Suatu sore penulis merasa terusik dengan satu pertanyaan yang tiba-tiba terlintas dalam fikiran yang padat dengan kegelisahan. Mengapa singa dijuluki Si Raja Hutan? Padahal sebagaimana maklumnya Singa banyak hidup di Afrika tepatnya di padang rumput, mengapa justru malah menjadi raja hutan? Langkah pertama penulis mengirimkan pesan singkat dari ponsel. Karena dianggap sebagai pertanyaan gurauan sahabat penulis menjawab dengan jawaban sekenanya. Mending menjadi raja hutan dari pada menjadi raja singa (nama sejenis penyakit).
Namun kegelisahan ini sungguh mengganggu penulis. Kontan saja ada ide untuk mengaktifkan jaringan internet dan berselancar menanyakan pertanyaan ini ke yahoo answer situs tempat kita saling bertanya dan memberikan jawaban. Jawaban yang penulis peroleh salah satunya seperti ini.”Sebenarnya julukan itu memang kurang tepat, tapi ada beberapa pihak yang beralasan sebagai berikut: Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja. Mayoritas orang telah beranggapan bahwa Afrika identik dengan hutan walaupun banyak terdapat rumput dan letak pohon-pohon yang tidak berdekatan (tersebar), tidak seperti layaknya ciri-ciri suatu hutan apalagi hutan tropis. Julukan tersebut diambil dari seorang raja yang bernama Leonidas (Leo/Leon/Lion = singa)”.
Aha, penulis menemukan jawaban yang setidaknya mampu mengisi rasa keingintahuan. Dari beberapa jawaban, satu jawaban bahwa Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja menjadi jawaban yang menyentak. Sehingga thesis saya seperti ini, siapapun kita ketika Berjaya dan sedikit bengis lalu sedikit sekali yang berani melawan akan menguasai properti, otoritas dan akomodasi atau menguasai rantai makanan, otomatis akan menjadi raja. Belum selesai menuntaskan persoalan raja, lalu penulis berselancar menuju situs pencarian elektronik ternama google dengan mengetik “raja adalah” dengan harapan mengetahui makna dari kata raja sesungguhnya. Tidak banyak yang dengan cepat bisa menjawab pertanyaan ini. Tapi penulis tertarik dengan satu jawaban. Jawabannya begini; pemimpin laki-laki kalau perempuan ratu dalam sebuah kerajaan (monarchi) atau orang yang berkepentingan/memegang jabatan paling tinggi dalam sebuah kelompok. Jawaban ini tidak mencerminkan jawaban akademik namun cukup memuaskan.
Pertanyaan mengapa singa bisa menjadi raja hutan akan sepadan dengan beberapa pertanyaan tentang mengapa kadang kita merasa heran hadir ditengah-tengah kita seorang pemimpin yang tidak sejalan dengan kehendak kita lalu menjelma bak seorang raja. Seseorang yang seharusnya pantas justeru dikalahkan oleh mereka yang tidak seharusnya. Jawaban sederhananya adalah karena tidak ada yang kuat melawannya dan ia terlanjur menjadi kuat dan “menguasai rantai makanan”. Pernyataan ini juga tidak selamanya benar, namun penulis tengah mencoba untuk mencari-cari filosofi yang pas agar kita bisa mengambil pelajaran dari fakta kehidupan tersebut.
Namun pemimpin tentu saja bukan raja, hal ini merujuk pada kesepakatan kita hidup berbangsa dengan menjunjung nilai-nilai demokrasi dan bukan monarchi. Sebab pemimpin dalam demokrasi memang memegang kekuasaan namun kekuasaan itu dibatasi. Batasannya adalah hukum konstitusional dan wewenang yang di bagi sebagaimana teori Trias politika dan ide Aristoteles bahwa kekuasaan tidaklah lazim dipegang oleh satu tangan. Kekuasaan tanpa batas tersebut dikhawatirkan akan terjadi abuse of power.
Semestinya meskipun negara sebagai suatu organisasi kekuasaan, namun ia berada di antara dua titik orientasi, yaitu upaya memaksimalkan pencapaian tujuan bernegara dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Namun persoalannya kemudian adalah mengapa kecendrungan kepemimpinan yang begitu otoritatif bak raja selalu saja terjadi? Seseorang dengan powerfull mampu mengkondisikan segala kebijakan pada kekuasaan dirinya semata. Lebih parah lagi jika kekuasaan kuat dalam genggaman satu tangan itu mampu menginternalisasikan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan hajat publik.
Makna paling dasar dari “demokrasi” adalah kekuasaan ada ditangan rakyat. Demokrasi berbeda dengan monarki (kekuasaan satu orang), aristokrasi (kekuasaan orang yang terbaik) dan oligarki (kekuasaan ada pada sebagian orang). Demokrasi dipilih oleh kalangan cerdik pandai sebagai alternatif terbaik dan yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Demokrasi kini makin diartikan sebagai hak pilih yang dimiliki semua rakyat secara umum. Oleh karenanya, pemilu dianggap sebagai aspek popular atau utama dari demokrasi.
Maka logika bahwa Singa mampu menjelma menjadi Raja disebabkan tak seorangpun mampu melawannya adalah logika check and balances. Kawal kendali ini adalah konsep agar tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang. Singa tidak akan menjelma menjadi Raja jika ia dikalahkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan lebih tinggi atau setidaknya sama. Prinsip checks and balances dapat dilacak awal mulanya dari teori pemisahan kekuasaan. Prinsip ini lahir agar dalam pemisahan kekuasaan tidak terjadi kebuntuan hubungan antarcabang kekuasaan serta untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di dalam satu cabang kekuasaan. Aristoteles dalam buku ”Politics” menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian,yaitu pertama,kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan berupa prinsipprinsip yang harus ditaati warga negara, yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang disebut kekuasaan eksekutif.
Sedangkan logika singa menguasai rantai makanan dan semua binatang tunduk dibawah kekuasaan dirinya adalah logika konstitusional. Logika yang membangun kepastian bahwa sekuat apapun kemampuan logistik seseorang, tetap tidak boleh menguasai kekuasaan di ranah demokrasi dengan membeli semua kekuatan atau dengan kata lain menaklukannya. Sejatinya hukum tidak boleh ditaklukan oleh uang. Jika hal ini bisa diwujudkan maka tidak ada keanehan “mengapa Singa bisa menjadi raja dialam demokrasi manusia?”
Di negara ini hukumlah yang semestinya menjadi panglima meskipun Hukum adalah produk politik, dan sistem politik ditentukan oleh hukum tata negara (konstitusi). Tetapi hukum statis, sementara politik dinamis karena bahan dasarnya adalah suara rakyat, parpol dan kelompok-kelompok kepentingan. Artinya, politik lebih memegang kendali daripada hukum, baik memegang kendali atas hukum atau atas hal-hal selainnya. Fenomena ini seharusnya tidak perlu dirisaukan karena itulah keadaan dasar hukum dan politik. Sejauh politik dapat dikendalikan ke arah positif, maka hukum juga akan positif.
Semangat yang mematikan sistem sebaik apapun adalah keserakahan. Keserakahan memang menjadi ciri dari manusia. Namun kesalahan bukan pada keserakahan. Manusia pada dasarnya sudah serakah. Tapi bagaimana regulasi dapat mengendalikan dan menyalurkan hasrat kepentingan diri itu sehingga dapat tercipta sebuah tatanan. Ilmu ekonomi lahir berupaya menjawab itu. Ilmu politik, dan bahkan ilmu agama juga sangat memahami esensi dasar manusia itu. Selama hasrat itu dilakukan secara eksesif, tanpa memikirkan orang lain, tanpa memikirkan lingkungan, maka bisa dipastikan hasrat mengejar kepentingan diri akan berdampak buruk. Namun, bila gerak pengejaran kepentingan diri ini dilakukan dengan dasar simpati, diatur dengan baik, tatanan akan terwujud. Tapi kita tahu, kenyataan tak semudah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar