Di sebuah komplek perumahan PNS tinggallah empat orang
anak, sebut saja namanya Lalas Simalas, Eep Episien, Ran
Aturan, dan Aam Amtenar.
Suatu hari, Ibu-ibu mereka sepakat untuk makan martabak.
Karena itu setiap ibu menyuruh anaknya beli martabak dan
membekali mereka masing-masing dengan uang Rp. 50.000,-.
Lalas dari awal sebenarnya tidak begitu selera dengan
martabak. Dia lebih suka KFC atau McDi. Tapi karena
didesak-desak ibunya, ketika sudah cukup malam akhirnya
dia keluar juga, namun sayangnya semua penjual martabak
sudah kehabisan. Akhirnya dia pulang dan mengembalikan
uang Rp. 45.000. Dia hanya pakai Rp. 5000 untuk sekali
naik ojeg pp.
Eep sudah tahu martabak special yang sangat enak di warung
dekat pasar. Harganya Rp. 25.000. Ongkos ojeg ke sana
pulang pergi Rp. 5000,- Eep memutuskan naik sepeda, beli
martabak special, kemudian menyerahkan martabak special
itu ke ibunya beserta uang kembalian Rp. 25.000,-
Ran Aturan tahu martabak special harganya cuma Rp. 25.000.
Tapi daripada uangnya sisa banyak, dia gunakan sekalian
untuk beli bakso dan es campur kesukaannya di warung
sebelah martabak, sambil nunggu martabaknya jadi. Dia
hanya minta agar bonnya disatukan dengan martabaknya.
Pulang ke ibunya, dia serahkan martabak special dan uang
kembalian Rp. 5000,- Katanya harga martabaknya Rp.
40.000. Kemudian di dapur dia berbagi bakso + es
campurnya dengan adiknya.
Aam sebenarnya juga sudah tahu warung martabak special
itu. Namun dia perlu pergi beberapa kali. Yang pertama
katanya buat survei untuk membandingkan berbagai jenis
martabak yang ada di pasar. Pulang laporan dulu. Lalu
pergi lagi untuk memastikan spesifikasi dan harganya.
Pulang laporan lagi. Baru ketiga kalinya dia pergi untuk
membeli martabak itu. Kali ini ia minta ditemani adiknya.
Dia bagian beli, adiknya bagian yang membawa.
Masing-masing sewa ojeg sendiri. Total dia perlu sewa
ojeg empat kali pp. Ketika dia pulang ke ibunya, dia
hanya menyerahkan martabak biasa yang Rp. 10.000-an.
Tidak ada uang kembalian karena tiap kali naik ojeg
katanya habis Rp. 10.000.
Keempat anak itu tidak tahu, kalau ibu-ibu mereka sering
ketemu dalam arisan. Jadi ibu-ibu itu tahu berapa harga
martabak special atau tarif ojeg yang riel. Apa komentar
ibu-ibu mereka?
Ibunya Lalas (bernada kesal): Anakku ini jika sudah punya
prinsip, susah. Bakatnya jadi demonstran.
Ibunya Eep: Anakku gak bakat jadi birokrat, jadi PNS-pun
sepertinya susah. Ntah mau jadi apa dia ?
Ibunya Ran: Anakku berbakat jadi birokrat. Dapat meraih
target dan masih untung lagi.
Ibunya Aam: Oh Anakku lebih berbakat jadi birokrat. Daya
serap anggarannya 100%!
Tiga puluh tahun kemudian:
Menteri Keuangan mengeluhkan daya serap APBN Kabupaten Anu
yang bupatinya adalah Lalas. Sudah November, ada proyek
infrastruktur di sana yang belum juga dimulai. Konon
karena kemauan bupati yang aktivis suatu parpol ini
berseberangan dengan DPRD yang didominasi parpol lain.
Eep jadi pengusaha sukses. Dia sempat menjadi salah satu
pembayar pajak terbesar. Meskipun krisis ekonomi melanda,
perusahaan Eep tetap bertahan karena efisien. Ketika ada
Pilkada, Eep diminta maju oleh banyak orang sebagai calon
independen, dan terpilih. Akhirnya Eep dikenal orang
sebagai Bupati yang gigih melakukan reformasi birokrasi.
Pemerintahannya bergaya enterpreneur, pelayanannya prima
dan index pembangunan manusia di daerahnya meningkat
pesat.
Ran juga menjadi bupati di suatu daerah, tetapi sepertinya
index pembangunan manusia selama pemerintahannya masih
seperti tiga puluh tahun yang lalu. Yang berubah cuma
rumah Ran yang kini tampak megah, mobilnya yang mewah dan
dan anak-anaknya yang bisa kuliah di Luar Negeri.
Aam jadi bupati juga, setelah sebelumnya lama jadi
birokrat. Tetapi kemudian ia berurusan dengan KPK, karena
selama jadi birokrat biasa memarkup anggaran, seakan-akan
seisi dunia tutup mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar