Tulisan ini terinspirasi dari comment kang Agus Sutisna seorang cendikiawan muda dari Perguruan Tinggi Latansa Mashiro, pada status Facebook (FB) - Masyarakat Pena Saija (MPS)- milik penulis. Beberapa hari lalu saya berkisah di account jejaring sosial tersebut. Kisah saya adalah romantisme menjelang maghrib saat saya kecil. Usia penuh harapan akan pujian. Sampai-sampai urusan azan maghrib sempat menebar bius ingin dipuji dibenak saya dan teman-teman sebaya. Maklum Toa adalah barang baru di mushola kami, sehingga aktivitas ibadah menjadi semarak. Pengeras suara ini menjadi medium yang membuat aktivitas ibadah beyond motivasi. Tidak hanya menjalankan fungsi ta'abudi, tapi juga merangsang sensasi kepuasan rasa.
Saat tadarrus bukan hanya terasa ingin ibadah, namun lebih dari itu. Ayat suci yang menggema menggaungkan suara yang didalamnya ada energi riya' (perasaan ingin dipuji). Jujur,saya merasa seakan publik diluar sana mendengar lalu terkagum. Terngiang dalam hati dan mungkin warga sedang memuji "wah anak siapa itu yang sedang mengaji?" atau "bagus banget suaranya, siapa yang sedang mengumandangkan azan?". Dan asumsi-asumsi lucu lainnya. Padahal bisa jadi sebaliknya, warga terganggu karena suara bising dari kumandang azan yang berisik, karena sebenarnya suara kami memang cempreng dan tidak fasih.
Begitu ekstreamnya perasaan bangga mengumandangkan azan, memicu kami untuk berebut kesempatan ketika waktu solat tiba. Sampai-sampai siapa yang datang lebih awal ke Mushola biasanya bergegas mencabut microphone dari amplifier, disembunyikan, lalu memasangnya kembali waktu sholat menjelang untuk kemudian menarik suara azan. Tentu saja dari kisah ini Kang Agus menyentakkan fikiran saya dengan satu commentnya yang bernas. Kira-kira intinya begini " masih kecil berebut azan, sudah besar bisa jadi berebut Masjid dan Mushola untuk panggung merebut kekuasaan".
Betul kata kang Agus, kekuasaan memang supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Ia bisa menjelma dalam berbagai wajah. Hasrat kuasa bisa memiliki rupa Ustad, Kiayi bahkan preman. Ia menyerupai apapun dengan segmentasi tak terbatas. Bisa pura-pura NU, pura-pura Muhammadiyah, Pura-pura nasionalis atau pura-pura demokrat sejati. Perubahan wajah sekonyong-konyong terjadi base on ceruk pasar politik.
Kita batasi "seserupaan" ini dalam konteks agama sebagai komoditas. Jujur kita menyaksikan fakta bahwa agama bisa menyedot loyalitas, baik kesadaran yang rasional maupun tak rasional. Karena beragamalah manusia meyakini yang tidak nyata (ghaib), karena kepercayaanlah manusia memiliki ketundukan yang dahsyat tanpa reserve. Ini kemudian di manfaatkan dalam politik sebagai komoditas. Bukan saja sebagai ideologi murni, tapi juga diadopsi semacam dekorasi yang bertujuan menjadikan sesuatu memiliki efek "seolah-olah".
Karena agama memiliki kekuatan dekoratif maka agama sangat mungkin berfungsi sebagai alat mempercantik. Bayangkan seorang yang fanatik pada partai Islam bisa tiba-tiba berubah dukungan hanya karena menyaksikan tokoh politik dari kelompok nasionalis tertentu tampil di Televisi atau dalam atribut kampanye yang Islami, misalnya berkoko dan berpeci. Belum lagi jika dibumbui dengan aktivitas rohani, berzikir sambil menangis, pergi umrah atau istighatsyah, makin sempurnalah dekorasi agama dalam kontestasi politik.
Dekorasi memang bisa menset-up aula menjadi semacam taman, pesta pekawinan bisa terasa di kebun atau garden party. Tentu saja tidak harus di kebun sebenarnya, tapi cukup menyulap aula menjadi kebun. Aula bisa di tata dengan dipenuhi pepohonan, bebatuan dan bunga-bungaan. Inilah dekorasi. Jika agama hanya berhenti ditingkat atribut, maka ia berfungsi dekoratif, dan rupanya di negeri yang menganut fantasmagoria semacam ini, dekorasi menjadi sangat penting. Untuk menarik hati para sholihin, politisi bisa mendekorasi dirinya dengan atribut kesolehan. Untuk menarik perhatian orang NU, politisi tinggal mengenakan atribut Nahdhiyin. Tak usah lebih, nampaklah ia sebagai representasi pura-pura, yang nampak selayaknya.
Tak heran, jika para kandidat dalam Pilkada mengenakan perangkat kesholehan dan simbol ideologis kelompok tertentu. Meskipun beberapa judgment diatas tidak saya alamatkan kepada perorangan. Tulisan ini juga tidak dalam rangka menghakimi karena bukan kapasitas saya melampaui hati seseorang yang tidak mungkin terjangkau oleh mata. Karena niat seseorang hanya bisa diukur oleh hati mereka sendiri. Tulisan ini hanya ingin meluruskan motivasi penggunaan atribut yang terdekorasi dalam serangkaian strategi politik.
Segalanya bermula dari motivasi, demikian Hadits mengatakan. Mungkin pembaca pernah mendengar iklan selamat menunaikan sholat selepas kumandang azan di stasiun radio tertentu? Nah semacam ini bisa tidak tergolong dekorasi politik jika si Penyeru juga disaat yang sama bergegas mengambil air wudhu dan lalu sholat. Tapi jika si Penyeru bahkan tak rajin sholat, maka ia sedang menempatkan sholat sebagai media dekorasi. Seruannya tidaklah menyentuh subtansi.
Agama sepatutnya adalah behaviour, attitude dan spirit. Secara kognisi Mewarnai iklim politik, secara psikomotorik memiliki effek miror yang memantulkan tindakan politik yang sarat nilai-nilai kebaikan dan meng-afeksi dalam motivasi dalam setiap kebijakan yang diputuskan. Bukan sekedar wig (rambut palsu), lipstik, dan bukan juga berhenti di tingkat citra. Seharusnya agama dipeluk dan menjadi referensi setiap tindakan politik, menjadi motivasi decision making dan menjadi cermin setiap kebijakan.
Pendekor Bangkrut
Saya ingin berkisah dari sebuah cerita yang saya improve dari sebuah hadits yang saya ingat pernah di bacakan seorang khotib saat khutbah 'Idul Fitri. Suatu masa kelak di yaumil mizan. Seorang yang ternyata adalah mantan pejabat politik diarak oleh para malaikat untuk menuju Syurga. Nampak aura kegembiraan terpancar. Betapa tidak, saat itu adalah pengadilan terakhir, sebuah keputusan yang berimplikasi kepada kekekalan kehidupan. Jika ia telah divonis sengsara maka di nerakalah ia bertempat, dengan vonis kekal didalamnya (kholidina fieha).
Rupanya pejabat ini begitu beruntung. Ibadahnya menghantarkan ia pada keputusan syurgawi. Suka cita itu rupanya tak berlangsung lama, setelah tiba-tiba seorang laki-laki tergopoh-gopoh berlari lalu menghadang rombongan." Hendak dibawa kemana mantan Pejabat Politik ini?" Demikian tanyanya didepan rombongan. "Kami hendak mengantarnya ke Syurga, lelaki ini sholeh semasa hidupnya". "Jangan dulu, aku ingin complain, dulu semasa memimpin, dia pernah mengurangi takaran aspal pembangunan jalan, sehingga belum seminggu jalan itu dibangun kembali berlubang. Akibatnya saya terjatuh dan meninggal saat bersepeda motor melewati lubang itu. Anak-anak saya menjadi yatim dan hidup berkesusahan". Malaikat mengurangi pahala sedekah pejabat ini, untuk diberikan kepada lelaki yang mengajukan komplain tersebut. Ternyata pejabat itu sedekah dari uang korupsi aspal pembangunan dan perawatan jalan.
Demikian berturut-turut dihadang sekian banyak warganya; ada yang komplain persoalan Dana Alokasi Umum (DAU) dan proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) yang di sunat, proyek pemerintah pusat yang di kooptasi, jabatan yang monopolistik dan berbau nepotisme sampai persoalan intimidasi dan kecurangan saat kampanye serta proyek-proyek pemerintah yang di dominasi keluarganya sehingga menghancurkan rasa keadilan. Pahala puasanya diambil, pahala zakatnya dipangkas, pahala hajinya di potong sehingga habis amal sholehnya didunia. Setelah bangkrut dan merugi karena amalnya ibadahnya direnggut, tetap masih ada yang mengajukan komplain. Maka dosa orang yang mengajukan komplain ditimpakan kepada pejabat itu. Sehingga Rosulullah mengumpamakan dalam hadits orang, semacam ini dengan istilah Muflish = bangkrut.
Kebaikan yang ditanam, budi yang ditebar dan pengabdian seremonial yang dipersembahkan hilang begitu saja. Ini akibat hidupnya berdiri diatas ibadah yang dekoratif, jauh dari nilai-nilai subtansial dari ibadah yang ia lakukan dalam kehidupannya. Kesalihan, ketaatan ubudiah layaknya dekorasi yang menipu. Maka dialah pendekor yang bangkrut. Sebab yaumul mizan adalah pengadilan yang tidak bisa disuap dan tak bisa menghadirkan pembela dan saksi palsu. Tangan, kaki dan tubuh kita berbicara dan menjadi saksi sejujurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar