Kamis, April 01, 2010

BELAJAR MEMAKNAI SIMBOL

Kehidupan memang dilumuri oleh berbagai simbol. Persoalannya kadangkala manusia tidak berhasil memaknai simbol-simbol dengan fungsi yang benar. Sebelum pada akhirnya kelak bahasa dikodifikasi, manusia menjelajah simbol-simbol untuk dapat berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Ditemukanlah bahasa sebagai mahakarya simbol tercanggih. Masih dalam bagian dari bahasa, simbol-simbol dalam kehidupan ini menghantarkan cita rasa sikap dan gaya hidup, dimana menangis adalah bahasa kesedihan, tersenyum adalah bahasa kebahagiaan dan masih banyak lagi.

Kemudian ditetapkannya simbol-simbol tertentu secara umum untuk menghantarkan maksud yang diwakili simbol-simbol sebenarnya. Tapi simbol tak selalu merepresentasikan makna sebenarnya, bisa melenceng atau berbalik 180 derjat. Artinya bertolak belakang dan tidak memiliki hubungan sama sekali. Inilah kepura-puraan sebagai bentuk pengkelabuan dari makna simbol. Menangis tak selalu karena bersedih akan tetapi pura-pura sedih, tersenyum juga bisa jug dimaksudkan untuk pura-pura bahagia.

Simbol Kepura-puraan

Seorang penjahit merasa dirugikan oleh seorang polisi yang sudah 6 bulan tidak mengambil jahitannya. Ditelusurilah dimana alamat polisi tersebut. Namun malang nasib sang penjahit, ternyata alamat yang dia dapatkan tak lagi di tinggali sang polisi. Telah lama petugas polisi itu dipindahkan ke kota yang lain. Karena kesal dipakailah baju seragam polisi tersebut. Dalam perjalanan tak terduga begitu banyak yang memberi hormat padanya, bahkan dengan mudah ia mendapatkan uang meski ia tak memintanya. Terbersit niat dari penjahit itu untuk pura-pura menjadi polisi, toh lebih gampang mencari uang dengan profesinya yang baru meski harus sekedar pura-pura.

Demikianlah kepura-puraan biasanya menghadirkan kenyataan lain pada sebuah negeri yang subur kepura-puraannya. Ini yang disebut Simulakra menterjemahkan simbol meski kini menjadi makna yang melenceng. Pura-pura berhasil memimpin, pura-pura merakyat, pura-pura sholeh, pura-pura dermawan dengan aneka topeng sebagai simbol yang bisa dikenakan. Bagi seorang pemimpin tidak lain agar populis dan pada akhirnya meningkatkan elektabilitasnya. Tetapi sampai kapan kita bisa berpura-pura seperti penjahit yang kini berseragam polisi?

Kepura-puraan begitu mudah dilakukan. Sebab kepura-puraan telah memiliki pakaian-pakaiannya di dunia yang penuh citra. Citra menjungkirbalikan makna sebenarnya. Ada daerah yang ingin disebut Islami, gampang saja citra bisa dibentuk dengan pakaian atau simbol-simbol yang dikenakan untuk akhirnya berpura-pura Islami. Bisa memampang deretan ayat Al-Qur'an, menempel bilboard Asmaul husna dan mematok perda-perda simbolisasi ke Islaman. Tapi hanya ditingkat citra atau simbol, keadaan dan subtansi tidak tersentuh hanya menjadi pajangan yang mengangkangi makna simbol sebenarnya. Bisa jadi transaksi pelacuran terjadi dibawah simbol, monopoli dan serangkaian kebohongan politik begitu tidak senonoh dipertontonkan.

Gengsi diantara simbol

Gengsi berasal dari kata prestige, kata ini berasal dari kata dalam bahasa latin praestigae artinya mengusap, menjamah, menyilaukan. Makna kata itu dalam bahasa Indonesia tidak begitu ditonjolkan. Dalam ilmu sosial, prestige adalah sebutan untuk pengaruh yang tidak mudah dijelaskan. Dikatakan demikian karena pengaruh itu sulit dijelaskan dari mana dasar dan asalnya. Pengaruh itu terlontar dalam diri seseorang begitu saja. Pengaruh itu berasal dari seseorang secara pribadi atau dari kelompok orang. Selain itu prestige juga merupakan sebutan untuk bentuk-bentuk demonstratif penghargaan sosial misalnya mengejar pengakuan sosial, pangkat, dan lain sebagainya. Itu semua menonjolkan kenegatifan makna gengsi.

Mungkin segera kita menempuh serangkaian upaya untuk belajar memaknai simbol. Meluruskan makna simbol yang keliru dan menegaskan makna sebenarnya. Memang dunia tengah mengalami deviasi makna yang cukup parah. Sehingga memaksa kita menggandrungi simbol. Ingin dihormati cukup mengenakan simbol-simbol kehormatan, kekayaan, jabatan dan ke cantikan. Bukankah faktanya hal semacam itulah yang lebih menampilkan citra kehormatan? Meskipun tak selamanya begitu.

"Saya naik sepeda motor satpampun tak menoleh saat saya masuk areal parkir, berbeda pada saat yang datang mengendarai mobil mewah dengan sigap satpam memberi hormat", begitu gerutu teman saya suatu hari. Maka tak jarang, demi gengsi seseorang rela melakukan apapun untuk sebuah gaya. Hal ini tidak lain karena ingin mengenakan simbol-simbol kehormatan. Bolak-balik ke salon untuk disebut cantik, berebut jabatan untuk kehormatan, berpakaian mewah, mengenakan perhiasan untuk disebut kaya. Cara mendapatkannya bisa berhutang, mencuri, atau korupsi. Saat ingin berkuasapun bisa dengan berbagai upaya seperti money politik dan cara-cara busuk yang jauh sekali dari makna kaya, kehormatan dan gengsi sebenarnya.

Dewasa ini kata kehormatan dipadankan dengan kata harga diri, kemurnian atau keperawanan. Oleh karena itu, bila seorang wanita dinodai ia dikatakan kehilangan kehormatannya. Pada dasarnya kehormatan memiliki makna yang mendalam melebihi makna seperti itu. Kehormatan pada dasarnya adalah penghargaan yang dinyatakan kepada seseorang berdasarkan nilainya. Nilai itu adalah keutamaan yang ada pada subyek, nilai diri subyek. Nilai pada hakekatnya mengalir dari martabatnya sebagai manusia. Namun nilai itu semakin menonjol dan secara emosional, menimbulkan perasaan hormat, ketika seseorang menghayati keutamaan hidup.

Penghormatan itu berasal dari orang lain disekitarnya. Namun pengakuan orang disekitarnya itu bukan syarat adanya penghormatan. Kehormatan seseorang tidak tergantung pada pengakuan sosial. Selain itu, nilai pada subyek itu, idealnya diakui oleh masyarakat. Namun sekali lagi itu bukan syarat mutlak. Kehormatan seseorang pada hakekatnya didasarkan atas kodrat manusia. Oleh karenanya pada dasarnya setiap orang berhak dan wajib untuk dihormati dan menghormati.

Dewasa ini relasi antara gengsi dan kehormatan dekat sekali. Bila orang mengungkapkan gengsi seseorang itu seolah sama dengan kehormatan seseorang. Namun bila diteliti lebih jauh dengan melihat dasar dari kehormatan, kita dapat menyimpulkan bahwa gengsi dan kehormatan pada dasarnya berbeda. Kehormatan tak bisa dilepaskan dari nilai keutamaan yang dihayati oleh subyek. Sementara gengsi diperoleh seseorang bisa terlepas dari soal keutamaan itu. Gengsi dapat diperoleh seseorang ketika ia berprestasi, maju dalam karir, kaya dsb. Namun gengsi bisa terarah kepada kehormatan ketika orang menghayati prestasinya dengan diimbangi oleh perjuangan untuk menghayati keutamaan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa gengsi adalah “kekurangan” dari kehormatan.

Memaknai Simbol

Mari kita maknai simbol, karena hidup adalah apa yang membuat hati benar-benar merasa tenteram. Bukan aneka kepura-puraan yang menghadirkan ketamakan dan keserakahan. Faktanya hati makin terpuruk dan gelisah. Hidup tidak seperti seorang anak kecil yang membeli petasan. Justeru menutup telinga kala petasan itu dinyalakan. Hingga kita yang membeli tak menikmati. Hanya mengagetkan tetangga. Apa yang kita miliki untuk kita nikmati, bukan untuk sekedar pamer dan membuat orang lain iri.

Demikian pula tidak berguna simbol-simbol semata dalam mengelola sebuah negara. Simbol Islami, sejahtera, berhasil, maju namun faktanya, amoral, terbelakang dan tertinggal. Sebab fakta dibalik simbol menegaskan keserakahan pemimpin, kebodohan dan ketidak acuhan pada kebutuhan masyarakat. Pemimpin justeru menampilkan kemewahan, dominasi keluarga serta kelompok sendiri pada akses ekonomi dan kekuasaan. Alangkah naif bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar