei 04, 2010

Kursi Pengantin dari Ayah

(Firasat dari status facebook)


“Assalamu'alaikum”, setelah tidak ada jawaban aku nyelonong masuk saja. "Huh panas sekali", udara diluar sana terasa sangat menyengat, hawa panasnya sampai ke dalam rumah, hingga terasa seperti di oven saja. Setelah menyeka keringat aku menuju dapur dan mendapati ibu sedang menyiapkan makan siang untuk ayah. "Assalamu'alaikum, ibu, aku mengucap salam tak ada yang menyahut tadi di depan". Langsung saja ku gapai telapak tangan ibu dan menyalaminya. "Waalaikum salam, iya ibu habis membersihkan dapur dan menanak nasi". "Ayah dimana bu?" Tanyaku. "Itu di belakang, sedang asyik dengan kursi cantik untuk pernikahan mu bulan depan", Jawab ibu sambil menunjuk ke arah kandang di belakang.

Di belakang rumah kami memiliki sebuah kandang, tapi bukan untuk ternak unggas atau memelihara kambing dan sejenisnya. Namun di kandang itu kini ayah bekerja, ayah membuat pesanan meja, lemari kursi dll. Memang dulunya kami memiliki sapi, tapi sapi itu hilang dicuri suatu malam saat kami semua sedang ke rumah sakit mengantar ibu. Waktu itu ibu operasi cesar ketika melahirkan si bungsu. Kandang itu kini beralih fungsi menjadi panglong. Maklum sawah kami terjual untuk biaya kuliahku dan sekolah adik-adik. Ayahku belum terlalu tua, tapi kulihat rambutnya sudah mulai memutih dan kulitnya mulai mengkerut. Tapi bagi kami ayahku, ayah yang perkasa, jari tangannya yang kekarlah yang setiap hari menjemput rizki Allah. Sementara sorot matanya yang tajam itu menyimpan kelembutan yang membuatku kagum. Mungkin ibu dulu jatuh cinta karena sorot mata ayah.

Kuhampiri ayah, “Assalamu'alaikum”, ucapku sambil memijit pundak ayah, sementara ayah sedang menghaluskan kayu. “Wa'alaiku salam, sudah pulang kau nak?” Jawab ayah ingin tahu. “Sudah yah, dikantor tadi ada pengajian, jadi pulang lebih awal” jawabku. Memang Dikantor tempat bekerja kami setiap hari senin awal bulan diadakan pengajian. Oh iya saya bekerja disebuah perusahaan Public Relation (PR) sementara malam harinya aku mengajar mengaji karena ayah sejak dulu bermimpi memiliki anak yang menjadi guru. Jadi aku harus membuatnya bangga, meskipun bagiku ini adalah panggilan ummat.Aku anak kedua dan laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara.

Sementara ayah dengan tekun merampungkan kerjaannya, di depan ayah terpampang sebuah gambar kursi pelaminan yang ayah rancang sendiri. Kata ayah, kursi ini yang akan diduduki anak lelakinya nanti saat menikah. Sementara kursi pelaminan ini sudah 90 % hampir jadi. Tinggal dihaluskan dan esok hari di mengkilatkan kata ayah.

"Bagus gak nak"? Tanya ayah. "Bagus sekali yah, keren, ayah hebat". Jawabku. "Ayah ingin melihatmu duduk disini bersanding dengan calon isterimu nanti. Ayah akan beritahu kepada tamu yang hadir, bahwa ayah yang membuat sendiri kursi itu. Dan ayah ingin cucu ayah nanti juga menikah dan duduk diatas kursi ini". Ayah begitu antusias, berharap cita-citanya terwujud sambil terus menghaluskan kayu itu, sementara aku membantu ayah untuk merapikan kandang. Ayah memang pribadi yang unik. Kayu yang dibuat untuk kursi itu adalah kayu jati yang ayah tanam sendiri ketika ayah kecil dulu. Ketika aku remaja ayah selalu bercerita tentang itu dan selalu bilang, kalau kelak kayu itu akan di buat kursi dan akan di gunakan untuk anaknya jika menikah.

Seharusnya tiga tahun lalu, kursi idaman ayah itu Aisyah lah yang mendudukinya untuk pertama kali, tapi sayang mimpi ayah harus tertunda. Aisyah kakak ku anak sulung ayah, tertabrak mobil pengangkut batu bata saat berkendara sepeda motor. Saat itu kak Aisyah pulang dari Tatskif. Mungkin karena terburu-buru, sebab dirumah kedatangan seorang ustad yang akan melamarnya. Begitulah taqdir memang tidak bisa ditolak. Tak terasa air mataku menetes dan aku larut dalam kesedihan. Buru-buru aku seka air mata itu, takut ayah mengetahuinya.


Tiba-tiba ayah berdiri, dan menatapku tajam. "Nak, jaga dirimu baik-baik, ayah ingin melihatmu duduk dipelaminan ini" kata ayah. Kulihat mata ayah berkaca-kaca, butiran bening menetes bercampur keringat yang sejak tadi membasahi wajah dan badan ayah. "Iya yah, ayah jangan bersedih, kak Aisyah pasti bangga dengan ayah, sebentar lagi kursi impian ayah akan diduduki juga", istirahat dulu yah, esok aku bantu mengecat kebetulan esok aku libur” begitu aku menghibur ayah.

Suasana begitu ramai, Sabrina, Gadis yang aku persunting mengenakan gaun pengantin muslimah berwarna putih,sementara aku mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam. Di sebelah Sabrina kedua orang tuanya menyungging senyuman duduk mendampingi kami. Sementara ibuku mengenakan baju kebaya coklat serasi dengan kebaya ibu sabrina. Ayah terlihat bangga disebelahnya, mengenakan stelan jas yang beliau kenakan dulu saat menikahi ibu. Kutatap wajahnya sesekali, haru didada ini bercampur bahagia saat aku juga melirik melihat senyuman Sabrina. Istriku yang kelak akan melahirkan cucu ayahku. Tiba-tiba kudengar suara ayah memanggilku; "Nak sini kita angkat kursi ini kedalam" Astaghfirullah aku melamun rupanya.

Pagi-pagi sekali setelah sarapan, kulihat ayah langsung ke kandang belakang. Menyiapkan cairan untuk memengkilapkan kayu serta memintaku untuk mengeluarkan kursi ke kandang. Mungkin ayah ingin segera merampungkan kursi idamannya itu. Bangga aku memiliki ayah yang begitu gigih. Sambil memandangi kursi itu ayah menasihati aku. "Nak, ini kenang-kenangan dari ayah, aku ingin kelak kau mengingat ayah saat kau menikahkan anakmu, beri tahu mereka, kursi ini ayah yang membuat." Disini ada huruf A", sambil menunjuk ukiran yang ditengahnya ada huruf A. Aku tahu itu akronim dari nama ayah, Ahmad.

"Nak, ternyata kita kehabisan pernis (cairan untuk mengkilapkan kayu), pilih kamu yang memanjat untuk mengambil kelapa untuk ibu atau kamu yang ke pasar?" Tanya ayah. Oh iya ibu berencana memasak sayur daun singkong santan kesukaanku dan kesukaan ayah, maklum kami berdua hari ini akan merampungkan kerjaan ayah. Kalau aku yang kepasar kasihan ayah, harus memanjat pohon kelapa yang tinggi itu. Biar aku saja lah yang mengambil kelapa, meski aku sudah tak terbiasa. "Ayah saja yang ke pasar, aku yang ambil kelapa" Jawabku sambil memberi kunci sepeda motor dan beberapa lembar uang. "Tolong belikan ibu tempe dan tahu, sekalian dengan minyak goreng, ibu kehabisan" sahut ibu dari dapur.

Ayah bergegas menstarter sepeda motor sementara aku pergi ke kebun untuk mengambil kelapa. "Huuh tinggi sekali pohon ini" batinku. Memang pohon kelapa ini kakek yang menanam, jadi usianya lebih tua dari usiaku. Dengan gemetaran aku mendaki tataran (tangga di batang pohon) yang sudah bertahun-tahun dibuat untuk sampai keatas. "Huh nafasku hampir putus, pohon ini terlalu tinggi". Keluhku. Akhirnya aku sampai juga diatas. Tapi alangkah terkejutnya aku, diatas banyak sekali semut, sihingga konsentrasiku sedikit terganggu, karena harus menyeka semut-semut yang menggerayangi tangan dan kaki. Satu janjang kelapa telah aku ambil, kemudian aku buru-buru turun. Entah mengapa sejak aku naik tadi,perasaan terasa gundah. Kutapaki tataran yg membimbingku kebawah sambil berdoa."Ya Allah semoga aku selamat sampai kebawah" pintaku. Jantungku berdetak keras, dan “Allahu Akbar” kakiku terpeleset. Untung tanganku masih sigap memeluk batang pohon kelapa tua ini. Akhirnya sampai juga ke bawah.

Sesampainya di dapur aku memilih satu biji kelapa yang terlihat paling besar dan tua, selanjutnya aku mengupas,membelah dan mencongkel lalu mencucinya. Terlihat ibu sedang meremas daun singkong, terbayang kelezatannya saat nanti kami menyantap bersama ayah. "Bapakmu itu Nak, kalau punya keinginan harus sampai selesai, semalam saja menjelang tidur sudah berkhayal saat anaknya duduk disitu" terang ibu kepada ku. "Iya ya bu, ayah memang baik. Tapi kok lama sekali ayah belum datang ya" aku gundah menanti ayah. "Aku tunggu didepan ya bu! Pintaku pada ibu. "Iya, tolong sambil tungguin kalau ada tukang jamu, ibu belum bayar jamu kemarin" kata ibu.

Baru saja aku sampai didepan rumah, tiba-tiba berhenti Mang Jajang tetanggaku dan memparkirkan sepeda motornya sambil tergesa-gesa." Amar, ayahmu...ayahmu kecelakaan, sekarang dirumah sakit, cepat kesana, tadi di perempatan sana ada pengendara sedan berlari sangat kencang dan menabrak ayahmu! Ayo Mamang bonceng. Tidak karuan hati ini rasanya, aku langsung duduk di belakang sepeda motor Mang Jajang tanpa memberi tahu Ibu. Ingin ku persingkat jalan menuju rumah sakit, tapi tak mungkin, aku hanya bisa meminta Mang Jajang memacu gasnya. Sesampainya di rumah sakit, ayah sudah tak tertolong lagi, hanya suster yang menyampaikan pesan terakhir ayah kepadaku.."NAK BILANG PADA CUCU-CUCUKU, KURSI ITU AYAH YANG MEMBUAT"

Aku tertunduk lemas, melihat jasad ayah tersenyum, air mataku menetes tidak terbendung, Mang Jajang menepuk pundakku dan memintaku untuk bersabar. Aku genggam jemari ayah yang tak lagi kekar, aku kecup pipinya. "Inna Lillahi wa Inna ilaihi rojiun".

Suatu pagi, aku mengenakan stelan jas yang aku kenakan saat menikah dulu, aku melihat kursi pengantin yang tak pernah pudar warnanya dengan ukiran jepara, sementara ditengahnya terukir huruf A, Ahmad, aku tahu itu nama ayahku, terlintas semangat ayah dalam bayanganku, menggergaji, memaku, dan menghaluskan kayu. “Hari ini, Annisa cucu ayah, di persunting pria Sholeh, dan akan duduk di kursi yang kau buat dengan tanganmu. Kau melihat disana, dari syurga”.

Dedicated to my lovely Father and mother I really proud of you.

Getaran Hati

(Firasat dari sebuah Status Facebook)

Mengapa waktu tak mau menunggu, padahal aku tak berhenti dan terus mengejar. Mengapa awan tak mendekat sedangkan aku menapaki tangga di udara, hampir mencapai langit...satu langkah lagi, tapi kau hampir melesat pergi.

(Getaran hati belum terjawab)

(I)

Malam ini malam menakutkan! siang tadi banyak hal tak terduga terjadi, dan malam ini dalam satu waktu dua kewajiban di tempat berbeda harus diselesaikan, waw....esok hari saat baca status ini, semua pasti dilalui dengan baik, semoga!

(Getaran hati terjawab satu agenda sukses dan satu agenda gagal total)

(II)

Ingin langit bicara padaku! dan angin menyampaikan padanya...jaga pembicaraanmu. setiap dada memiliki hati! jangan sampai menyakiti!!!


(III)

Jodoh ga sama dengan memakai sandal jepit ke masjid, ga bakal diambil orang kalau bagus, dan ga bakal ketuker (Diriwayatkan Oleh Mang Jupron Merebot Masjid Cinanggung)

(IV)

Kelelahan itu teramat menyiksa, saat apa yang kita lakukan sering tak mendapat penghargaan. Jika aku burung gagak jantan aku memilih terbang tinggi setinggi-tingginya tanpa pernah risau untuk mencari tempat hinggap. Mengepak sayap kuat sekuat-kuatnya. Tanpa pernah ragu apakah ia akan patah. Tapi aku hanya seekor katak, bisa melompat sama sekali tak bisa terbang!!!

(V)

Selalu tak berharga meski hidup sudah terasa hancur lebur! seperti seekor gagak jantan luka tertembak. Ketika kembali ke sarang si betina bilang, kau selalu tidak ada ketika kami semua membutuhkan!!!

(VI)


Kisah Penjual Topeng; Dijual Topeng kejujuran, jika di kenakan siapapun bisa terlihat jujur meski ia pembohong besar. Topeng Kebenaran, jika di kenakan ia akan selalu terlihat benar meski ia sebenarnya bersalah, Topeng tertindas, jika dikenakan penindas akan terlihat seolah tertindas

Ooo seseorang datang memborong topengku, aneh! Mengapa topeng-topeng itu kini begitu laris. Tak tersisa satu bijipun, bahkan ia memesan puluhan topeng lagi. Aku senang, anakku bisa sekolah karena topeng topeng habis terjual. Isteriku berseri-seri karena dapurnya ngebul lagi. Tapi aku tak mengerti mengapa topengku habis terbeli!

Pembelinya konon membagikannya ke polisi, entah susno atau siapa yang mengenakan topeng kejujuran, aku tak tahu tak satu polisipun terlihat bohong! konon topeng juga di kenakan markus pajak tapi entah pegawai pajak, kejaksaan,atau Syahril johan yang jujur sebab semua kini terlihat jujur. Topeng konon dikenakan para cicak buaya, tapi saya tidak hafal entah anggodo entah KPK yang jujur

Pembeli konon mafia century, hingga kini uang hilang 6,7 triliun tapi dari robert Tantular, Budiono hing Sri Mulyani terlihat jujur, begitu susah siapa yg asli jujur dan siapa yang mengenakan topeng!

Waktu pemilu, topeng-topeng itu juga laris terjual, konon apa sebabnya, kini aku lebih yakin pada bisnis ini, menjual topeng. Aku sarjana, lelah melamar kerja, bosan ikut tes PNS tak pernah lulus, sejak itu aku berjualan topeng, dipasar, di kantor-kantor di sekolah, di kampus, di kejaksaan dan di Istana, alu tidak menyangka bisnis ini populer, aku bermaksud membuka cabang penjualan topeng!