Senin, November 03, 2014

TEMBOK

Fitron Nur Ikhsan Masyarakat Pena Saija Struktur tegak yang dirancang untuk membatasi atau mencegah gerakan melintasi batas yang dibuat biasa kita sebut pagar. Bangunan serupa dalam sejarah peradaban manusia juga dikenal sebagai dinding atau tembok. Tembok, kemudian, dibangun bukan hanya untuk keamanan, tapi juga untuk mencipta rasa aman. Entah dari sejak kapan manusia memiliki ide membangunnya. Sekolahan dengan pagar tembok keliling serupa penjara dibangun untuk melindungi siswa dari interaksi luar. "Agar pihak luar tak mudah masuk, dan anak anak terkontrol". Suka tidak suka pagar tembok telah mencerabut anak didik dari realitas kehidupn sosialnya.Petani memagari sawah dan kebunnya agar tak ada unggas atau ternak yang melintas, merusak tanaman atau memakan sebagian.Orang kaya memagar tembok rumahnya melindungi aksi pencuri yang bisa jadi sewaktu-waktu datang mengintai. Akhirnya suka tidak suka ternyata Tembok melindungi pembuatnya bukan hanya dari gangguan pihak lain, tetapi dari kecemasan dan ketakutannya sendiri, yang sering dapat lebih mengerikan daripada ancaman pihak luar sebenarnya. Dengan demikian tembok dibangun bukan untuk mereka yang tinggal di luar, karena mungkin akan menjadi ancaman, tetapi bagi mereka yang tinggal di dalam. Dalam arti tertentu, maka, apa yang dibangun bukan tembok secara lahiriyah, tapi pikiran dan imaginasinya. Dapat dimengerti jika dalam perkembangannya setiap manusia akhirnya membuat batas teritorial akan kepemilikan. Ini batas tanahku, lalu secara komunal mencipta batas negara. Tak hanya itu dalam bentuknya yang abstrak manusia juga membuat tembok-tembok ideologis. Tanda - tanda perbedaan faham, keyakinan dan mazhab. Setiap perbedaan itu ditandai dengan sekat, berupa tembok yang tak diizinkan saling bersilang. Ini golonganku, ini partaiku, ini koalisiku, ini aliranku, dan ini identitasku. Sementara dari perbedaan itu muncullah simbol-simbol dan unifirmitas yang berbeda, semua lahir sebagai penanda batas. Ritual-ritual yang khusus tak boleh sama. Dan setiap perbedaan memiliki alasan suci yang tak bisa dinodai. Dalam dunia ketidakpastian dan kebingungan, tembok mewakili sebuah perlindungan batas yang bentuknya besar, tegas, meyakinkan. Dengan tembok datanglah kenyamanan mental, dan bahkan janji ketenangan. Kehadiran mereka semata-mata adalah jaminan akan adanya ketertiban dan disiplin. Sebuah tembok menandakan kemenangan geometris atas impuls anarkis. Benar, dengan didirikan tembok akan menciptakan perpecahan dan perbedaan, tetapi begitu juga menciptakan sebuah alasan. Tembok membuat benda terlihat jelas dan berbeda. Great Wall of China adalah salah satu dari sedikit indikasi bahwa bumi dihuni oleh makhluk rasional. Makhluk yang berupaya untuk melindungi, membatasi kepemilikannya dari orang lain. Tembok itulah batas kekuasaannya. Jangan heran jika pada akhirnya akan ada tembok dalam tembok, karena hakikatnya mereka ingin menjadi pemilik tunggal dari apa yang sebenarnya telah dibagi. Memang, tembok juga dapat menghalangi pandangan seseorang, tapi yang seharusnya tidak menjadi masalah besar seperti itu, terutama ketika seseorang ingin menyembunyikan apa yang dimilikinya. Di satu sisi, dengan membangun tembok manusia mencoba untuk menyembunyikan diri, hidup dalam ruang privasi dan, membuat batas. Di sisi lain, bagaimanapun, justru dengan membangun tembok ia telah mengekspos diri secara total; mempublikasi rasa ketakutan dan kecemasan akan kehilangan sesuatu yang berharga. Publik mengira bahwa ada sesuatu yang berharga yang tengah disembunyikan. Sebuah tembok menjadi simbol semua pengakuan kerentanan mendasar. Sekarang, jika kita mengubah perspektif dan melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda"mereka yang berada di luar" tembok selalu dianggap sebagai undangan. Lebih tepatnya sebuah godaan. Dulu tak ada apa-apa di sini, dan kemudian, suatu hari, tiba-tiba sebuah tembok muncul. Bagaimana Orang lain tidak memperhatikan hal itu? Pendirian tembok menandakan bahwa seseorang telah mendapat sesuatu yang berharga dan orang lain tidak boleh tahu tentang hal itu. Orang di luar tembok akan berfikir; dia tidak ingin berbagi dengan orang lain apa pun yang dia punya; Tembok dibangun untuk berbagai alasan dan mereka melayani tujuan yang berbeda, tetapi fungsi mereka selalu dasarnya sama: untuk membuat divisi, untuk mencegah orang-orang dan ide-ide dari luar bergerak bebas, dan dapat juga untuk melegitimasi perbedaan. Pada akhirnya, bahkan tidak peduli apakah tembok telah didirikan oleh orang-orang yang takut kehilangan sebagian dari apa yang mereka miliki. Setelah tembok berdiri, ia memperoleh kehidupan sendiri dan struktur masyarakatnya yang menurut aturan sendiri. Ini memberi mereka makna dan rasa baru. Semua orang bertembok memiliki tujuan: untuk menemukan diri mereka sendiri, dengan cara apapun yang diperlukan. Tanpa tembok, bisa jadi kehidupan akan mati karena membosankan. Itu sebabnya, jika tidak menemukan mereka di dunia nyata, manusia selalu menciptakannya secara imaginer. Pendirian tembok ibarat sekat permanen, yang mendeklarasikan perbedaan absolut. Dari sanalah lahir pertikaian dan permusuhan. Bahkan dalam teori identitas, manusia pada dasarnya menginginkan musuh, dan pada saat musuh utama itu kalah ia tetap akan mencari musuh pada dirinya sendiri. Dalam film Luis Buñuel "El Ángel Exterminador" sekelompok orang menemukan diri mereka secara misterius terjebak dalam sebuah ruangan usai berpesta. Seiring berjalannya waktu, mereka membayangkan situasi sulit itu secara berlebihan. Sehingga mereka merasa keadaan mereka sangat mengerikan. Sebagian mereka frustasi lalu bunuh diri. Entah bagaimana sebagian mereka yang bertahan akhirnya berhasil keluar. Dari hal ini kemudian mereka belajar bahwa dinding yang telah membuat mereka terjebak ternyata hanya sebuah ruangan biasa, menjadi sangat mengerikan karena pikiran mereka sendiri. Bisa jadi tembok secara lahiriah tak bermakna, namun pikiran yang mengkonstruksinya jauh lebih dahsyat dan bahkan mengerikan. Bagaimana sekat yang di bangun kaum khawarij, suni dan syiah dan sebaliknya. Suatu ketika berjalanlah seorang syiah di sebuah kebun. Terdengar suara ternak meronta. Suara itu datang dari seekor anak babi terjebit batang pohon yang roboh. Sepenuh hati Muslim Syiah ini menunda perjalanan dan menyelamatkan anak babi tersebut. Dalam fikirannya upaya itu merupakan amal salih menolong hamba Allah yang dalam kesulitan, meskipun hany seekor anak babi. Dalam perjalanan berikutnya ia bertemu dengan muslim Suni dan bertengkar mendebatkan persoalan agama hingga terjadi perselisihan hebat. Muslim syiah menganggap muslim suni tersebut telah jauh mengalamai kesesatan, demikian pula sebaliknya. Dalam kemarahan terjadilah perkelahian yang menewaskan muslim suni dengan kepala terpenggal. Batas tembok khilafiyah yang amat tragis. Seekor anak babi hampir mati besusah payah diselamatkan dengan alasan amal shalih, sementara nyawa manusia begitu murah lebih rendah dari seekor anak babi. Inilah pagar tembok pemisah imaginer yang jauh kebih kokoh tak tergoyahkan. Saling menutupi sehingga tak melihat kesamaan dan lebih nampak perbedaan yang menjulang. Lalu perlukah kita pertahankan tembok-tembok ekstrimisme dalam imaginasi kita? Kita pertebal perbedaan, kita cerabut akar kebersamaan. Tentu saja itu mengerikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar