(Firasat dari status facebook)
“Assalamu'alaikum”, setelah tidak ada jawaban aku nyelonong masuk saja. "Huh panas sekali", udara diluar sana terasa sangat menyengat, hawa panasnya sampai ke dalam rumah, hingga terasa seperti di oven saja. Setelah menyeka keringat aku menuju dapur dan mendapati ibu sedang menyiapkan makan siang untuk ayah. "Assalamu'alaikum, ibu, aku mengucap salam tak ada yang menyahut tadi di depan". Langsung saja ku gapai telapak tangan ibu dan menyalaminya. "Waalaikum salam, iya ibu habis membersihkan dapur dan menanak nasi". "Ayah dimana bu?" Tanyaku. "Itu di belakang, sedang asyik dengan kursi cantik untuk pernikahan mu bulan depan", Jawab ibu sambil menunjuk ke arah kandang di belakang.
Di belakang rumah kami memiliki sebuah kandang, tapi bukan untuk ternak unggas atau memelihara kambing dan sejenisnya. Namun di kandang itu kini ayah bekerja, ayah membuat pesanan meja, lemari kursi dll. Memang dulunya kami memiliki sapi, tapi sapi itu hilang dicuri suatu malam saat kami semua sedang ke rumah sakit mengantar ibu. Waktu itu ibu operasi cesar ketika melahirkan si bungsu. Kandang itu kini beralih fungsi menjadi panglong. Maklum sawah kami terjual untuk biaya kuliahku dan sekolah adik-adik. Ayahku belum terlalu tua, tapi kulihat rambutnya sudah mulai memutih dan kulitnya mulai mengkerut. Tapi bagi kami ayahku, ayah yang perkasa, jari tangannya yang kekarlah yang setiap hari menjemput rizki Allah. Sementara sorot matanya yang tajam itu menyimpan kelembutan yang membuatku kagum. Mungkin ibu dulu jatuh cinta karena sorot mata ayah.
Kuhampiri ayah, “Assalamu'alaikum”, ucapku sambil memijit pundak ayah, sementara ayah sedang menghaluskan kayu. “Wa'alaiku salam, sudah pulang kau nak?” Jawab ayah ingin tahu. “Sudah yah, dikantor tadi ada pengajian, jadi pulang lebih awal” jawabku. Memang Dikantor tempat bekerja kami setiap hari senin awal bulan diadakan pengajian. Oh iya saya bekerja disebuah perusahaan Public Relation (PR) sementara malam harinya aku mengajar mengaji karena ayah sejak dulu bermimpi memiliki anak yang menjadi guru. Jadi aku harus membuatnya bangga, meskipun bagiku ini adalah panggilan ummat.Aku anak kedua dan laki-laki satu-satunya dari lima bersaudara.
Sementara ayah dengan tekun merampungkan kerjaannya, di depan ayah terpampang sebuah gambar kursi pelaminan yang ayah rancang sendiri. Kata ayah, kursi ini yang akan diduduki anak lelakinya nanti saat menikah. Sementara kursi pelaminan ini sudah 90 % hampir jadi. Tinggal dihaluskan dan esok hari di mengkilatkan kata ayah.
"Bagus gak nak"? Tanya ayah. "Bagus sekali yah, keren, ayah hebat". Jawabku. "Ayah ingin melihatmu duduk disini bersanding dengan calon isterimu nanti. Ayah akan beritahu kepada tamu yang hadir, bahwa ayah yang membuat sendiri kursi itu. Dan ayah ingin cucu ayah nanti juga menikah dan duduk diatas kursi ini". Ayah begitu antusias, berharap cita-citanya terwujud sambil terus menghaluskan kayu itu, sementara aku membantu ayah untuk merapikan kandang. Ayah memang pribadi yang unik. Kayu yang dibuat untuk kursi itu adalah kayu jati yang ayah tanam sendiri ketika ayah kecil dulu. Ketika aku remaja ayah selalu bercerita tentang itu dan selalu bilang, kalau kelak kayu itu akan di buat kursi dan akan di gunakan untuk anaknya jika menikah.
Seharusnya tiga tahun lalu, kursi idaman ayah itu Aisyah lah yang mendudukinya untuk pertama kali, tapi sayang mimpi ayah harus tertunda. Aisyah kakak ku anak sulung ayah, tertabrak mobil pengangkut batu bata saat berkendara sepeda motor. Saat itu kak Aisyah pulang dari Tatskif. Mungkin karena terburu-buru, sebab dirumah kedatangan seorang ustad yang akan melamarnya. Begitulah taqdir memang tidak bisa ditolak. Tak terasa air mataku menetes dan aku larut dalam kesedihan. Buru-buru aku seka air mata itu, takut ayah mengetahuinya.
Tiba-tiba ayah berdiri, dan menatapku tajam. "Nak, jaga dirimu baik-baik, ayah ingin melihatmu duduk dipelaminan ini" kata ayah. Kulihat mata ayah berkaca-kaca, butiran bening menetes bercampur keringat yang sejak tadi membasahi wajah dan badan ayah. "Iya yah, ayah jangan bersedih, kak Aisyah pasti bangga dengan ayah, sebentar lagi kursi impian ayah akan diduduki juga", istirahat dulu yah, esok aku bantu mengecat kebetulan esok aku libur” begitu aku menghibur ayah.
Suasana begitu ramai, Sabrina, Gadis yang aku persunting mengenakan gaun pengantin muslimah berwarna putih,sementara aku mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam. Di sebelah Sabrina kedua orang tuanya menyungging senyuman duduk mendampingi kami. Sementara ibuku mengenakan baju kebaya coklat serasi dengan kebaya ibu sabrina. Ayah terlihat bangga disebelahnya, mengenakan stelan jas yang beliau kenakan dulu saat menikahi ibu. Kutatap wajahnya sesekali, haru didada ini bercampur bahagia saat aku juga melirik melihat senyuman Sabrina. Istriku yang kelak akan melahirkan cucu ayahku. Tiba-tiba kudengar suara ayah memanggilku; "Nak sini kita angkat kursi ini kedalam" Astaghfirullah aku melamun rupanya.
Pagi-pagi sekali setelah sarapan, kulihat ayah langsung ke kandang belakang. Menyiapkan cairan untuk memengkilapkan kayu serta memintaku untuk mengeluarkan kursi ke kandang. Mungkin ayah ingin segera merampungkan kursi idamannya itu. Bangga aku memiliki ayah yang begitu gigih. Sambil memandangi kursi itu ayah menasihati aku. "Nak, ini kenang-kenangan dari ayah, aku ingin kelak kau mengingat ayah saat kau menikahkan anakmu, beri tahu mereka, kursi ini ayah yang membuat." Disini ada huruf A", sambil menunjuk ukiran yang ditengahnya ada huruf A. Aku tahu itu akronim dari nama ayah, Ahmad.
"Nak, ternyata kita kehabisan pernis (cairan untuk mengkilapkan kayu), pilih kamu yang memanjat untuk mengambil kelapa untuk ibu atau kamu yang ke pasar?" Tanya ayah. Oh iya ibu berencana memasak sayur daun singkong santan kesukaanku dan kesukaan ayah, maklum kami berdua hari ini akan merampungkan kerjaan ayah. Kalau aku yang kepasar kasihan ayah, harus memanjat pohon kelapa yang tinggi itu. Biar aku saja lah yang mengambil kelapa, meski aku sudah tak terbiasa. "Ayah saja yang ke pasar, aku yang ambil kelapa" Jawabku sambil memberi kunci sepeda motor dan beberapa lembar uang. "Tolong belikan ibu tempe dan tahu, sekalian dengan minyak goreng, ibu kehabisan" sahut ibu dari dapur.
Ayah bergegas menstarter sepeda motor sementara aku pergi ke kebun untuk mengambil kelapa. "Huuh tinggi sekali pohon ini" batinku. Memang pohon kelapa ini kakek yang menanam, jadi usianya lebih tua dari usiaku. Dengan gemetaran aku mendaki tataran (tangga di batang pohon) yang sudah bertahun-tahun dibuat untuk sampai keatas. "Huh nafasku hampir putus, pohon ini terlalu tinggi". Keluhku. Akhirnya aku sampai juga diatas. Tapi alangkah terkejutnya aku, diatas banyak sekali semut, sihingga konsentrasiku sedikit terganggu, karena harus menyeka semut-semut yang menggerayangi tangan dan kaki. Satu janjang kelapa telah aku ambil, kemudian aku buru-buru turun. Entah mengapa sejak aku naik tadi,perasaan terasa gundah. Kutapaki tataran yg membimbingku kebawah sambil berdoa."Ya Allah semoga aku selamat sampai kebawah" pintaku. Jantungku berdetak keras, dan “Allahu Akbar” kakiku terpeleset. Untung tanganku masih sigap memeluk batang pohon kelapa tua ini. Akhirnya sampai juga ke bawah.
Sesampainya di dapur aku memilih satu biji kelapa yang terlihat paling besar dan tua, selanjutnya aku mengupas,membelah dan mencongkel lalu mencucinya. Terlihat ibu sedang meremas daun singkong, terbayang kelezatannya saat nanti kami menyantap bersama ayah. "Bapakmu itu Nak, kalau punya keinginan harus sampai selesai, semalam saja menjelang tidur sudah berkhayal saat anaknya duduk disitu" terang ibu kepada ku. "Iya ya bu, ayah memang baik. Tapi kok lama sekali ayah belum datang ya" aku gundah menanti ayah. "Aku tunggu didepan ya bu! Pintaku pada ibu. "Iya, tolong sambil tungguin kalau ada tukang jamu, ibu belum bayar jamu kemarin" kata ibu.
Baru saja aku sampai didepan rumah, tiba-tiba berhenti Mang Jajang tetanggaku dan memparkirkan sepeda motornya sambil tergesa-gesa." Amar, ayahmu...ayahmu kecelakaan, sekarang dirumah sakit, cepat kesana, tadi di perempatan sana ada pengendara sedan berlari sangat kencang dan menabrak ayahmu! Ayo Mamang bonceng. Tidak karuan hati ini rasanya, aku langsung duduk di belakang sepeda motor Mang Jajang tanpa memberi tahu Ibu. Ingin ku persingkat jalan menuju rumah sakit, tapi tak mungkin, aku hanya bisa meminta Mang Jajang memacu gasnya. Sesampainya di rumah sakit, ayah sudah tak tertolong lagi, hanya suster yang menyampaikan pesan terakhir ayah kepadaku.."NAK BILANG PADA CUCU-CUCUKU, KURSI ITU AYAH YANG MEMBUAT"
Aku tertunduk lemas, melihat jasad ayah tersenyum, air mataku menetes tidak terbendung, Mang Jajang menepuk pundakku dan memintaku untuk bersabar. Aku genggam jemari ayah yang tak lagi kekar, aku kecup pipinya. "Inna Lillahi wa Inna ilaihi rojiun".
Suatu pagi, aku mengenakan stelan jas yang aku kenakan saat menikah dulu, aku melihat kursi pengantin yang tak pernah pudar warnanya dengan ukiran jepara, sementara ditengahnya terukir huruf A, Ahmad, aku tahu itu nama ayahku, terlintas semangat ayah dalam bayanganku, menggergaji, memaku, dan menghaluskan kayu. “Hari ini, Annisa cucu ayah, di persunting pria Sholeh, dan akan duduk di kursi yang kau buat dengan tanganmu. Kau melihat disana, dari syurga”.
Dedicated to my lovely Father and mother I really proud of you.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar