Senin, November 03, 2014

LUKA

Fitron Nur Ikhsan Masyarakat Pena Saija Kita "kecil" belajar meraba, apapun kita pegang. Benda lunak atau benda keras bahkan benda tajam. Bisa tersenggol, tergores atau bahkan tersayat. Disanalah kita mengenal luka. Karena luka itu kita belajar menghindar, beralih atau belajar menikmati rasa sakit, mencerna dan memilih mana benda aman dan mana benda berbahaya. Kita balita belajar berjalan. Babak baru belajar keseimbangan. Mengangkat kepala yang lebih besar dari anggota tubuh yang lain. Berpijak di dua kaki ringkih memulai berdiri, mencoba mengayun untuk berpindah. Sebelum berdiri kita mencoba merangkak membentur lantai dan kadang terantuk. Disana kita belajar menikmati rasa sakit akibat benturan. Mengenal luka memar dan kadang benjolan. Luka itu menandai perjalanan kemampuan kita yang makin bertambah. Kita tidak lagi harus selalu ketergantungan. Bukan seseorang yang selalu digendong, dipandu atau dilarang. Tidak takut luka membuat kita tak enggan mencoba. Akhirnya dapat berdiri dan berjalan kaki. Kita mulai belajar bersepeda, keseimbangan mengolah rasa dengan benda di luar diri kita. Kembali kita bisa terpelanting, dan terjatuh. Disana luka kembali tercipta. Jatuh dapat mengoyak kulit tipis yang entah mengapa meski menimbulkan bekas tapi menutup kembali. Kembali luka menandai bertambahnya kemampuan diri. Tanpa luka, mustahil bisa berkendara. Beranjak remaja kita sedikit meninggalkan resiko luka fisik. Luka kali ini bertambah dengan luka psikis. Mulai mengenal kecewa, sakit hati bahkan putus asa. Kita sudah mampu menghindar dari bahaya luka fisik. Semua ditandai dengan kebiasaan kita mampu menghindari bahaya dan bentuk organ tubuh yang telah terlatih serta terlihat lebih kokoh. Babak luka baru dimulai. Kita telah memiliki keinginan. Pertarungan mendapatkan keinginan berpotensi menimbulkan luka hati. Kecewa namanya. Kecewa adalah respon hati seseorang pada saat menerima atau mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan keinginan dan atau harapannya. Setiap orang bisa kecewa dan pernah kecewa. Dari kecewa ini timbul berbagai kejadian yang menyertainya, biasanya sakit hati. Pada saat kecewa timbul orang-orang yang merasa dikecewakan itu akan mengeluarkan respon dalam hatinya baik itu respon positif sehingga dia akan melakukan hal-hal perbaikan untuk mengobati kekecewaannya itu atau respon negatif sehingga dia akan terus menurus dalam kubangan kekecewaan itu, dia tidak ingin mengobati kekecewaannya mungkin karena sangat menyakitkan hatinya sehingga dia berpikir tidak akan pernah ada obatnya. Atau mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan keinginan dan atau harapannya. Disini peran kejiwaan lebih dominan. Fisik hanya menopang agar jiwa dapat nyaman dibalik rerimbun rambut dan ketangguhan anggota tubuh lainnya. Luka hati merupakan tahapan kematangan jiwa. Seolah menyerupai perangkat lunak yang mulai terinstal untuk dapat dioperasionalkan menghadapi sistem hidup yang semakin bertambah usia akan semakin rumit. Menghitung tak lagi menggunakan jari, bertindak sudah terkombinasi dengan olah rasa dan olah raga. Kemudian masuk ke dalam kehidupan yang lebih sengit. Berhadapan dengan sekian banyak kepentingan dan intrik. Seperti sebuah pertarungan kehidupan berpotensi menghindar dari tebasan, melompati lubang agar tidak terperosok, tidak tersandung lalu terjatuh. Kita boleh terjatuh dan terluka. Namun kita tak boleh mati. Sayatan, benturan dan bahkan robek akibat luka tak boleh menghentikan pertempuran. Kita tak boleh takut dengan sayatan kata perih, cemooh yang membuat luka hati semakin menganga. Darah kepedihan tak boleh membuat pilu lalu berhenti bertarung. Tak ada kemenangan dalam pertempuran jika kita takut luka. Kita kecil telah membuktikan betapa kita telah belajar banyak dari luka. Kita remaja telah banyak jatuh bangkit karena luka hati akibat cinta. Dan kini kita dewasa mengapa menjadi pengecut, takut dan menghindar dari pertempuran. Kita pernah luka hati karena di cemooh salah ucap saat belajar berbicara. Kita pernah ditertawakan karena salah eja saat mencoba memadukan kata. Kita pernah bangkit saat jatuh ketika mencoba melangkah, begitu gigih saat belajar berjalan. Apa yang membuat kita kini lemah dan mudah putus asa, rasanya karena kita takut terluka. Setiap masa ada ujian luka. Disanalah kita belajar. Setiap pemimpin lahir dari luka-luka, maka jadilah ksatria memandang luka sebagai pertanda disanalah kita beranjak dan belajar. Meninggalkan masa-masa sulit dan ketergantungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar