Jumat, April 16, 2010

Efek "GR" Kekuasaan

Kaya di puja miskin ditinggalkan. Kalimat ini sering saya dengar dari seseorang yang pernah kaya dan saatnya jatuh miskin, atau pernah berkuasa lalu kini telah pensiun atau tak memiliki kekuasaan lagi. Bagi banyak orang, biasanya motif berteman dekat atau berhubungan dengan orang lain adalah untuk memperoleh keuntungan material atau meningkatkan status mereka semata. Karena itu, tidak mengherankan bila ketika seseorang masih memiliki posisi dan pekerjaan yang hebat, banyak rekan maupun kerabat senang mendekati, ingin berdekatan, agar bisa mendapatkan keuntungan atau cipratan rezeki pula. Uang dan kekuasaan menjadi motif bagi orang-orang ini dalam berteman.

Bila kemudian setelah mengetahui Ia tidak lagi bisa memberikan
keuntungan, mereka tidak bersedia lagi untuk berakrab-akraban, tentunya mereka bukanlah contoh untuk menjadi teman yang baik. Teman sejati adalah mereka yang justru setia dan senantiasa bersedia untuk mendampingi kita dalam situasi apa pun, terutama situasi yang buruk.

Kekuasaan memang bagai magnet yang menyedot dan atau gula yang membuat semut senang mendekat. Pemahaman inilah yang semestinya dimiliki oleh para penguasa, atau yang saat ini tengah memiliki kekuasaan. Rumah yang tak pernah sepi dari tamu tidak sepenuhnya karena pesona pribadi yang dimiliki. Namun bisa jadi pesona kekuasaan yang memang begitu seksi untuk didekati. Apalagi jika sebelum kekuasaan itu dimiliki, rumahnya terbiasa sepi. Terlebih hati akan begitu sangat sunyi saat semua perlahan menjauh seiring perginya kuasa dari genggaman.

Bahayanya kekuasaan benar-benar memiliki efek GR. GR adalah singkatan dari Gede Rasa. Gede berasal dari bahasa Jawa yang artinya besar. Rasa berhubungan dengan perasaan seseorang. Jadi GR atau Gede Rasa artinya bisa merasa tersanjung yang tidak pada tempatnya; merasa penting atau terlalu percaya diri bahkan salah paham; bisa juga berarti perasaan senang dalam jumlah besar(gede=besar) atau berlebihan. GR adalah kata sifat. Dari kata ini kemudian timbul kata benda ke-GR-an. Dan ‘GR-GR-in’ adalah bentuk kata kerja slang yang artinya membuat seseorang merasa GR.

Ke GR-annya akan menjadikan seorang menjadi lupa diri, rasa hebat yang merasuk dalam dirinya menjadikan seorang pongah dan merasa dapat mengendalikan, mengatur bahkan memaksa seseorang melakukan apa yang dia inginkan. Bahkan memarahi, menghardik atau bertindak sewenang-wenang. Ada bisikan kesombongan yang seolah, memecat atau memberhentikan jabatan semuanya tergantung pada kehendaknya. Inilah perangai buruk warisan Fir'aun yang pernah merasa dirinya bagai Tuhan. Ia lupa bahwa saatnya nanti ia tak lagi menggenggam jabatan, ia tak akan lagi bisa melakukan hal itu.

Jejak kesombongannya akan menciptakan musuh, yang pada saatnya menunggu waktu membalas dendam. Teman-teman yang selama ini mengelilinginya satu persatu akan pergi dan mendekat pada kuasa yang baru.
Mereka yang memuja-muja saat benar maupun saat melakukan kekeliruan, menjadi lebih kritis dan bersuara lebih pedas. Tinggallah ia sendiri dalam kesunyian, mengidap post power syndrome yang akan mengancam psikisnya. Maka jauhilah GR, sikapi para oportunis dengan wisdom, nilailah teman dekat karena dedikasinya, bukan mulut manis yang terkadang menyesatkan. Ingatlah kekuasaan tak selamanya ada pada kita, semua ada masa akhirnya.


Saya merenung saat mendengar penuturan Sarwono Kusumaatmaja, suatu hari bercerita; Pada era Orde Baru di lingkungan pemerintahan waktu itu ada istilah “orang dalam” (inner circle) dan pejabat lingkaran luar (outer circle). Sikap lugas Saadilah Mursyid menempatkannya di lingkaran luar, berarti dia membedakan antara hubungan pribadi dengan hubungan dinas. Padahal jika dia mau, sebagai pejabat di lingkungan istana ia bisa menjadi “orang dalam” dengan akses tak terbatas kepada Presiden dan dengan demikian menjadi ‘orang kuat”. Ia tidak melakukannya.

Namun sejarah merubah posisi Saadilah. Pada bulan Mei 1998 sepulang Presiden Soeharto dari Kairo, Jakarta menjadi lautan api, kerusuhan, perusakan, penjarahan dan penganiayaan terhadap kaum Tionghoa terjadi. Gelombang demonstrasi memuncak, korban dari mahasiswa dan anggota masyarakat berjatuhan dan konflik di puncak pemerintahan akhirnya berbuah pada tuntutan agar Presiden mengundurkan diri. Reformasi menjadi semboyan perubahan. Empat belas orang menteri keluar dari kabinet. Ketika Presiden memanggil rapat keesokan harinya hanya Saadilah Mursyid yang datang hadir. Pak Harto pun paham bahwa waktunya untuk mundur telah tiba. Justru pada saat itulah Saadilah menjadi orang dalam di sekitar Pak Harto, bukan pada saat beliau dalam kedudukan Presiden. Namun sayangnya begitu langka orang seperti Saadilah.

Merasa GR memang suatu perasaan yang menyenangkan selama kita mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang bukan. Karena kalau kita mudah GR bisa repot urusannya, orang akan mudah mempermainkan perasaan kita. Apakah Anda sering merasa GR dalam hidup Anda? Hati-hati kalau berkuasa!
Suatu saat nanti anda akan mencari, kemana staf saya yang dulu membungkuk meminta tanda tangan saya? Kemana ajudan yang sigap membuka pintu mobil? Ada dimana mereka yang dulu rela menemani saya begadang hingga larut malam? Mengapa mereka tak datang jika saya panggil sekarang, mengapa telpon saya tidak diangkat? Mengapa dulu memuja sekarang mengkritik? Tentu saja saat anda tak berkuasa. Hati-hati saudaraku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar