Senin, November 03, 2014
LOGIKA PENCURI JAMBU
Fitron Nur Ikhsan
Masyarakat Pena Saija
Di kampung saya mbah (kakek; bahasa Jawa) Prawira adalah orang paling kaya. Sawahnya paling luas, hebatnya sawah miliknya juga terletak dikawasan strategis. Dekat dengan akses air irigasi. Jadi ketika musim kemarau datang, sementara sawah yang lain gagal panen, hanya sawah Mbah Prawira yang sukses. Mbah Prawira juga memiliki ternak ayam buras, aneh seakan punya pabrik pencetak uang, setiap hari ayamnya bertelur dan kami tetangganya bisa menghitung berapa uang yang Mbah Prawira peroleh setiap harinya. Dua truk pegangkut telur dalam satu hari.
Mbah Prawira juga punya kebun buah-buahan, ada mangga, duku, nangka, rambutan dan yang paling pavorit kami lihat setiap hari adalah pohon buah jambu Bangkok. Selain tak kenal musim, karena buahnya ada setiap hari, jambu ini juga besar-besar menggiurkan. Pohon jambu ini ditanam mengelilingi kebun, jadi letaknya dipinggir, seperti menjadi pagar buah yang lain. Bagi anak-anak nakal seusia penulis waktu itu, mudah sekali untuk mencuri buah jambu itu. Cukup melempar dengan batang kayu, bisa tiga atau empat jambu jatuh berguguran.
Cerita curi-mencuri inilah yang akan menjadi analogi tulisan ini. Jadi jangan khawatir, saya tidak akan mengajak anda mengkalkulasi berapa total kekayaan mbah Prawira. Buah jambu yang letaknya di pinggi itu jelas menjadi incaran anak-anak nakal di kampung kami. Biasanya aksi ini dilakukan saat berangkat atau pulang sekolah. Bermodalkan batang kayu yang dipotong sedemikian rupa, sambil berjalan lalu lempar, mereka bisa menggondol beberapa buah jambu segar ke sekolah. Jambu Bangkok itu sebesar kelapa yang sudah dikupas.
Karena ulah anak-anak nakal ini, mbah Prawira rupanya gerah, Ia pun menunggui kebun miliknya, pada jam-jam tertentu. Anak-anak ternyata tidak kehilangan akal. Jika ditungguinya pagi hari, mereka mencurinya siang hari sepulang sekolah. Jika kedua jam itu ditunggui, mereka datang sore hari atau malam hari sepulang mengaji. Pengawasan yang mbah Prawira lakukan rupanya tak menyurutkan anak-anak untuk ikut menikmati buah yang beliau tanam. Tidak untuk dijual memang, tapi aksi ini dilakukan banyak anak, dan tiap hari. Bisa Anda bayangkan berapa kerugian mbah Prawira setiap harinya? Karena pengawasan langsung menyita waktunya dan dirasa tak efektif mbah Prawira tidak kehilangan akal, ia mencoba menyentuh hati dan keimanan anak-anak pencuri yang juga ternyata doyan ngaji itu. Ia memasang papan bertuliskan berbahasa Jawa "saknajan aku ora weruh, nanging Gusti Allah weruh" (walaupun aku tidak melihat tapi Allah Maha melihat).
Mbah Prawira fikir, aksi ini dapat menghentikan kenakalan anak-anak kampung itu. Namun ternyata Ia harus kecewa karena tetap saja buah jambu miliknya setiap hari tak luput dari lemparan kayu yang merontokkan buahnya. Bahkan dibawah papan tulisan yang Ia buat, tertulis papan lain; "yo wis Ben, Senajan Allah weruh, sing penting simbah ra weruh" (ya Biarin, walaupun Allah melihat yang penting Kakek nggak melihat). Waduh aksi ini tambah membuat mbah Prawira pusing tujuh keliling.
Logika asal kamu ga liat, adalah logika pencuri jambu dikampung kami. Tapi juga logika orang zaman modern zaman kini. Ada yang nekat tak pakai helm saat bersepeda motor, alasannya disini bukan jalur polisi jaga. Ada juga yang nekat menerabas lampu merah, pasalnya " tenang...polisi ga ada". Tapi di Singapura kita bisa berdisiplin, mengapa? Sebab Camera CCTV dan denda yang ditegakkan sangat disiplin membuat warga berhitung untuk melanggarnya. Intinya pengawasan dan hukuman terasa membayangi dan setelah terbukti melanggar hukum juga tak pakai kompromi. Bagaimana di negeri kita, berdisiplin pada peraturan tak mudah diterapkan?
Logika pengawasan yang sebenarnya tak berjalan, dan logika mbah Prawira bahwa logika Tuhan melihat ternyata tak ditakuti para pencuri yang menggunakan logika pencuri jambu. Maka janganlah heran jika keyakinan terhadap agama tak mampu membendung atau sekedar membentengi hasrat korupsi. Karena selain tidak lagi takut pada pengawasan Tuhan, pencuri menganggap pengawasan manusia juga tidak efektif. Tak efektif karena selain lebih sering lengah ternyata jugs mudah diajak kongkalingkong. Berdamai, bisa diatur, atau bisa diajak bagi-bagi.
Penting sekali merasa diawasi, melalui sebuah pengawasan yang tak lengah, seperti pengawasan Tuhan yang tak pernah tidur. Bagaimana hukum bisa melekat dihati manusia, serasa jika Ia melanggar pasti akan ketahuan dan lalu benar-benar akan mendapat hukuman. Pengawasan yang kuat dan hukuman yang tegas harus dapat tercipta.
Para pencuri sudah tak lagi takut kepada Tuhan, sudah tak lagi takut melanggar sumpah. Berfikirnya sudah logika pencuri jambu, lalu bagaimana pengawasan Tuhan yang tidak tidur itu dapat menjadi inspirasi? Ciptakan pengawasan hukum yang adil, tegas dan tidak tidur. Sebab sedikit sekali mereka yang benar-benar dapat menghadirkan kebersamaannya dengan Tuhan setiap waktu, Kata Nietzsche filsuf eksistensialisme "Tuhan telah mati".
Dalam ungkapannya yang sangat terkenal Nietzsche mengatakan; Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]? (Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125). Telah mati dihati manusia, tidak dapat mempengaruhi tindakan manusia, ia hidup dengan logika baru, logika pencuri jambu, masa bodo Tuhan lihat juga, yang penting kalian tidak melihat.
HIKAYAT LUKISAN RAJA
Fitron Nur Ikhsan
Masih ingat pada hikayat di sebuah kerajaan antah berantah? Dimana seorang raja memerintah dengan tegas. Suatu hari Raja ingin mengetahui penampilannya melalui para pelukis. Raja ingin dilukis. Demikian sayembara yang diumumkan. " Siapa yang dapat memuaskan raja dengan lukisannya akan mendapatkan hadiah". Zaman kerajaan tentunya belum ada camera digital. Hehehe
Berduyun-duyun pelukis di seantero berdatangan. Dari sekian banyak dipilihlah tiga pelukis paling handal. Dengan sedikit nervous pelukis pertama mengayunkan kuas di kain kanvas. Begitu mahir kelihatannya. Dalam gambar yang dibuatnya raja terlihat lebih gagah dari penampilan aslinya. Sorot matanya tajam, padahal bentuk aslinya (maaf) beliau memiliki kekurangan, salah satu dari sepasang matanya -buta- terpejam sebelah. Demikian pula sang raja terlihat gagah, berdiri tegak (sekali lagi maaf) padahal kaki beliau -pincang- kecil sebelah.
Rampung sudah lukisannya. Apa yang terjadi setelah raja menerima lukisan itu? Raja murka karena ia merasa terhina dengan gambar yang mengada-ada. Rekayasa berlebihan yang dibuat pelukis oportunis itu membuat raja tersinggung. Boleh jadi sebenarnya pelukis ingin membuat hati raja senang dengan ketidakobjektifannya. Apa hendak dikata raja pun marah besar dan mengusirnya.
Melihat kenyataan tersebut pelukis kedua mengambil pelajaran. Lalu ketika ia mendapat gilaran, ia melukis raja apa adanya. Bentuk dan kekurangan fisiknya ia sajikan secara vulgar. Hasilnya tentu saja sosok raja dalam lukisan yang ringkih dan tidak berwibawa. Ia berharap raja menyenangi lukisannya yang apa adanya. Setelah selesai lukisan diserahkan kepada raja. Kemudian setelah melihat lukisan tersebut muka raja memerah. Tanpa berkata-kata ia menghunus pedang dan menebas leher pelukis kedua hingga putus. Ternyata raja pun murka melihat gambarnya yang jelek tersebut.
Giliran pelukis ketiga. Dengan tenang ia menggores kanvasnya. Ia melukis raja seolah sedang ditengah belantara. Raja tengah berburu rusa. Pose yang ia buat raja sedang membidik rusa jantan dengan sebelah matanya terpejam diantara lubang senapan, kaki yang pendek sebelah diangkat dan tertekuk diatas bongkahan batu. Sementara diujung senapan seekor rusa jantan terkapar tertembak raja. Mata terpejam sebelah tapi seolah-olah sedang membidik rusa dan kaki memang nampak kecil sebelah, tapi sedang dengan gagahnya mengambil posisi menembak. Raja senang dan ia mendapat pujian serta hadiah.
Terkadang pujian yang mengada-ada terasa tidak nyaman ditelinga. Keluar dari mulut penjilat yang berharap simpati dan respon pragmatis, namun sesekali orang seperti ini bisa menusuk kita dari belakang. Disisi lain kita juga jengah dengan kritikan yang vulgar, terasa menjatuhkan harga diri. Apalagi jika penyampaiannya dilakukan dimuka umum.
Kita lebih suka kritik yang disampaikan dengan bahasa yang lembut. Cara yang elegan namun tidak melebihkan dan mengurangi. Hal seperti ini setidaknya tercermin dari bagaimana senangnya raja pada pelukis ketiga yang begitu elegan mencitrakan raja dengan keadaan yang jujur namun kreatif.
Seni Mengkritik
Demikian seni menyampaikan kritik, terlampau membutuhkan kepiawaian mengemas cara. Meskipun cukup sulit namun kita harus membiasakannya. Bukankah kritik bukan dimaksudkan untuk mempermalukan? karena jika demikian bukanlah kritik tapi penghinaan. Sementara apa yang diperoleh dari suatu penghinaan selain kemarahan dan kebencian? Kritik dibutuhkan untuk koreksi atau perbaikan. Oleh karenanya harus dilakukan secara objektif dan elegan untuk mencapai tujuan sebenarnya. Namun bagaimanapun kritik harus selalu ada, dan anti kritik adalah kedzaliman.
Mari menebar perbaikan bukan kebencian dan permusuhan. Kebencian dan permusuhan hanya akan melanggengkan dendam kusumat yang terbukti menjadikan kehancuran peradaban manusia. Hidup dalam iklim kemarahan hanya menyesakkan dada. Terbiasa melakukan perbaikan dengan cara melukai hati, meninggalkan kerusakan ditempat yang berbeda, yakni kehangatan dan persaudaraan. Apa yang paling mahal namun menentramkan? Tidak lain adalah persaudaraan.
LUKA
Fitron Nur Ikhsan
Masyarakat Pena Saija
Kita "kecil" belajar meraba, apapun kita pegang. Benda lunak atau benda keras bahkan benda tajam. Bisa tersenggol, tergores atau bahkan tersayat. Disanalah kita mengenal luka. Karena luka itu kita belajar menghindar, beralih atau belajar menikmati rasa sakit, mencerna dan memilih mana benda aman dan mana benda berbahaya. Kita balita belajar berjalan. Babak baru belajar keseimbangan. Mengangkat kepala yang lebih besar dari anggota tubuh yang lain. Berpijak di dua kaki ringkih memulai berdiri, mencoba mengayun untuk berpindah. Sebelum berdiri kita mencoba merangkak membentur lantai dan kadang terantuk.
Disana kita belajar menikmati rasa sakit akibat benturan. Mengenal luka memar dan kadang benjolan. Luka itu menandai perjalanan kemampuan kita yang makin bertambah. Kita tidak lagi harus selalu ketergantungan. Bukan seseorang yang selalu digendong, dipandu atau dilarang. Tidak takut luka membuat kita tak enggan mencoba. Akhirnya dapat berdiri dan berjalan kaki.
Kita mulai belajar bersepeda, keseimbangan mengolah rasa dengan benda di luar diri kita. Kembali kita bisa terpelanting, dan terjatuh. Disana luka kembali tercipta. Jatuh dapat mengoyak kulit tipis yang entah mengapa meski menimbulkan bekas tapi menutup kembali. Kembali luka menandai bertambahnya kemampuan diri. Tanpa luka, mustahil bisa berkendara.
Beranjak remaja kita sedikit meninggalkan resiko luka fisik. Luka kali ini bertambah dengan luka psikis. Mulai mengenal kecewa, sakit hati bahkan putus asa. Kita sudah mampu menghindar dari bahaya luka fisik. Semua ditandai dengan kebiasaan kita mampu menghindari bahaya dan bentuk organ tubuh yang telah terlatih serta terlihat lebih kokoh. Babak luka baru dimulai.
Kita telah memiliki keinginan. Pertarungan mendapatkan keinginan berpotensi menimbulkan luka hati. Kecewa namanya. Kecewa adalah respon hati seseorang pada saat menerima atau mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan keinginan dan atau harapannya.
Setiap orang bisa kecewa dan pernah kecewa. Dari kecewa ini timbul berbagai kejadian yang menyertainya, biasanya sakit hati. Pada saat kecewa timbul orang-orang yang merasa dikecewakan itu akan mengeluarkan respon dalam hatinya baik itu respon positif sehingga dia akan melakukan hal-hal perbaikan untuk mengobati kekecewaannya itu atau respon negatif sehingga dia akan terus menurus dalam kubangan kekecewaan itu, dia tidak ingin mengobati kekecewaannya mungkin karena sangat menyakitkan hatinya sehingga dia berpikir tidak akan pernah ada obatnya. Atau mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan keinginan dan atau harapannya.
Disini peran kejiwaan lebih dominan. Fisik hanya menopang agar jiwa dapat nyaman dibalik rerimbun rambut dan ketangguhan anggota tubuh lainnya. Luka hati merupakan tahapan kematangan jiwa. Seolah menyerupai perangkat lunak yang mulai terinstal untuk dapat dioperasionalkan menghadapi sistem hidup yang semakin bertambah usia akan semakin rumit. Menghitung tak lagi menggunakan jari, bertindak sudah terkombinasi dengan olah rasa dan olah raga.
Kemudian masuk ke dalam kehidupan yang lebih sengit. Berhadapan dengan sekian banyak kepentingan dan intrik. Seperti sebuah pertarungan kehidupan berpotensi menghindar dari tebasan, melompati lubang agar tidak terperosok, tidak tersandung lalu terjatuh.
Kita boleh terjatuh dan terluka. Namun kita tak boleh mati. Sayatan, benturan dan bahkan robek akibat luka tak boleh menghentikan pertempuran. Kita tak boleh takut dengan sayatan kata perih, cemooh yang membuat luka hati semakin menganga. Darah kepedihan tak boleh membuat pilu lalu berhenti bertarung. Tak ada kemenangan dalam pertempuran jika kita takut luka. Kita kecil telah membuktikan betapa kita telah belajar banyak dari luka. Kita remaja telah banyak jatuh bangkit karena luka hati akibat cinta. Dan kini kita dewasa mengapa menjadi pengecut, takut dan menghindar dari pertempuran.
Kita pernah luka hati karena di cemooh salah ucap saat belajar berbicara. Kita pernah ditertawakan karena salah eja saat mencoba memadukan kata. Kita pernah bangkit saat jatuh ketika mencoba melangkah, begitu gigih saat belajar berjalan. Apa yang membuat kita kini lemah dan mudah putus asa, rasanya karena kita takut terluka. Setiap masa ada ujian luka. Disanalah kita belajar. Setiap pemimpin lahir dari luka-luka, maka jadilah ksatria memandang luka sebagai pertanda disanalah kita beranjak dan belajar. Meninggalkan masa-masa sulit dan ketergantungan
TEMBOK
Fitron Nur Ikhsan
Masyarakat Pena Saija
Struktur tegak yang dirancang untuk membatasi atau mencegah gerakan melintasi batas yang dibuat biasa kita sebut pagar. Bangunan serupa dalam sejarah peradaban manusia juga dikenal sebagai dinding atau tembok. Tembok, kemudian, dibangun bukan hanya untuk keamanan, tapi juga untuk mencipta rasa aman.
Entah dari sejak kapan manusia memiliki ide membangunnya. Sekolahan dengan pagar tembok keliling serupa penjara dibangun untuk melindungi siswa dari interaksi luar. "Agar pihak luar tak mudah masuk, dan anak anak terkontrol". Suka tidak suka pagar tembok telah mencerabut anak didik dari realitas kehidupn sosialnya.Petani memagari sawah dan kebunnya agar tak ada unggas atau ternak yang melintas, merusak tanaman atau memakan sebagian.Orang kaya memagar tembok rumahnya melindungi aksi pencuri yang bisa jadi sewaktu-waktu datang mengintai.
Akhirnya suka tidak suka ternyata Tembok melindungi pembuatnya bukan hanya dari gangguan pihak lain, tetapi dari kecemasan dan ketakutannya sendiri, yang sering dapat lebih mengerikan daripada ancaman pihak luar sebenarnya. Dengan demikian tembok dibangun bukan untuk mereka yang tinggal di luar, karena mungkin akan menjadi ancaman, tetapi bagi mereka yang tinggal di dalam. Dalam arti tertentu, maka, apa yang dibangun bukan tembok secara lahiriyah, tapi pikiran dan imaginasinya.
Dapat dimengerti jika dalam perkembangannya setiap manusia akhirnya membuat batas teritorial akan kepemilikan. Ini batas tanahku, lalu secara komunal mencipta batas negara. Tak hanya itu dalam bentuknya yang abstrak manusia juga membuat tembok-tembok ideologis. Tanda - tanda perbedaan faham, keyakinan dan mazhab. Setiap perbedaan itu ditandai dengan sekat, berupa tembok yang tak diizinkan saling bersilang.
Ini golonganku, ini partaiku, ini koalisiku, ini aliranku, dan ini identitasku. Sementara dari perbedaan itu muncullah simbol-simbol dan unifirmitas yang berbeda, semua lahir sebagai penanda batas. Ritual-ritual yang khusus tak boleh sama. Dan setiap perbedaan memiliki alasan suci yang tak bisa dinodai.
Dalam dunia ketidakpastian dan kebingungan, tembok mewakili sebuah perlindungan batas yang bentuknya besar, tegas, meyakinkan. Dengan tembok datanglah kenyamanan mental, dan bahkan janji ketenangan. Kehadiran mereka semata-mata adalah jaminan akan adanya ketertiban dan disiplin. Sebuah tembok menandakan kemenangan geometris atas impuls anarkis.
Benar, dengan didirikan tembok akan menciptakan perpecahan dan perbedaan, tetapi begitu juga menciptakan sebuah alasan. Tembok membuat benda terlihat jelas dan berbeda. Great Wall of China adalah salah satu dari sedikit indikasi bahwa bumi dihuni oleh makhluk rasional. Makhluk yang berupaya untuk melindungi, membatasi kepemilikannya dari orang lain. Tembok itulah batas kekuasaannya. Jangan heran jika pada akhirnya akan ada tembok dalam tembok, karena hakikatnya mereka ingin menjadi pemilik tunggal dari apa yang sebenarnya telah dibagi.
Memang, tembok juga dapat menghalangi pandangan seseorang, tapi yang seharusnya tidak menjadi masalah besar seperti itu, terutama ketika seseorang ingin menyembunyikan apa yang dimilikinya. Di satu sisi, dengan membangun tembok manusia mencoba untuk menyembunyikan diri, hidup dalam ruang privasi dan, membuat batas. Di sisi lain, bagaimanapun, justru dengan membangun tembok ia telah mengekspos diri secara total; mempublikasi rasa ketakutan dan kecemasan akan kehilangan sesuatu yang berharga. Publik mengira bahwa ada sesuatu yang berharga yang tengah disembunyikan. Sebuah tembok menjadi simbol semua pengakuan kerentanan mendasar.
Sekarang, jika kita mengubah perspektif dan melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda"mereka yang berada di luar" tembok selalu dianggap sebagai undangan. Lebih tepatnya sebuah godaan. Dulu tak ada apa-apa di sini, dan kemudian, suatu hari, tiba-tiba sebuah tembok muncul. Bagaimana Orang lain tidak memperhatikan hal itu? Pendirian tembok menandakan bahwa seseorang telah mendapat sesuatu yang berharga dan orang lain tidak boleh tahu tentang hal itu. Orang di luar tembok akan berfikir; dia tidak ingin berbagi dengan orang lain apa pun yang dia punya;
Tembok dibangun untuk berbagai alasan dan mereka melayani tujuan yang berbeda, tetapi fungsi mereka selalu dasarnya sama: untuk membuat divisi, untuk mencegah orang-orang dan ide-ide dari luar bergerak bebas, dan dapat juga untuk melegitimasi perbedaan. Pada akhirnya, bahkan tidak peduli apakah tembok telah didirikan oleh orang-orang yang takut kehilangan sebagian dari apa yang mereka miliki. Setelah tembok berdiri, ia memperoleh kehidupan sendiri dan struktur masyarakatnya yang menurut aturan sendiri. Ini memberi mereka makna dan rasa baru. Semua orang bertembok memiliki tujuan: untuk menemukan diri mereka sendiri, dengan cara apapun yang diperlukan.
Tanpa tembok, bisa jadi kehidupan akan mati karena membosankan. Itu sebabnya, jika tidak menemukan mereka di dunia nyata, manusia selalu menciptakannya secara imaginer. Pendirian tembok ibarat sekat permanen, yang mendeklarasikan perbedaan absolut. Dari sanalah lahir pertikaian dan permusuhan. Bahkan dalam teori identitas, manusia pada dasarnya menginginkan musuh, dan pada saat musuh utama itu kalah ia tetap akan mencari musuh pada dirinya sendiri.
Dalam film Luis Buñuel "El Ángel Exterminador" sekelompok orang menemukan diri mereka secara misterius terjebak dalam sebuah ruangan usai berpesta. Seiring berjalannya waktu, mereka membayangkan situasi sulit itu secara berlebihan. Sehingga mereka merasa keadaan mereka sangat mengerikan. Sebagian mereka frustasi lalu bunuh diri. Entah bagaimana sebagian mereka yang bertahan akhirnya berhasil keluar. Dari hal ini kemudian mereka belajar bahwa dinding yang telah membuat mereka terjebak ternyata hanya sebuah ruangan biasa, menjadi sangat mengerikan karena pikiran mereka sendiri.
Bisa jadi tembok secara lahiriah tak bermakna, namun pikiran yang mengkonstruksinya jauh lebih dahsyat dan bahkan mengerikan. Bagaimana sekat yang di bangun kaum khawarij, suni dan syiah dan sebaliknya. Suatu ketika berjalanlah seorang syiah di sebuah kebun. Terdengar suara ternak meronta. Suara itu datang dari seekor anak babi terjebit batang pohon yang roboh. Sepenuh hati Muslim Syiah ini menunda perjalanan dan menyelamatkan anak babi tersebut. Dalam fikirannya upaya itu merupakan amal salih menolong hamba Allah yang dalam kesulitan, meskipun hany seekor anak babi.
Dalam perjalanan berikutnya ia bertemu dengan muslim Suni dan bertengkar mendebatkan persoalan agama hingga terjadi perselisihan hebat. Muslim syiah menganggap muslim suni tersebut telah jauh mengalamai kesesatan, demikian pula sebaliknya. Dalam kemarahan terjadilah perkelahian yang menewaskan muslim suni dengan kepala terpenggal. Batas tembok khilafiyah yang amat tragis. Seekor anak babi hampir mati besusah payah diselamatkan dengan alasan amal shalih, sementara nyawa manusia begitu murah lebih rendah dari seekor anak babi. Inilah pagar tembok pemisah imaginer yang jauh kebih kokoh tak tergoyahkan. Saling menutupi sehingga tak melihat kesamaan dan lebih nampak perbedaan yang menjulang. Lalu perlukah kita pertahankan tembok-tembok ekstrimisme dalam imaginasi kita? Kita pertebal perbedaan, kita cerabut akar kebersamaan. Tentu saja itu mengerikan.
Langganan:
Postingan (Atom)