Selasa, Juni 08, 2010

Haus Sebelum Kemarau

Apa yang akan anda lakukan jika dikabarkan akan terjadi kemarau panjang? Tentu saja akan melakukan serangkaian persiapan. Ada diantaranya yang melakukan penghematan air agar pada saatnya bisa bertahan, atau santai saja memasrahkan diri pada keadaan. Demikian pula dikisahkan, ada seorang lelaki kaya yang begitu menghawatirkan keadaannya jika kemarau itu benar-benar datang. Ia mengumpulkan air di ember, bahkan membuat kolam besar untuk menampung air sebanyak-banyaknya. Setiap hari ia lakukan itu sambil menunggu kemarau benar-benar tiba. Ia menggunakan jasa penduduk dengan imbalan dari kekayaan yang ia miliki.

Namun malang sekali laki-laki ini, ia tak menggunakan air barang setetespun. Bahkan untuk kebutuhan minum sehari-hari. Hingga badannya lemas dan pada suatu hari tetangga menemukannya tewas didalam rumahnya karena kekurangan cairan. Mati sebelum kemarau itu datang, kehausan ditengah gelimang air demi ketakutannya pada kemarau yang bisa jadi tak pernah ada. Kini berkacalah pada cerita diatas, pernahkah kita mengkhawatirkan pada sesuatu penderitaan yang dibayangkan kelak? Lalu kita ketakutan dan menderita meskipun penderitaan itu belum tiba? Dan bisa jadi cara merespon masalah kita begitu lebih menyakitkan dibanding kenyataan yang jika benar-benar menimpa suatu hari nati.

Lihat saja sebagian para politisi kita yang begitu takut akan berakhirnya masa kepemimpinan mereka. Menyiapkan langkah untuk dipilih kembali atau menyiapkan putra mahkota demi keberlangsungan kuasanya. Baru dilantik sudah memikirkan berakhirnya jabatan. Baru setahun sudah berfikir periode selanjutnya. Sehingga pengabdian sebagai filosofi kepemimpinan yang melayani rakyat terseret arus kecemasan yang membuat hari-harinya gelisah dan kehilangan ketenangan.

Kehausan sebelum kemarau benar-benar melanda. Hari-harinya sibuk dengan upaya menutupi ketakutannya. Apa yang dia minum belum tentu punya cita rasa lezat sebab gairah pada makanan dilenyapkan perasaan was-was. Kebaikan yang dilakukan belum tentu menenangkan batin. Sebab tindakannya selalu saja di lumuri perasaan ingin dipuji dan tak lagi dilatari perasan tulus dan ke ikhlasan. Program pembangunannya tak ditimbang lagi sebagai upaya mensejahterakan rakyat. Namun harus selalu dikaitkan dengan indikator ; apakah berpotensi meningkatkan popularitas dan elektabilitas pada perhelatan politik berikutnya atau tidak. Bukan kenyataan esensial saja yang telah dibunuh oleh ambisi masa depan, namun juga subtansialisasi visi pembangunan juga tercerabut paksa. Mengerikan sekali jika negeri ini terus di jangkiti budaya politik semacam ini.

Hidup Itu Hari Ini

Wahai para pecinta kekuasaan, hidup itu hari ini. Sehingga pertanyaan yang harus terus kita ajukan di pagi hari adalah; Apa yang terbaik yang bisa saya persembahkan hari ini? Sebagai bentuk pertanggung jawaban pada amanah hidup yang tersemat dipundak kita. Bukan bagaimana besok jika kekuasaan ini berakhir? Juga bukan apa yang telah kumiliki untuk kutinggalkan pada tujuh turunanku jika aku mati kelak. Matilah kita pada kenyataannya padahal belum mati yang sebenarnya. Meminjam Aid Alqarni; menyesali masa lalu ibarat menggergaji debu, lebih ekstrim lagi membangunkan mayat. Sia-sia tiadak ada gunanya. Mengkhawatirkan masa depan ibarat memetik durian mentah yang belum saatnya dimakan. Hidup itu hari ini, jika semua peran kita maksimalkan hari ini maa otomatis akan menorehkan kebakan dimasa lalu dan menciptakan kesuksesan di masa depan. Jinakkanlah nafsu kekuasaan kita untuk selanjutnya memelihara keikhlasan dan rasa pengabdian.

Keikhlasan Dari Para Teladan

Ambisi berkuasa, itulah yang menggulung kehidupan manusia modern. Menekuk dan melipat rasa, tak berkutik dibawah bekukan keserakahan. Akankah mereka yang saat ini diberikan amanah memimpin laiknya para teladan kita yang begitu cemerlang memimpin rakyat dan bangsanya...kita rindu dengan Umar bin Abdul Aziz r.a...yang walau hanya di beri kesempatan 3 tahun menjadi pemimpin ..namun dimasanya tidak ditemukan / dan teramat susah mencari mustahik atau orang yang akan diberikan zakat. Kita juga pasti merindukan pemimpin seperti Umar ibn Khatab. r.a..yang mempaunyai prinsip "ketika ada kelaparan dialah yang pertama meresakan lapar. Sementara ketika ada kesenangan dialah yang terakhir merasakan kenyang. Lalu lihatlah sejauh mana rasa kepedulian mereka para pemimpin kita untuk mendahulukan kepentingan rakyatnya.

Ingatkah kita dengan Said bin Umair salah seorang gebernur yang ditunjuk khalifah Umar bin Khatab di daerah Homs Syria yang waktu itu memerlukan penangan serius karena kemiskinan masyrakatnya. Khalifah mempunyai program pengentasan kemiskinan untuk daerah itu, maka dimintalah data valid dari daerah ini untukkelancaran program ini. setelah utusan dari Homs memberikan data kepada khalifah dan diteliti satu persatu. Sang khalifah terkejut dan bertanya.."Berapa orangkah di daerahmu orang yang bernama Said Bin Umair..? utusan ini menjawab .." Hanya satu Ya Amirul Mukminin..dia adalah gubernur kami" benarkah Gubernurmu ini fakir ..? lanjut khalifah..."benar ..sudah tiga hari ini dapurnya tidak berasap.." Umar yang semula hanya berkaca-kaca, akhirnya menangis denga kondisi ini..kemudian Khalifah memberikan uang seribu dinar dan berkata " berikan ini kepada gubernurmu untuk bekal hidupnya. Hari yang paling dirindui mereka tentu saja syurga, hari yang paling ditakutkan mereka adalah neraka saat keputusan pertanggungjawaban kepemimpinan di sidangkan. Jadi, saat memimpin yang dilakukan adalah optimalisasi dari kinerja, bukan menumpuk kekayaan serta merekayasa masa depan kekuasaannya. Sungguh sulit kita menirunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar