Senin, November 03, 2014

LOGIKA PENCURI JAMBU

Fitron Nur Ikhsan Masyarakat Pena Saija Di kampung saya mbah (kakek; bahasa Jawa) Prawira adalah orang paling kaya. Sawahnya paling luas, hebatnya sawah miliknya juga terletak dikawasan strategis. Dekat dengan akses air irigasi. Jadi ketika musim kemarau datang, sementara sawah yang lain gagal panen, hanya sawah Mbah Prawira yang sukses. Mbah Prawira juga memiliki ternak ayam buras, aneh seakan punya pabrik pencetak uang, setiap hari ayamnya bertelur dan kami tetangganya bisa menghitung berapa uang yang Mbah Prawira peroleh setiap harinya. Dua truk pegangkut telur dalam satu hari. Mbah Prawira juga punya kebun buah-buahan, ada mangga, duku, nangka, rambutan dan yang paling pavorit kami lihat setiap hari adalah pohon buah jambu Bangkok. Selain tak kenal musim, karena buahnya ada setiap hari, jambu ini juga besar-besar menggiurkan. Pohon jambu ini ditanam mengelilingi kebun, jadi letaknya dipinggir, seperti menjadi pagar buah yang lain. Bagi anak-anak nakal seusia penulis waktu itu, mudah sekali untuk mencuri buah jambu itu. Cukup melempar dengan batang kayu, bisa tiga atau empat jambu jatuh berguguran. Cerita curi-mencuri inilah yang akan menjadi analogi tulisan ini. Jadi jangan khawatir, saya tidak akan mengajak anda mengkalkulasi berapa total kekayaan mbah Prawira. Buah jambu yang letaknya di pinggi itu jelas menjadi incaran anak-anak nakal di kampung kami. Biasanya aksi ini dilakukan saat berangkat atau pulang sekolah. Bermodalkan batang kayu yang dipotong sedemikian rupa, sambil berjalan lalu lempar, mereka bisa menggondol beberapa buah jambu segar ke sekolah. Jambu Bangkok itu sebesar kelapa yang sudah dikupas. Karena ulah anak-anak nakal ini, mbah Prawira rupanya gerah, Ia pun menunggui kebun miliknya, pada jam-jam tertentu. Anak-anak ternyata tidak kehilangan akal. Jika ditungguinya pagi hari, mereka mencurinya siang hari sepulang sekolah. Jika kedua jam itu ditunggui, mereka datang sore hari atau malam hari sepulang mengaji. Pengawasan yang mbah Prawira lakukan rupanya tak menyurutkan anak-anak untuk ikut menikmati buah yang beliau tanam. Tidak untuk dijual memang, tapi aksi ini dilakukan banyak anak, dan tiap hari. Bisa Anda bayangkan berapa kerugian mbah Prawira setiap harinya? Karena pengawasan langsung menyita waktunya dan dirasa tak efektif mbah Prawira tidak kehilangan akal, ia mencoba menyentuh hati dan keimanan anak-anak pencuri yang juga ternyata doyan ngaji itu. Ia memasang papan bertuliskan berbahasa Jawa "saknajan aku ora weruh, nanging Gusti Allah weruh" (walaupun aku tidak melihat tapi Allah Maha melihat). Mbah Prawira fikir, aksi ini dapat menghentikan kenakalan anak-anak kampung itu. Namun ternyata Ia harus kecewa karena tetap saja buah jambu miliknya setiap hari tak luput dari lemparan kayu yang merontokkan buahnya. Bahkan dibawah papan tulisan yang Ia buat, tertulis papan lain; "yo wis Ben, Senajan Allah weruh, sing penting simbah ra weruh" (ya Biarin, walaupun Allah melihat yang penting Kakek nggak melihat). Waduh aksi ini tambah membuat mbah Prawira pusing tujuh keliling. Logika asal kamu ga liat, adalah logika pencuri jambu dikampung kami. Tapi juga logika orang zaman modern zaman kini. Ada yang nekat tak pakai helm saat bersepeda motor, alasannya disini bukan jalur polisi jaga. Ada juga yang nekat menerabas lampu merah, pasalnya " tenang...polisi ga ada". Tapi di Singapura kita bisa berdisiplin, mengapa? Sebab Camera CCTV dan denda yang ditegakkan sangat disiplin membuat warga berhitung untuk melanggarnya. Intinya pengawasan dan hukuman terasa membayangi dan setelah terbukti melanggar hukum juga tak pakai kompromi. Bagaimana di negeri kita, berdisiplin pada peraturan tak mudah diterapkan? Logika pengawasan yang sebenarnya tak berjalan, dan logika mbah Prawira bahwa logika Tuhan melihat ternyata tak ditakuti para pencuri yang menggunakan logika pencuri jambu. Maka janganlah heran jika keyakinan terhadap agama tak mampu membendung atau sekedar membentengi hasrat korupsi. Karena selain tidak lagi takut pada pengawasan Tuhan, pencuri menganggap pengawasan manusia juga tidak efektif. Tak efektif karena selain lebih sering lengah ternyata jugs mudah diajak kongkalingkong. Berdamai, bisa diatur, atau bisa diajak bagi-bagi. Penting sekali merasa diawasi, melalui sebuah pengawasan yang tak lengah, seperti pengawasan Tuhan yang tak pernah tidur. Bagaimana hukum bisa melekat dihati manusia, serasa jika Ia melanggar pasti akan ketahuan dan lalu benar-benar akan mendapat hukuman. Pengawasan yang kuat dan hukuman yang tegas harus dapat tercipta. Para pencuri sudah tak lagi takut kepada Tuhan, sudah tak lagi takut melanggar sumpah. Berfikirnya sudah logika pencuri jambu, lalu bagaimana pengawasan Tuhan yang tidak tidur itu dapat menjadi inspirasi? Ciptakan pengawasan hukum yang adil, tegas dan tidak tidur. Sebab sedikit sekali mereka yang benar-benar dapat menghadirkan kebersamaannya dengan Tuhan setiap waktu, Kata Nietzsche filsuf eksistensialisme "Tuhan telah mati". Dalam ungkapannya yang sangat terkenal Nietzsche mengatakan; Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]? (Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125). Telah mati dihati manusia, tidak dapat mempengaruhi tindakan manusia, ia hidup dengan logika baru, logika pencuri jambu, masa bodo Tuhan lihat juga, yang penting kalian tidak melihat.