Menjadi penonton jauh lebih mudah dari pada menjadi pemain. Apologi ini yang sering digunakan para pemain sepak bola bila permainan mereka dinilai buruk. Tentu saja guna menyangkal berbagai kritik akibat kekalahan dari para supporter. Faktanya memang demikian. Tendangan yang melenceng, umpan yang salah terasa begitu bodoh di mata penonton. Padahal para pemain telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya. Menjatuhkan kritik terasa begitu enteng berbeda dengan jika kita menjadi pemainnya.
Akan tetapi kritik sepedas apapun sebenarnya adalah obat bagi kita. Meskipun jika tak pandai menyikapi akan terasa bagai racun yang mematikan. Mematikan kreatifitas dan tak jarang ia dapat menjelma menjadi api yang menyulut permusuhan. Apalagi ditengah bangsa yang masih memandang kritik sebagai sebuah ancaman. Padahal tanpa kritik, akan tumbuh benih kesombongan dan keangkuhan. Bukankah tak ada manusia yang sempurna?
Namun, meskipun kritik memiliki kemashlahatan yang dapat mengkoreksi kekeliruan dan juga kesalahan, kritik juga memiliki seni, yakni sebuah keterampilan dalam menyampaikannya. Bagaimana kritik dapat diterima dengan bijaksana tanpa menggores luka karena harga diri yang dijatuhkan atau merasa terhina. Karena kritik adalah seni, maka dibutuhkan kepiawaian dan improvisasi yang baik.
Jangan sampai dengan kritik, seseorang kehilangan keberanian untuk mencoba menjadi lebih baik. Karena pedasnya kritik juga acap kali menimbulkan kemarahan sehingga kritik senantiasa dihadapi dengan tindakan represif. Lalu bagaimana kritik yang baik sesungguhnya?
Tulisan ini tidak dimasudkan untuk menjabarkan kiat atau tips penyampaian kritik yang elegan. Tidak lain tulisan ini hanya ingin mengajak kita semua untuk mengubah kritik dari seolah-olah seperti makhluk yang menakutkan, menjadi energi luar biasa yang dapat memberikan perbaikan secara objektif. Caranya terhormat, penyikapannya bijaksana dan perbaikannya ikhlas dilakukan.
Hikayat Lukisan Raja
Masih ingat pada hikayat di sebuah kerajaan antah berantah? Dimana seorang raja memerintah dengan tegas. Suatu hari Raja ingin mengetahui penampilannya melalui para pelukis. Raja ingin dilukis. Demikian sayembara yang diumumkan. " Siapa yang dapat memuaskan raja dengan lukisannya akan mendapatkan hadiah". Zaman kerajaan tentunya belum ada camera digital. Hehehe
Berduyun-duyun pelukis diseantero berdatangan. Dari sekian banyak dipilihlah tiga pelukis paling handal. Dengan sedikit nervous pelukis pertama mengayunkan kuas di kain kanvas. Begitu mahir kelihatannya. Dalam gambar yang dibuatnya raja terlihat lebih gagah dari penampilan aslinya. Sorot matanya tajam, padahal bentuk aslinya (maaf) beliau memiliki kekurangan, salah satu dari sepasang matanya -buta- terpejam sebelah. Demikian pula sang raja terlihat gagah, berdiri tegak (sekali lagi maaf) padahal kaki beliau -pincang- kecil sebelah.
Rampung sudah lukisannya. Apa yang terjadi setelah raja menerima lukisan itu? Raja murka karena ia merasa terhina dengan gambar yang mengada-ada. Rekayasa berlebihan yang dibuat pelukis oportunis itu membuat raja tersinggung. Boleh jadi sebenarnya pelukis ingin membuat hati raja senang dengan ketidakobjektifannya. Apa hendak dikata raja pun marah besar dan mengusirnya.
Melihat kenyataan tersebut pelukis kedua mengambil pelajaran. Lalu ketika ia mendapat gilaran, ia melukis raja apa adanya. Bentuk dan kekurangan fisiknya ia sajikan secara vulgar. Hasilnya tentu saja sosok raja dalam lukisan yang ringkih dan tidak berwibawa. Ia berharap raja menyenangi lukisannya yang apa adanya. Setelah selesai lukisan diserahkan kepada raja. Kemudian setelah melihat lukisan tersebut muka raja memerah. Tanpa berkata-kata ia menghunus pedang dan menebas leher pelukis kedua hingga putus. Ternyata raja pun murka melihat gambarnya yang jelek tersebut.
Giliran pelukis ketiga. Dengan tenang ia menggores kanvasnya. Ia melukis raja seolah sedang ditengah belantara. Raja tengah berburu rusa. Pose yang ia buat raja sedang membidik rusa jantan dengan sebelah matanya terpejam diantara lubang senapan, kaki yang pendek sebelah diangkat dan tertekuk diatas bongkahan batu. Sementara diujung senapan seekor rusa jantan terkapar tertembak raja. Mata terpejam sebelah tapi seolah-olah sedang membidik rusa dan kaki memang nampak kecil sebelah, tapi sedang dengan gagahnya mengambil posisi menembak. Raja senang dan ia mendapat pujian serta hadiah.
Terkadang pujian yang mengada-ada terasa tidak nyaman ditelinga. Keluar dari mulut penjilat yang berharap simpati dan respon pragmatis, namun sesekali orang seperti ini bisa menusuk kita dari belakang. Disisi lain kita juga jengah dengan kritikan yang vulgar, terasa menjatuhkan harga diri. Apalagi jika penyampaiannya dilakukan dimuka umum.
Kita lebih suka kritik yang disampaikan dengan bahasa yang lembut. Cara yang elegan namun tidak melebihkan dan mengurangi. Hal seperti ini setidaknya tercermin dari bagaimana senangnya raja pada pelukis ketiga yang begitu elegan mencitrakan raja dengan keadaan yang jujur namun kreatif.
Seni Mengkritik
Demikian seni menyampaikan kritik, terlampau membutuhkan kepiawaian mengemas cara. Meskipun cukup sulit namun kita harus membiasakannya. Bukankah kritik bukan dimaksudkan untuk mempermalukan? karena jika demikian bukanlah kritik tapi penghinaan. Sementara apa yang diperoleh dari suatu penghinaan selain kemarahan dan kebencian? Kritik dibutuhkan untuk koreksi atau perbaikan. Oleh karenanya harus dilakukan secara objektif dan elegan untuk mencapai tujuan sebenarnya. Namun bagaimanapun kritik harus selalu ada, dan anti kritik adalah kedzaliman.
Mari menebar perbaikan bukan kebencian dan permusuhan. Kebencian dan permusuhan hanya akan melanggengkan dendam kusumat yang terbukti menjadikan kehancuran peradaban manusia. Hidup dalam iklim kemarahan hanya menyesakkan dada. Terbiasa melakukan perbaikan dengan cara melukai hati, meninggalkan kerusakan ditempat yang berbeda, yakni kehangatan dan persaudaraan. Apa yang paling mahal namun menentramkan? Tidak lain adalah persaudaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar