Sebenarnya saya ragu menulis tentang ini, tidak ada yang terlalu istimewa hanya sekedar share. Bermula dari chatbox suatu hari dari seorang teman lama yang ada dalam friendlist Facebook saya. Seperti biasa saat notebook online pasti beberapa link lainnya juga dalam kondisi online meski bisa saja saya sedang tidak beraktifitas didepan layar. Gara-gara suatu hari ada "sapaan" yang anggap saja nyasar ke dalam chatbox, dengan tulisan yang kira-kira seandainya kita baca akan menimbulkan tanya di kepala "nih orang siang-siang mabok atau mengigau ya?"
Saya spontan mengambil handphone dan menelpon temen, dan meminta pendapatnya. Ini "sapa'an" mau dijabanin atau tidaknya? Jawabannya sih..."biarin saja lah, jika memang itu sapaan benar buat anda, tidak usah di respon dan kalau ternyata salah, juga biarkan saja. Jadi tidak akan membuat dia malu" Bijak sekali kau siang ini bro! Terus akhirnya dilanjut lah panjang lebar diskusi tentang fecebook, yang Sebenarnya hanya ingin mengatakan satu kesimpulan saja 'pandai-pandailah menggunakan fecebook".
Fecebook pernah membuat banyak pengguna euforia, menemukan teman-teman lama, nostalgia jaman baheula, mentertawakan kekonyolan pengalaman usia "muda" dan berujung pada reuni sana-sini. Benar-benar seru. Facebook juga membuat pengguana mudah memiliki banyak teman-teman baru. Teman-teman yang sebelumya sama sekali tidak di kenal. Biasanya ada yang hobinya meng- add (menambah) temen yang memiliki kesamaan hal yang menarik misalnya; sama-sama suka photo, mem-photo, di-photo, atau sama-sama suka jalan-jalan, sama-sama suka membaca, sama-sama suka kick andy, sama-sama suka Opera Van Java, sama-sama suka lagu yang sama, sama-sama suka kata-kata bersayap, atau sekedar sama-sama narsis. Apalagi teman itu masuk kelompok pengguna dari planet yang bernama "masa lalu", hukumnya wajib di-add.
Maklum lah tidak jarang para pengguna termasuk kualifikasi makhluk yang kadar sanguin nya tinggi, suka sok kenal sok dekat sok akrab, suka sekali dengan kalimat kadang merayu, bisa saja kalimat semacam itu menimbulkan persepsi yang tidak nyaman untuk orang lain. Facebook dapat membantu penggunanya selalu merasa dekat dan tau aktifitas atau kejadian teman, sahabat dan keluarga ditengah keterbatasan jarak dan waktu. Bagi mereka fecebook adalah media yang efektif untuk menyampaikan "pesan". Beberapa kali mungkin kita terbantu oleh Facebook, terutama kabar duka, musibah atau sesuatu yang urgent.
Banyak yang sangat serius dan concern dengan facebook, sehingga sehari saja tidak online seperti kehilangan dari separuh dunianya. Apalagi jika membiarkan status update teman tanpa memberi jempol atau memberi comment; duh ada rasa yang sepertinya, kok saya gak punya empati banget pada temen yang sedang susah, jika statusnya mengeluh atau seakan-akan menggambarkan orang yang paling tertindas dimuka bumi.Minimal kirim doa lah, kasih semangat atau lanjut ke inbox, chatbox atau telepon, mungkin kita bisa jadi pendengar yang baik saat itu.
Terutama untuk temen yang akrab, biasanya jika mereka memiliki masalah, mereka sudah tau kok bagimana menyelesaikannya, tapi yang mereka lebih butuhkan adalah ada orang yang mau mendengarkan. Inilah habit para pengguna facebook kebanyakan.Oh ya, berbicara tentang "pesan", kita akan menemukan jutaan status yang mengirim sinyal pada kita apa, mengapa, siapa, sedang apa, kemana, dimana teman-teman Facebook kita saat itu. Ada yang mengirim 'sinyal' duka, sakit, senang, bahagia, makmur, sibuk, penting, hebat, sukses, sombong, dan ribuan pesan lain lewat status mereka. Termasuk sinyal yang kita kirim untuk mereka, bisa apapun isinya dan kepada siapa pun itu kita tujukan. Ini yang sering menjadi masalah,kadang kita sebal dengan status-status itu. Kesannya pengumuman banget, kesannya vulgar banget, kesannya ada orang yang merasa paling malang didunia.
Eits, tapi jangan lupa jangan-jangan ada juga yang sebal dengan status-status kita atau kita pun bisa jadi jika ada pada posisi mereka akan melakukan hal yang sama. Pandai-pandailah menyikapi status facebook, yang terpenting, hati-hati dengan status kita bila itu sudah menyangkut nama baik seseorang, nama baik keluarga, nama baik institusi yang anda masih mendapatkan nafkah darinya, jangan pernah merugikan orang lain. Fesbuk adalah jaringan sosial yang gratis, siapapun berhak menggunakan.Semua orang pasti berharap fecebook dapat digunakan dengan etika berkomunikasi yang baik. Namun kita tak harus menjadi polisi fecebook, yang bisa mengeluarkan "statement tilang" bagi mereka yang belum menggunakannya dengan baik.
Bila itu terjadi ya biar saja lah...beberapa orang mungkin memerlukan media untuk berekspresi...dengan cara-cara yang khas sesuai dengan personality yang mereka miliki. seperti seseorang yang extrovert, merasa nyaman curhat di facebook lewat note-note atau status. kalaupun sudah terasa mengganngu, toh anda dankita semua punya mekanisme untuk menyaring melalui setting di account kita sendiri. Ada blocking, remove, hiden dan lain-lain, apabila memang benar-benar anda sudah tidak nyaman dengan status-status yang mengganggu atau atas kebohongan-kebohongan dunia virtual yang sering terjadi. Andalah yang mengatur hidup anda.
Selasa, Juni 08, 2010
Haus Sebelum Kemarau
Apa yang akan anda lakukan jika dikabarkan akan terjadi kemarau panjang? Tentu saja akan melakukan serangkaian persiapan. Ada diantaranya yang melakukan penghematan air agar pada saatnya bisa bertahan, atau santai saja memasrahkan diri pada keadaan. Demikian pula dikisahkan, ada seorang lelaki kaya yang begitu menghawatirkan keadaannya jika kemarau itu benar-benar datang. Ia mengumpulkan air di ember, bahkan membuat kolam besar untuk menampung air sebanyak-banyaknya. Setiap hari ia lakukan itu sambil menunggu kemarau benar-benar tiba. Ia menggunakan jasa penduduk dengan imbalan dari kekayaan yang ia miliki.
Namun malang sekali laki-laki ini, ia tak menggunakan air barang setetespun. Bahkan untuk kebutuhan minum sehari-hari. Hingga badannya lemas dan pada suatu hari tetangga menemukannya tewas didalam rumahnya karena kekurangan cairan. Mati sebelum kemarau itu datang, kehausan ditengah gelimang air demi ketakutannya pada kemarau yang bisa jadi tak pernah ada. Kini berkacalah pada cerita diatas, pernahkah kita mengkhawatirkan pada sesuatu penderitaan yang dibayangkan kelak? Lalu kita ketakutan dan menderita meskipun penderitaan itu belum tiba? Dan bisa jadi cara merespon masalah kita begitu lebih menyakitkan dibanding kenyataan yang jika benar-benar menimpa suatu hari nati.
Lihat saja sebagian para politisi kita yang begitu takut akan berakhirnya masa kepemimpinan mereka. Menyiapkan langkah untuk dipilih kembali atau menyiapkan putra mahkota demi keberlangsungan kuasanya. Baru dilantik sudah memikirkan berakhirnya jabatan. Baru setahun sudah berfikir periode selanjutnya. Sehingga pengabdian sebagai filosofi kepemimpinan yang melayani rakyat terseret arus kecemasan yang membuat hari-harinya gelisah dan kehilangan ketenangan.
Kehausan sebelum kemarau benar-benar melanda. Hari-harinya sibuk dengan upaya menutupi ketakutannya. Apa yang dia minum belum tentu punya cita rasa lezat sebab gairah pada makanan dilenyapkan perasaan was-was. Kebaikan yang dilakukan belum tentu menenangkan batin. Sebab tindakannya selalu saja di lumuri perasaan ingin dipuji dan tak lagi dilatari perasan tulus dan ke ikhlasan. Program pembangunannya tak ditimbang lagi sebagai upaya mensejahterakan rakyat. Namun harus selalu dikaitkan dengan indikator ; apakah berpotensi meningkatkan popularitas dan elektabilitas pada perhelatan politik berikutnya atau tidak. Bukan kenyataan esensial saja yang telah dibunuh oleh ambisi masa depan, namun juga subtansialisasi visi pembangunan juga tercerabut paksa. Mengerikan sekali jika negeri ini terus di jangkiti budaya politik semacam ini.
Hidup Itu Hari Ini
Wahai para pecinta kekuasaan, hidup itu hari ini. Sehingga pertanyaan yang harus terus kita ajukan di pagi hari adalah; Apa yang terbaik yang bisa saya persembahkan hari ini? Sebagai bentuk pertanggung jawaban pada amanah hidup yang tersemat dipundak kita. Bukan bagaimana besok jika kekuasaan ini berakhir? Juga bukan apa yang telah kumiliki untuk kutinggalkan pada tujuh turunanku jika aku mati kelak. Matilah kita pada kenyataannya padahal belum mati yang sebenarnya. Meminjam Aid Alqarni; menyesali masa lalu ibarat menggergaji debu, lebih ekstrim lagi membangunkan mayat. Sia-sia tiadak ada gunanya. Mengkhawatirkan masa depan ibarat memetik durian mentah yang belum saatnya dimakan. Hidup itu hari ini, jika semua peran kita maksimalkan hari ini maa otomatis akan menorehkan kebakan dimasa lalu dan menciptakan kesuksesan di masa depan. Jinakkanlah nafsu kekuasaan kita untuk selanjutnya memelihara keikhlasan dan rasa pengabdian.
Keikhlasan Dari Para Teladan
Ambisi berkuasa, itulah yang menggulung kehidupan manusia modern. Menekuk dan melipat rasa, tak berkutik dibawah bekukan keserakahan. Akankah mereka yang saat ini diberikan amanah memimpin laiknya para teladan kita yang begitu cemerlang memimpin rakyat dan bangsanya...kita rindu dengan Umar bin Abdul Aziz r.a...yang walau hanya di beri kesempatan 3 tahun menjadi pemimpin ..namun dimasanya tidak ditemukan / dan teramat susah mencari mustahik atau orang yang akan diberikan zakat. Kita juga pasti merindukan pemimpin seperti Umar ibn Khatab. r.a..yang mempaunyai prinsip "ketika ada kelaparan dialah yang pertama meresakan lapar. Sementara ketika ada kesenangan dialah yang terakhir merasakan kenyang. Lalu lihatlah sejauh mana rasa kepedulian mereka para pemimpin kita untuk mendahulukan kepentingan rakyatnya.
Ingatkah kita dengan Said bin Umair salah seorang gebernur yang ditunjuk khalifah Umar bin Khatab di daerah Homs Syria yang waktu itu memerlukan penangan serius karena kemiskinan masyrakatnya. Khalifah mempunyai program pengentasan kemiskinan untuk daerah itu, maka dimintalah data valid dari daerah ini untukkelancaran program ini. setelah utusan dari Homs memberikan data kepada khalifah dan diteliti satu persatu. Sang khalifah terkejut dan bertanya.."Berapa orangkah di daerahmu orang yang bernama Said Bin Umair..? utusan ini menjawab .." Hanya satu Ya Amirul Mukminin..dia adalah gubernur kami" benarkah Gubernurmu ini fakir ..? lanjut khalifah..."benar ..sudah tiga hari ini dapurnya tidak berasap.." Umar yang semula hanya berkaca-kaca, akhirnya menangis denga kondisi ini..kemudian Khalifah memberikan uang seribu dinar dan berkata " berikan ini kepada gubernurmu untuk bekal hidupnya. Hari yang paling dirindui mereka tentu saja syurga, hari yang paling ditakutkan mereka adalah neraka saat keputusan pertanggungjawaban kepemimpinan di sidangkan. Jadi, saat memimpin yang dilakukan adalah optimalisasi dari kinerja, bukan menumpuk kekayaan serta merekayasa masa depan kekuasaannya. Sungguh sulit kita menirunya.
Namun malang sekali laki-laki ini, ia tak menggunakan air barang setetespun. Bahkan untuk kebutuhan minum sehari-hari. Hingga badannya lemas dan pada suatu hari tetangga menemukannya tewas didalam rumahnya karena kekurangan cairan. Mati sebelum kemarau itu datang, kehausan ditengah gelimang air demi ketakutannya pada kemarau yang bisa jadi tak pernah ada. Kini berkacalah pada cerita diatas, pernahkah kita mengkhawatirkan pada sesuatu penderitaan yang dibayangkan kelak? Lalu kita ketakutan dan menderita meskipun penderitaan itu belum tiba? Dan bisa jadi cara merespon masalah kita begitu lebih menyakitkan dibanding kenyataan yang jika benar-benar menimpa suatu hari nati.
Lihat saja sebagian para politisi kita yang begitu takut akan berakhirnya masa kepemimpinan mereka. Menyiapkan langkah untuk dipilih kembali atau menyiapkan putra mahkota demi keberlangsungan kuasanya. Baru dilantik sudah memikirkan berakhirnya jabatan. Baru setahun sudah berfikir periode selanjutnya. Sehingga pengabdian sebagai filosofi kepemimpinan yang melayani rakyat terseret arus kecemasan yang membuat hari-harinya gelisah dan kehilangan ketenangan.
Kehausan sebelum kemarau benar-benar melanda. Hari-harinya sibuk dengan upaya menutupi ketakutannya. Apa yang dia minum belum tentu punya cita rasa lezat sebab gairah pada makanan dilenyapkan perasaan was-was. Kebaikan yang dilakukan belum tentu menenangkan batin. Sebab tindakannya selalu saja di lumuri perasaan ingin dipuji dan tak lagi dilatari perasan tulus dan ke ikhlasan. Program pembangunannya tak ditimbang lagi sebagai upaya mensejahterakan rakyat. Namun harus selalu dikaitkan dengan indikator ; apakah berpotensi meningkatkan popularitas dan elektabilitas pada perhelatan politik berikutnya atau tidak. Bukan kenyataan esensial saja yang telah dibunuh oleh ambisi masa depan, namun juga subtansialisasi visi pembangunan juga tercerabut paksa. Mengerikan sekali jika negeri ini terus di jangkiti budaya politik semacam ini.
Hidup Itu Hari Ini
Wahai para pecinta kekuasaan, hidup itu hari ini. Sehingga pertanyaan yang harus terus kita ajukan di pagi hari adalah; Apa yang terbaik yang bisa saya persembahkan hari ini? Sebagai bentuk pertanggung jawaban pada amanah hidup yang tersemat dipundak kita. Bukan bagaimana besok jika kekuasaan ini berakhir? Juga bukan apa yang telah kumiliki untuk kutinggalkan pada tujuh turunanku jika aku mati kelak. Matilah kita pada kenyataannya padahal belum mati yang sebenarnya. Meminjam Aid Alqarni; menyesali masa lalu ibarat menggergaji debu, lebih ekstrim lagi membangunkan mayat. Sia-sia tiadak ada gunanya. Mengkhawatirkan masa depan ibarat memetik durian mentah yang belum saatnya dimakan. Hidup itu hari ini, jika semua peran kita maksimalkan hari ini maa otomatis akan menorehkan kebakan dimasa lalu dan menciptakan kesuksesan di masa depan. Jinakkanlah nafsu kekuasaan kita untuk selanjutnya memelihara keikhlasan dan rasa pengabdian.
Keikhlasan Dari Para Teladan
Ambisi berkuasa, itulah yang menggulung kehidupan manusia modern. Menekuk dan melipat rasa, tak berkutik dibawah bekukan keserakahan. Akankah mereka yang saat ini diberikan amanah memimpin laiknya para teladan kita yang begitu cemerlang memimpin rakyat dan bangsanya...kita rindu dengan Umar bin Abdul Aziz r.a...yang walau hanya di beri kesempatan 3 tahun menjadi pemimpin ..namun dimasanya tidak ditemukan / dan teramat susah mencari mustahik atau orang yang akan diberikan zakat. Kita juga pasti merindukan pemimpin seperti Umar ibn Khatab. r.a..yang mempaunyai prinsip "ketika ada kelaparan dialah yang pertama meresakan lapar. Sementara ketika ada kesenangan dialah yang terakhir merasakan kenyang. Lalu lihatlah sejauh mana rasa kepedulian mereka para pemimpin kita untuk mendahulukan kepentingan rakyatnya.
Ingatkah kita dengan Said bin Umair salah seorang gebernur yang ditunjuk khalifah Umar bin Khatab di daerah Homs Syria yang waktu itu memerlukan penangan serius karena kemiskinan masyrakatnya. Khalifah mempunyai program pengentasan kemiskinan untuk daerah itu, maka dimintalah data valid dari daerah ini untukkelancaran program ini. setelah utusan dari Homs memberikan data kepada khalifah dan diteliti satu persatu. Sang khalifah terkejut dan bertanya.."Berapa orangkah di daerahmu orang yang bernama Said Bin Umair..? utusan ini menjawab .." Hanya satu Ya Amirul Mukminin..dia adalah gubernur kami" benarkah Gubernurmu ini fakir ..? lanjut khalifah..."benar ..sudah tiga hari ini dapurnya tidak berasap.." Umar yang semula hanya berkaca-kaca, akhirnya menangis denga kondisi ini..kemudian Khalifah memberikan uang seribu dinar dan berkata " berikan ini kepada gubernurmu untuk bekal hidupnya. Hari yang paling dirindui mereka tentu saja syurga, hari yang paling ditakutkan mereka adalah neraka saat keputusan pertanggungjawaban kepemimpinan di sidangkan. Jadi, saat memimpin yang dilakukan adalah optimalisasi dari kinerja, bukan menumpuk kekayaan serta merekayasa masa depan kekuasaannya. Sungguh sulit kita menirunya.
Mengapa Singa Menjadi Raja?
Suatu sore penulis merasa terusik dengan satu pertanyaan yang tiba-tiba terlintas dalam fikiran yang padat dengan kegelisahan. Mengapa singa dijuluki Si Raja Hutan? Padahal sebagaimana maklumnya Singa banyak hidup di Afrika tepatnya di padang rumput, mengapa justru malah menjadi raja hutan? Langkah pertama penulis mengirimkan pesan singkat dari ponsel. Karena dianggap sebagai pertanyaan gurauan sahabat penulis menjawab dengan jawaban sekenanya. Mending menjadi raja hutan dari pada menjadi raja singa (nama sejenis penyakit).
Namun kegelisahan ini sungguh mengganggu penulis. Kontan saja ada ide untuk mengaktifkan jaringan internet dan berselancar menanyakan pertanyaan ini ke yahoo answer situs tempat kita saling bertanya dan memberikan jawaban. Jawaban yang penulis peroleh salah satunya seperti ini.”Sebenarnya julukan itu memang kurang tepat, tapi ada beberapa pihak yang beralasan sebagai berikut: Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja. Mayoritas orang telah beranggapan bahwa Afrika identik dengan hutan walaupun banyak terdapat rumput dan letak pohon-pohon yang tidak berdekatan (tersebar), tidak seperti layaknya ciri-ciri suatu hutan apalagi hutan tropis. Julukan tersebut diambil dari seorang raja yang bernama Leonidas (Leo/Leon/Lion = singa)”.
Aha, penulis menemukan jawaban yang setidaknya mampu mengisi rasa keingintahuan. Dari beberapa jawaban, satu jawaban bahwa Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja menjadi jawaban yang menyentak. Sehingga thesis saya seperti ini, siapapun kita ketika Berjaya dan sedikit bengis lalu sedikit sekali yang berani melawan akan menguasai properti, otoritas dan akomodasi atau menguasai rantai makanan, otomatis akan menjadi raja. Belum selesai menuntaskan persoalan raja, lalu penulis berselancar menuju situs pencarian elektronik ternama google dengan mengetik “raja adalah” dengan harapan mengetahui makna dari kata raja sesungguhnya. Tidak banyak yang dengan cepat bisa menjawab pertanyaan ini. Tapi penulis tertarik dengan satu jawaban. Jawabannya begini; pemimpin laki-laki kalau perempuan ratu dalam sebuah kerajaan (monarchi) atau orang yang berkepentingan/memegang jabatan paling tinggi dalam sebuah kelompok. Jawaban ini tidak mencerminkan jawaban akademik namun cukup memuaskan.
Pertanyaan mengapa singa bisa menjadi raja hutan akan sepadan dengan beberapa pertanyaan tentang mengapa kadang kita merasa heran hadir ditengah-tengah kita seorang pemimpin yang tidak sejalan dengan kehendak kita lalu menjelma bak seorang raja. Seseorang yang seharusnya pantas justeru dikalahkan oleh mereka yang tidak seharusnya. Jawaban sederhananya adalah karena tidak ada yang kuat melawannya dan ia terlanjur menjadi kuat dan “menguasai rantai makanan”. Pernyataan ini juga tidak selamanya benar, namun penulis tengah mencoba untuk mencari-cari filosofi yang pas agar kita bisa mengambil pelajaran dari fakta kehidupan tersebut.
Namun pemimpin tentu saja bukan raja, hal ini merujuk pada kesepakatan kita hidup berbangsa dengan menjunjung nilai-nilai demokrasi dan bukan monarchi. Sebab pemimpin dalam demokrasi memang memegang kekuasaan namun kekuasaan itu dibatasi. Batasannya adalah hukum konstitusional dan wewenang yang di bagi sebagaimana teori Trias politika dan ide Aristoteles bahwa kekuasaan tidaklah lazim dipegang oleh satu tangan. Kekuasaan tanpa batas tersebut dikhawatirkan akan terjadi abuse of power.
Semestinya meskipun negara sebagai suatu organisasi kekuasaan, namun ia berada di antara dua titik orientasi, yaitu upaya memaksimalkan pencapaian tujuan bernegara dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Namun persoalannya kemudian adalah mengapa kecendrungan kepemimpinan yang begitu otoritatif bak raja selalu saja terjadi? Seseorang dengan powerfull mampu mengkondisikan segala kebijakan pada kekuasaan dirinya semata. Lebih parah lagi jika kekuasaan kuat dalam genggaman satu tangan itu mampu menginternalisasikan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan hajat publik.
Makna paling dasar dari “demokrasi” adalah kekuasaan ada ditangan rakyat. Demokrasi berbeda dengan monarki (kekuasaan satu orang), aristokrasi (kekuasaan orang yang terbaik) dan oligarki (kekuasaan ada pada sebagian orang). Demokrasi dipilih oleh kalangan cerdik pandai sebagai alternatif terbaik dan yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Demokrasi kini makin diartikan sebagai hak pilih yang dimiliki semua rakyat secara umum. Oleh karenanya, pemilu dianggap sebagai aspek popular atau utama dari demokrasi.
Maka logika bahwa Singa mampu menjelma menjadi Raja disebabkan tak seorangpun mampu melawannya adalah logika check and balances. Kawal kendali ini adalah konsep agar tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang. Singa tidak akan menjelma menjadi Raja jika ia dikalahkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan lebih tinggi atau setidaknya sama. Prinsip checks and balances dapat dilacak awal mulanya dari teori pemisahan kekuasaan. Prinsip ini lahir agar dalam pemisahan kekuasaan tidak terjadi kebuntuan hubungan antarcabang kekuasaan serta untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di dalam satu cabang kekuasaan. Aristoteles dalam buku ”Politics” menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian,yaitu pertama,kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan berupa prinsipprinsip yang harus ditaati warga negara, yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang disebut kekuasaan eksekutif.
Sedangkan logika singa menguasai rantai makanan dan semua binatang tunduk dibawah kekuasaan dirinya adalah logika konstitusional. Logika yang membangun kepastian bahwa sekuat apapun kemampuan logistik seseorang, tetap tidak boleh menguasai kekuasaan di ranah demokrasi dengan membeli semua kekuatan atau dengan kata lain menaklukannya. Sejatinya hukum tidak boleh ditaklukan oleh uang. Jika hal ini bisa diwujudkan maka tidak ada keanehan “mengapa Singa bisa menjadi raja dialam demokrasi manusia?”
Di negara ini hukumlah yang semestinya menjadi panglima meskipun Hukum adalah produk politik, dan sistem politik ditentukan oleh hukum tata negara (konstitusi). Tetapi hukum statis, sementara politik dinamis karena bahan dasarnya adalah suara rakyat, parpol dan kelompok-kelompok kepentingan. Artinya, politik lebih memegang kendali daripada hukum, baik memegang kendali atas hukum atau atas hal-hal selainnya. Fenomena ini seharusnya tidak perlu dirisaukan karena itulah keadaan dasar hukum dan politik. Sejauh politik dapat dikendalikan ke arah positif, maka hukum juga akan positif.
Semangat yang mematikan sistem sebaik apapun adalah keserakahan. Keserakahan memang menjadi ciri dari manusia. Namun kesalahan bukan pada keserakahan. Manusia pada dasarnya sudah serakah. Tapi bagaimana regulasi dapat mengendalikan dan menyalurkan hasrat kepentingan diri itu sehingga dapat tercipta sebuah tatanan. Ilmu ekonomi lahir berupaya menjawab itu. Ilmu politik, dan bahkan ilmu agama juga sangat memahami esensi dasar manusia itu. Selama hasrat itu dilakukan secara eksesif, tanpa memikirkan orang lain, tanpa memikirkan lingkungan, maka bisa dipastikan hasrat mengejar kepentingan diri akan berdampak buruk. Namun, bila gerak pengejaran kepentingan diri ini dilakukan dengan dasar simpati, diatur dengan baik, tatanan akan terwujud. Tapi kita tahu, kenyataan tak semudah itu.
Namun kegelisahan ini sungguh mengganggu penulis. Kontan saja ada ide untuk mengaktifkan jaringan internet dan berselancar menanyakan pertanyaan ini ke yahoo answer situs tempat kita saling bertanya dan memberikan jawaban. Jawaban yang penulis peroleh salah satunya seperti ini.”Sebenarnya julukan itu memang kurang tepat, tapi ada beberapa pihak yang beralasan sebagai berikut: Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja. Mayoritas orang telah beranggapan bahwa Afrika identik dengan hutan walaupun banyak terdapat rumput dan letak pohon-pohon yang tidak berdekatan (tersebar), tidak seperti layaknya ciri-ciri suatu hutan apalagi hutan tropis. Julukan tersebut diambil dari seorang raja yang bernama Leonidas (Leo/Leon/Lion = singa)”.
Aha, penulis menemukan jawaban yang setidaknya mampu mengisi rasa keingintahuan. Dari beberapa jawaban, satu jawaban bahwa Sedikit binatang yang berani menantang singa, oleh karena itu singa termasuk berada di puncak rantai makanan dan dianggap raja menjadi jawaban yang menyentak. Sehingga thesis saya seperti ini, siapapun kita ketika Berjaya dan sedikit bengis lalu sedikit sekali yang berani melawan akan menguasai properti, otoritas dan akomodasi atau menguasai rantai makanan, otomatis akan menjadi raja. Belum selesai menuntaskan persoalan raja, lalu penulis berselancar menuju situs pencarian elektronik ternama google dengan mengetik “raja adalah” dengan harapan mengetahui makna dari kata raja sesungguhnya. Tidak banyak yang dengan cepat bisa menjawab pertanyaan ini. Tapi penulis tertarik dengan satu jawaban. Jawabannya begini; pemimpin laki-laki kalau perempuan ratu dalam sebuah kerajaan (monarchi) atau orang yang berkepentingan/memegang jabatan paling tinggi dalam sebuah kelompok. Jawaban ini tidak mencerminkan jawaban akademik namun cukup memuaskan.
Pertanyaan mengapa singa bisa menjadi raja hutan akan sepadan dengan beberapa pertanyaan tentang mengapa kadang kita merasa heran hadir ditengah-tengah kita seorang pemimpin yang tidak sejalan dengan kehendak kita lalu menjelma bak seorang raja. Seseorang yang seharusnya pantas justeru dikalahkan oleh mereka yang tidak seharusnya. Jawaban sederhananya adalah karena tidak ada yang kuat melawannya dan ia terlanjur menjadi kuat dan “menguasai rantai makanan”. Pernyataan ini juga tidak selamanya benar, namun penulis tengah mencoba untuk mencari-cari filosofi yang pas agar kita bisa mengambil pelajaran dari fakta kehidupan tersebut.
Namun pemimpin tentu saja bukan raja, hal ini merujuk pada kesepakatan kita hidup berbangsa dengan menjunjung nilai-nilai demokrasi dan bukan monarchi. Sebab pemimpin dalam demokrasi memang memegang kekuasaan namun kekuasaan itu dibatasi. Batasannya adalah hukum konstitusional dan wewenang yang di bagi sebagaimana teori Trias politika dan ide Aristoteles bahwa kekuasaan tidaklah lazim dipegang oleh satu tangan. Kekuasaan tanpa batas tersebut dikhawatirkan akan terjadi abuse of power.
Semestinya meskipun negara sebagai suatu organisasi kekuasaan, namun ia berada di antara dua titik orientasi, yaitu upaya memaksimalkan pencapaian tujuan bernegara dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Namun persoalannya kemudian adalah mengapa kecendrungan kepemimpinan yang begitu otoritatif bak raja selalu saja terjadi? Seseorang dengan powerfull mampu mengkondisikan segala kebijakan pada kekuasaan dirinya semata. Lebih parah lagi jika kekuasaan kuat dalam genggaman satu tangan itu mampu menginternalisasikan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan hajat publik.
Makna paling dasar dari “demokrasi” adalah kekuasaan ada ditangan rakyat. Demokrasi berbeda dengan monarki (kekuasaan satu orang), aristokrasi (kekuasaan orang yang terbaik) dan oligarki (kekuasaan ada pada sebagian orang). Demokrasi dipilih oleh kalangan cerdik pandai sebagai alternatif terbaik dan yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Demokrasi kini makin diartikan sebagai hak pilih yang dimiliki semua rakyat secara umum. Oleh karenanya, pemilu dianggap sebagai aspek popular atau utama dari demokrasi.
Maka logika bahwa Singa mampu menjelma menjadi Raja disebabkan tak seorangpun mampu melawannya adalah logika check and balances. Kawal kendali ini adalah konsep agar tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang. Singa tidak akan menjelma menjadi Raja jika ia dikalahkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan lebih tinggi atau setidaknya sama. Prinsip checks and balances dapat dilacak awal mulanya dari teori pemisahan kekuasaan. Prinsip ini lahir agar dalam pemisahan kekuasaan tidak terjadi kebuntuan hubungan antarcabang kekuasaan serta untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di dalam satu cabang kekuasaan. Aristoteles dalam buku ”Politics” menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian,yaitu pertama,kekuasaan untuk mengadakan peraturan-peraturan berupa prinsipprinsip yang harus ditaati warga negara, yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan, yang disebut kekuasaan eksekutif.
Sedangkan logika singa menguasai rantai makanan dan semua binatang tunduk dibawah kekuasaan dirinya adalah logika konstitusional. Logika yang membangun kepastian bahwa sekuat apapun kemampuan logistik seseorang, tetap tidak boleh menguasai kekuasaan di ranah demokrasi dengan membeli semua kekuatan atau dengan kata lain menaklukannya. Sejatinya hukum tidak boleh ditaklukan oleh uang. Jika hal ini bisa diwujudkan maka tidak ada keanehan “mengapa Singa bisa menjadi raja dialam demokrasi manusia?”
Di negara ini hukumlah yang semestinya menjadi panglima meskipun Hukum adalah produk politik, dan sistem politik ditentukan oleh hukum tata negara (konstitusi). Tetapi hukum statis, sementara politik dinamis karena bahan dasarnya adalah suara rakyat, parpol dan kelompok-kelompok kepentingan. Artinya, politik lebih memegang kendali daripada hukum, baik memegang kendali atas hukum atau atas hal-hal selainnya. Fenomena ini seharusnya tidak perlu dirisaukan karena itulah keadaan dasar hukum dan politik. Sejauh politik dapat dikendalikan ke arah positif, maka hukum juga akan positif.
Semangat yang mematikan sistem sebaik apapun adalah keserakahan. Keserakahan memang menjadi ciri dari manusia. Namun kesalahan bukan pada keserakahan. Manusia pada dasarnya sudah serakah. Tapi bagaimana regulasi dapat mengendalikan dan menyalurkan hasrat kepentingan diri itu sehingga dapat tercipta sebuah tatanan. Ilmu ekonomi lahir berupaya menjawab itu. Ilmu politik, dan bahkan ilmu agama juga sangat memahami esensi dasar manusia itu. Selama hasrat itu dilakukan secara eksesif, tanpa memikirkan orang lain, tanpa memikirkan lingkungan, maka bisa dipastikan hasrat mengejar kepentingan diri akan berdampak buruk. Namun, bila gerak pengejaran kepentingan diri ini dilakukan dengan dasar simpati, diatur dengan baik, tatanan akan terwujud. Tapi kita tahu, kenyataan tak semudah itu.
Minggu, Juni 06, 2010
Semangat MM dan NMR
Fitron Nur Ikhsan
Masyarakat Pena Saija
Sabtu 5 Juni 2010 petang saya menemukan pribadi yang mengajarkan arti sebuah pengabdian. Pribadi yang belum lama saya kenal secara dekat, pribadi yang dulu sering saya dengar namanya namun belakangan baru saya kenal wajahnya. Mukhtar Mandala, malam itu ia menerbitkan satu buku yang menggugah banyak jiwa. Buku istimewa, sebab buku tersebut merupakan kado yang ia persembahkan untuk kampung dimana ia dibesarkan. Kampung kecil yang ia beri nama Nyi Mas Ropoh (NMR). Mukhtar Mandala (MM) malam itu menggugah anak muda untuk memulai atau melanjutkan satu kata yang begitu inspiratif, “Pengabdian”. Saya gelisah sepanjang malam, diusia 65 tahun begitu banyak kearifan dapat saya timba dari MM, Tidak terasa esok harinya Minggu, 6 Juni 2010 saya menginjak 30 tahun, usia yang seharusnya menginjak kemapanan, usia yang seharusnya menancapkan kekokohan. Usia yang seharusnya telah mulai menghitung sedikit sisa umur untuk berbuat hal besar. Dan 30 tahunku adalah 30 tahun penuh ketakutan, 30 tahun penuh harapan, 30 tahun dimana orang-orang tercinta risau, menunggu, khawatir dan prihatin. Saya tidak terlahir sebagai orang Banten, tapi hidup dan dibesarkan di Banten. Dimana kegelisahan dan kemarahan sering terlampiaskan disini. Malam hari itu membuat saya semakin semangat bahwa setidaknya saya bisa seperti MM mengabdi tiada henti
Nyi Mas Ropoh kampungku. Begitulah ia memberi judul buku itu. Bagi banyak orang kampung halaman adalah tempat yang setidaknya memendam legenda. Karena memang disanalah kita di lahirkan, bermain, bercengkerama dengan teman sebaya. Namun tak semua bisa terus bertahan karena harus menimba, mencari dan bahkan menggapai perubahan dengan memilih meninggalkannya. Kadang kita sangat beruntung, dengan meninggalkan tanah kelahiran kemudian memulai perubahan, menemukan yang kita cari dan menggapai apa yang kita inginkan. Namun banyak sekali diantara kita yang tak memilih kembali. Karena kehidupan ditempat yang baru memanjakan mimpi-mimpi. Atau bisa jadi dihati kita, kampung halaman menjadi asing, karena segalanya serba terbatas dan masghul kita memikirkannya karena terlalu asyik didunia kita yang serba baru.
Tapi tidak bagi Mukhtar Mandala. Malam itu empat puluh tahun lalu ia memulai melakukan perubahan, ia ingin kampung tempatnya lahir dan dibesarkan berubah. Ia memulainya dengan satu kunci “pemberdayaan”. Fikiran saya melesat jauh, semangat saya sejenak berapi-api, khayalan saya mendesak-desak ingin segera dapat melakukan hal yang sama. Lalu dalam lamunan saya berfikir; misalkan saja setiap sarjana kembali kekampung, atau setidaknya tak melupakan kampungnya, kemudian melakukan sedikit atau banyak dengan kemampuan yang dia miliki, mendorong perubahan kecil yang ia mulai dari kampungnya, upaya tersebut akan menjadi tindakan nyata merubah Indonesia. Tapi sayang tidak banyak yang bisa melakukan itu, termasuk penulis.
MM memulai dengan semangat kebersamaan, menyadari perubahan tak bisa ia selesaikan sendiri. Merubah kognisi masyarakat, mendorong mereka menciptakan energi perubahan ternyata mungkin dan dapat dilakukan. Masyarakat sesungguhnya memiliki potensi besar untuk memacu perubahan tanpa harus dipaksa, disuapi atau dimanjakan pemerintah. Seperti yang MM lakukan di mulai di tanah kelahirannya. Kita selalu dilanda kesalahpandangan bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab pada kemajuan, pemimpinlah yang harus menyeret-nyeret kita pada perubahan, dan kita lupa sesungguhnya kita adalah pemimpin dan kehadiran kita dituntut untuk melakukan hal yang paling berharga. Begitulah panggilan jiwa manusia pembelajar (humanity calling), manusia yang lebih dulu terpanggil; jika tidak saya, siapa yang akan memulai.
Jiwa pengabdian memang tak boleh menuntut penghargaan, sebab air tak pernah terlihat saat bangunan telah berdiri kokoh. Padahal tanpa air siapa yang mampu mengikat dan mengeratkan pasir, semen dan batu bata? Tanpa air mana mungkin bangunan itu ada? Tapi air menghilang tak lama setelah setumpuk, dua tumpuk batu-bata tertata. Air tak terlihat sama sekali saat bangunan telah kokoh dan dengan gagahnya ia berdiri. Bahkan kita tidak ingat, jika begitu penting peran air pada peristiwa besar itu. Kita justru asyik memuji genting, keramik dan kaca-kaca. Sungguh air mengajarkan keikhlasan.
Malam itu saat peluncuran buku memperingati 25 tahun NMR, juga bertepatan dengan ulang tahun ke 65 MM. Suasana haru memaksa air mata saya menitik, teringat almarhum Uwes Qarni (UQ) dan Ekky Syahrudin (ES), sosok pejuang itu hadir dalam semangat kecintaan saya pada Banten. Terlalu singkat saya menegenal beliau. Saat perjuangan pendirian Provinsi Banten UQ dan ES mengajarkan kita seperti menanam pohon. Menanam dan tidak harus kita yang menuai hasilnya. Jika tidak ada yang menanam kelapa, tak mungkin kita bisa merasakan buah segarnya. Begitu banyak sosok pejuang di Banten ini yang mengajarkan satu kata “pengabdian”.
Saya merindukan ada satu kesempatan bisa menyambung rasa, menularkan semangat juang yang mulai pudar di dunia anak muda saat ini. Entah apa pemicunya? mungkin kita kini sibuk memikirkan diri kita sendiri, mungkin kita asik membuat sekat dan mempertebal perbedaan, atau mungkin kini kita lelah jika harus terus menanam. Kita tergoda untuk memilih menjadi pemanen saja. Jika itu benar menjadi pilihan, tanpa kita sadari kita akan mewariskan kelemahan pada generasi mendatang. Kelemahan yang saya bayangkan adalah kelemahan daya juang. Padahal daya juang sampai kapanpun kita butuhkan.
Sambung rasa, dialog antar generasi, menimba kearifan yang jarang terjadi. Tapi saya beruntung menemukannya di NMR. Meskipun bukan sebagai inisiator, saya bersyukur memiliki kesempatan untuk ikut berdiskusi di sebuah Forum Cendikia Banten, FCB dibidani MM kelahirannya. MM mempertemukan kami dengan Surjadi Sudirja, petuah dan pengalamannya membuat semangat perjuangan kami berbinar. MM juga mempertemukan kami dengan Roni Niti Baskara, Farich Nahril, Mardini, Yoyo Mulyana, Dainul Hay dan kami menunggu untuk berjibaku menimba pengalaman dengan Triana Syam’un, Taufik Ruki, Irsyad Juaeli, H.M.A Tihami, Embay Mulya Syarif, dan tokoh Banten lainnya. Di NMR akhirnya kami juga mengenal pemuda Banten yang sudah gemilang, Ibnu Hammad, Ahmad Mukhlis Yusuf, Lily Romly, Gola Gong, Abdul Hamid, Abdul Malik, Firman Venayaksa, Hery Erlangga, Zaenal Muttaqin, Amir Hamzah dengan latar belakang beragam serta ideologi politik yang telah terkotak. Jika tokoh Banten menyatu menanggalkan kepentingan dan ego ideologi mengapa kita yang muda tidak bisa? Dan tidak harus mencaci kelemahan atau memperuncing perbedaan.
Saya tidak tahu apakah fakta sejarah ini tertulis atau tidak, namun NMR pernah merekonsiliasi dan menjembatani perbedaan pendapat saat detik-detik Banten dideklarasikan menjadi Provinsi. NMR juga menjadi tempat bersejarah karena peristiwa besar juga di gaungkan dari kampung kecil itu. Saya tidak mensakralkan tempat, saya hanya merindukan ada reuni semangat yang juga di wariskan kepada anak muda Banten, untuk kembali mengatakan kepada sejarah; Banten di bangun untuk sebuah tujuan luhur, mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan membangun peradaban yang lebih maju. Banten saat itu bukanlah Banten yang diperjuangkan untuk kemudian diserahkan secara cuma-cuma kepada keserakahan, di gelontorkan ibarat cek kosong tanpa tujuan. Ingat! Banten di bangun dengan keringat dan air mata.
NMR malam itu memang begitu sederhana. Namun MM membawa hadirin untuk kembali memaknai bahwa pengabdian dimulai dari diri sendiri, tak harus memulai dari hal yang besar tapi mengawalinya dari yang kecil, tidak harus terburu-buru namun tetap menjaga kepastian, keyakinan bahwa idealisme tak boleh tercerabut sedikitpun dari jiwa kita. Tidak banyak yang ingin saya zooming dari lesson learned peluncuran buku Nyi Mas Ropoh (NMR), satu kalimat yang saya telah tulis malam itu di buku harian; “pengabdian harus dimulai tanpa harus berfikir kapan mengakhirinya”. Selamat Ulang Tahun Mukhtar Mandala!
Masyarakat Pena Saija
Sabtu 5 Juni 2010 petang saya menemukan pribadi yang mengajarkan arti sebuah pengabdian. Pribadi yang belum lama saya kenal secara dekat, pribadi yang dulu sering saya dengar namanya namun belakangan baru saya kenal wajahnya. Mukhtar Mandala, malam itu ia menerbitkan satu buku yang menggugah banyak jiwa. Buku istimewa, sebab buku tersebut merupakan kado yang ia persembahkan untuk kampung dimana ia dibesarkan. Kampung kecil yang ia beri nama Nyi Mas Ropoh (NMR). Mukhtar Mandala (MM) malam itu menggugah anak muda untuk memulai atau melanjutkan satu kata yang begitu inspiratif, “Pengabdian”. Saya gelisah sepanjang malam, diusia 65 tahun begitu banyak kearifan dapat saya timba dari MM, Tidak terasa esok harinya Minggu, 6 Juni 2010 saya menginjak 30 tahun, usia yang seharusnya menginjak kemapanan, usia yang seharusnya menancapkan kekokohan. Usia yang seharusnya telah mulai menghitung sedikit sisa umur untuk berbuat hal besar. Dan 30 tahunku adalah 30 tahun penuh ketakutan, 30 tahun penuh harapan, 30 tahun dimana orang-orang tercinta risau, menunggu, khawatir dan prihatin. Saya tidak terlahir sebagai orang Banten, tapi hidup dan dibesarkan di Banten. Dimana kegelisahan dan kemarahan sering terlampiaskan disini. Malam hari itu membuat saya semakin semangat bahwa setidaknya saya bisa seperti MM mengabdi tiada henti
Nyi Mas Ropoh kampungku. Begitulah ia memberi judul buku itu. Bagi banyak orang kampung halaman adalah tempat yang setidaknya memendam legenda. Karena memang disanalah kita di lahirkan, bermain, bercengkerama dengan teman sebaya. Namun tak semua bisa terus bertahan karena harus menimba, mencari dan bahkan menggapai perubahan dengan memilih meninggalkannya. Kadang kita sangat beruntung, dengan meninggalkan tanah kelahiran kemudian memulai perubahan, menemukan yang kita cari dan menggapai apa yang kita inginkan. Namun banyak sekali diantara kita yang tak memilih kembali. Karena kehidupan ditempat yang baru memanjakan mimpi-mimpi. Atau bisa jadi dihati kita, kampung halaman menjadi asing, karena segalanya serba terbatas dan masghul kita memikirkannya karena terlalu asyik didunia kita yang serba baru.
Tapi tidak bagi Mukhtar Mandala. Malam itu empat puluh tahun lalu ia memulai melakukan perubahan, ia ingin kampung tempatnya lahir dan dibesarkan berubah. Ia memulainya dengan satu kunci “pemberdayaan”. Fikiran saya melesat jauh, semangat saya sejenak berapi-api, khayalan saya mendesak-desak ingin segera dapat melakukan hal yang sama. Lalu dalam lamunan saya berfikir; misalkan saja setiap sarjana kembali kekampung, atau setidaknya tak melupakan kampungnya, kemudian melakukan sedikit atau banyak dengan kemampuan yang dia miliki, mendorong perubahan kecil yang ia mulai dari kampungnya, upaya tersebut akan menjadi tindakan nyata merubah Indonesia. Tapi sayang tidak banyak yang bisa melakukan itu, termasuk penulis.
MM memulai dengan semangat kebersamaan, menyadari perubahan tak bisa ia selesaikan sendiri. Merubah kognisi masyarakat, mendorong mereka menciptakan energi perubahan ternyata mungkin dan dapat dilakukan. Masyarakat sesungguhnya memiliki potensi besar untuk memacu perubahan tanpa harus dipaksa, disuapi atau dimanjakan pemerintah. Seperti yang MM lakukan di mulai di tanah kelahirannya. Kita selalu dilanda kesalahpandangan bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab pada kemajuan, pemimpinlah yang harus menyeret-nyeret kita pada perubahan, dan kita lupa sesungguhnya kita adalah pemimpin dan kehadiran kita dituntut untuk melakukan hal yang paling berharga. Begitulah panggilan jiwa manusia pembelajar (humanity calling), manusia yang lebih dulu terpanggil; jika tidak saya, siapa yang akan memulai.
Jiwa pengabdian memang tak boleh menuntut penghargaan, sebab air tak pernah terlihat saat bangunan telah berdiri kokoh. Padahal tanpa air siapa yang mampu mengikat dan mengeratkan pasir, semen dan batu bata? Tanpa air mana mungkin bangunan itu ada? Tapi air menghilang tak lama setelah setumpuk, dua tumpuk batu-bata tertata. Air tak terlihat sama sekali saat bangunan telah kokoh dan dengan gagahnya ia berdiri. Bahkan kita tidak ingat, jika begitu penting peran air pada peristiwa besar itu. Kita justru asyik memuji genting, keramik dan kaca-kaca. Sungguh air mengajarkan keikhlasan.
Malam itu saat peluncuran buku memperingati 25 tahun NMR, juga bertepatan dengan ulang tahun ke 65 MM. Suasana haru memaksa air mata saya menitik, teringat almarhum Uwes Qarni (UQ) dan Ekky Syahrudin (ES), sosok pejuang itu hadir dalam semangat kecintaan saya pada Banten. Terlalu singkat saya menegenal beliau. Saat perjuangan pendirian Provinsi Banten UQ dan ES mengajarkan kita seperti menanam pohon. Menanam dan tidak harus kita yang menuai hasilnya. Jika tidak ada yang menanam kelapa, tak mungkin kita bisa merasakan buah segarnya. Begitu banyak sosok pejuang di Banten ini yang mengajarkan satu kata “pengabdian”.
Saya merindukan ada satu kesempatan bisa menyambung rasa, menularkan semangat juang yang mulai pudar di dunia anak muda saat ini. Entah apa pemicunya? mungkin kita kini sibuk memikirkan diri kita sendiri, mungkin kita asik membuat sekat dan mempertebal perbedaan, atau mungkin kini kita lelah jika harus terus menanam. Kita tergoda untuk memilih menjadi pemanen saja. Jika itu benar menjadi pilihan, tanpa kita sadari kita akan mewariskan kelemahan pada generasi mendatang. Kelemahan yang saya bayangkan adalah kelemahan daya juang. Padahal daya juang sampai kapanpun kita butuhkan.
Sambung rasa, dialog antar generasi, menimba kearifan yang jarang terjadi. Tapi saya beruntung menemukannya di NMR. Meskipun bukan sebagai inisiator, saya bersyukur memiliki kesempatan untuk ikut berdiskusi di sebuah Forum Cendikia Banten, FCB dibidani MM kelahirannya. MM mempertemukan kami dengan Surjadi Sudirja, petuah dan pengalamannya membuat semangat perjuangan kami berbinar. MM juga mempertemukan kami dengan Roni Niti Baskara, Farich Nahril, Mardini, Yoyo Mulyana, Dainul Hay dan kami menunggu untuk berjibaku menimba pengalaman dengan Triana Syam’un, Taufik Ruki, Irsyad Juaeli, H.M.A Tihami, Embay Mulya Syarif, dan tokoh Banten lainnya. Di NMR akhirnya kami juga mengenal pemuda Banten yang sudah gemilang, Ibnu Hammad, Ahmad Mukhlis Yusuf, Lily Romly, Gola Gong, Abdul Hamid, Abdul Malik, Firman Venayaksa, Hery Erlangga, Zaenal Muttaqin, Amir Hamzah dengan latar belakang beragam serta ideologi politik yang telah terkotak. Jika tokoh Banten menyatu menanggalkan kepentingan dan ego ideologi mengapa kita yang muda tidak bisa? Dan tidak harus mencaci kelemahan atau memperuncing perbedaan.
Saya tidak tahu apakah fakta sejarah ini tertulis atau tidak, namun NMR pernah merekonsiliasi dan menjembatani perbedaan pendapat saat detik-detik Banten dideklarasikan menjadi Provinsi. NMR juga menjadi tempat bersejarah karena peristiwa besar juga di gaungkan dari kampung kecil itu. Saya tidak mensakralkan tempat, saya hanya merindukan ada reuni semangat yang juga di wariskan kepada anak muda Banten, untuk kembali mengatakan kepada sejarah; Banten di bangun untuk sebuah tujuan luhur, mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan membangun peradaban yang lebih maju. Banten saat itu bukanlah Banten yang diperjuangkan untuk kemudian diserahkan secara cuma-cuma kepada keserakahan, di gelontorkan ibarat cek kosong tanpa tujuan. Ingat! Banten di bangun dengan keringat dan air mata.
NMR malam itu memang begitu sederhana. Namun MM membawa hadirin untuk kembali memaknai bahwa pengabdian dimulai dari diri sendiri, tak harus memulai dari hal yang besar tapi mengawalinya dari yang kecil, tidak harus terburu-buru namun tetap menjaga kepastian, keyakinan bahwa idealisme tak boleh tercerabut sedikitpun dari jiwa kita. Tidak banyak yang ingin saya zooming dari lesson learned peluncuran buku Nyi Mas Ropoh (NMR), satu kalimat yang saya telah tulis malam itu di buku harian; “pengabdian harus dimulai tanpa harus berfikir kapan mengakhirinya”. Selamat Ulang Tahun Mukhtar Mandala!
Selasa, Juni 01, 2010
"Walaupun" bukan "Karena"
Lelah berjalan dari satu horizon ke horizon yang lain. Ia ingin mencari cara, menemukan mantera agar dapat menghidupkan kembali kekasihnya yang telah mati. Ia merasa separuh kehidupannya hilang. Apa pun yang terjadi dan sejauh apapun ia melangkah, ia akan lakukan. Sebab, ia begitu yakin akan bertemu seorang mahaguru yang mau mengajarkan kesaktian itu. Ia terus mencari.
Tibalah ia disebuah rumah yang lebih tepat menyerupai kuil. Hidup sebuah keluarga pendeta baik hati. Ia begitu menghormati tamunya, apa yang ia miliki ia suguhkan. Karena baginya membuat orang lain senang adalah puncak pengabdian menebar kasih sayang. Pendeta juga menyediakan untuk Lelaki itu sebuah kamar terbaik dan dipersilahkan untuk menginap hingga ia merasa siap melanjutkan perjalanannya kembali.
Pada suatu hari, lelaki ini dipersilahkan menyantap makan pagi, pendeta itu menunggui lelaki itu tanpa menyentuh satu jenis makananpun. Seolah seperti pelayan yang menyuguhkan makanan kepada majikannya. Ketika datang anak pendeta itu dan menyerobot sepotong daging ayam bakar lalu memakannya. Kontan saja pendeta itu marah karena tak senang dengan perbuatan anaknya. Diikatlah kedua tangan dan kakinya dan dilemparkan kedalam pembakaran api, terbakarlah sekujur tubuh anaknya hingga hancur menjadi abu.
Lelaki itu terkejut dan mendadak memuntahkan makanan yg dihidangkan padanya. "Kau kejam sekali, aku tidak sudi menyantap makanan yg dihidang orang kejam sepertimu". Lelaki itu kecewa dengan kekejaman pendeta itu. Lalu pendeta itu meyakinkan lelaki itu untuk tidak marah. Ia berjanji nanti malam akan menghidupkan anaknya yang telah menjadi abu. Benar saja, tepatnya ketika malam telah larut lelaki itu mengambil kitab yang ia simpan dibawah tempat tidurnya, seperti mengcap mantera ia baca seluruh isi buku itu dihadapan abu tempat membakar anaknya. Saat pagi tiba, dihadapan pendeta itu menjelmalah seorang anak laki-laki yang ternyata anak pendeta yang kemarin ia bakar. Tubuhnya pulih seperti sedia kala dan dalam keadaan tidur terlentang dihadapannya.
Muncul niat dihati lelaki itu untuk mencuri kitab yang dibaca pendeta tadi malam, ia akan baca dihadapan tulang belulang kekasihnya. Harapan kekasih hati hidup kembali sudah ada didepan mata. (To be continue) 087772888080
Tibalah ia disebuah rumah yang lebih tepat menyerupai kuil. Hidup sebuah keluarga pendeta baik hati. Ia begitu menghormati tamunya, apa yang ia miliki ia suguhkan. Karena baginya membuat orang lain senang adalah puncak pengabdian menebar kasih sayang. Pendeta juga menyediakan untuk Lelaki itu sebuah kamar terbaik dan dipersilahkan untuk menginap hingga ia merasa siap melanjutkan perjalanannya kembali.
Pada suatu hari, lelaki ini dipersilahkan menyantap makan pagi, pendeta itu menunggui lelaki itu tanpa menyentuh satu jenis makananpun. Seolah seperti pelayan yang menyuguhkan makanan kepada majikannya. Ketika datang anak pendeta itu dan menyerobot sepotong daging ayam bakar lalu memakannya. Kontan saja pendeta itu marah karena tak senang dengan perbuatan anaknya. Diikatlah kedua tangan dan kakinya dan dilemparkan kedalam pembakaran api, terbakarlah sekujur tubuh anaknya hingga hancur menjadi abu.
Lelaki itu terkejut dan mendadak memuntahkan makanan yg dihidangkan padanya. "Kau kejam sekali, aku tidak sudi menyantap makanan yg dihidang orang kejam sepertimu". Lelaki itu kecewa dengan kekejaman pendeta itu. Lalu pendeta itu meyakinkan lelaki itu untuk tidak marah. Ia berjanji nanti malam akan menghidupkan anaknya yang telah menjadi abu. Benar saja, tepatnya ketika malam telah larut lelaki itu mengambil kitab yang ia simpan dibawah tempat tidurnya, seperti mengcap mantera ia baca seluruh isi buku itu dihadapan abu tempat membakar anaknya. Saat pagi tiba, dihadapan pendeta itu menjelmalah seorang anak laki-laki yang ternyata anak pendeta yang kemarin ia bakar. Tubuhnya pulih seperti sedia kala dan dalam keadaan tidur terlentang dihadapannya.
Muncul niat dihati lelaki itu untuk mencuri kitab yang dibaca pendeta tadi malam, ia akan baca dihadapan tulang belulang kekasihnya. Harapan kekasih hati hidup kembali sudah ada didepan mata. (To be continue) 087772888080
Langganan:
Postingan (Atom)